x

Iklan

tisnawati simowibowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 27 November 2021

Minggu, 28 November 2021 15:03 WIB

Pelangi Kembar

Dua wanita korban pelecehan seksual yang memutuskan untuk bangkit dari keterpurukan alih-alih terus menangisi nasib

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Rosa! Rosa!” panggil Ria sambil mengintip di jendela depan paviliun kontrakan itu.

            Sudah sepuluh menit ia melakukan hal itu berulang-ulang, namun partner tesisnya belum juga membukakan pintu. Padahal kemarin sore jelas-jelas mereka sudah membuat janji  akan bertemu pagi ini untuk merampungkan tesis mereka. Mungkin yang dicari sedang tertidur lelap setelah semalam melembur. Tugasnya mengedit foto-foto riset mereka.

Dok! Dok! Dok! Ria mengetuk pintu keras-keras.   Namun usahanya nihil juga. Lalu ia berusaha mengintip lagi. Kali ini dari jendela kamar temannya itu. Untunglah gordennya agak tersibak sehingga Ria bisa mengintip dengan agak leluasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            “Astaga! Rosa! Hei! Demi Tuhaaan! Hentikan perbuatanmu!” teriaknya sekuat tenaga sambil menggedor kaca jendela. Setelah itu ia berlari secepatnya ke rumah sebelah untuk meminta bantuan.

            “Tolooong! Tolooong! Ada yang mau bunuh diri!!!” teriaknya lagi kuat-kuat.

            Mendengar teriakan itu, dua orang satpam berlarian ke arahnya. Dengan pertolongan para satpam itu, pintu depan paviliun dibuka paksa. Setelah itu, ketiganya berlari ke kamar dan mendapati Rosa baru saja menyayat nadinya. Mukanya penuh luka lembam dan bibirnya agak bengkak dan berdarah. Segera Ria merebut cutter yang dipegang temannya dan melemparkannya ke lantai. Dengan sigap ia membebat pergelangan tangan temannya yang mulai bersimbah darah dengan scarfnya. Kemudian mereka bertiga memapah Rosa ke mobil Ria. Setelah Ria menitipkan paviliun kontrakan itu ke tetangga sebelah yang ternyata adalah pemiliknya, ia melarikan mobilnya ke rumah sakit.

            “Kompreslah wajah dan bibirmu dengan es ini, Rosa. Tenang, ya. Kita akan mencari pengobatan,” kata Ria sambil menyodorkan sebungkus plastik es yang sempat ia ambil dari kulkas Rosa.

            Sambil mengompresi luka di wajah dan bibirnya, Rosa terus-terusan  menangis. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Rambutnya kusut masai, wajahnya pucat dan matanya sayu.

            “Mengapa kamu senekat itu, Rosa?” tanya Ria.

            “Biar! Aku mau mati saja! Biarkan aku mati! Huuu..... huu....huu!! kembali ia terisak-

            “Toni datang lagi?” pancing Ria.

            Rosa mengangguk lemah, tapi kemudian menjadi histeris ,”Aku memang kotor! Aku memang sudah tak ada harganya! Aku mau mati sekarang!”

            Ternyata, semalam adalah untuk kesekian kalinya Rosa dipaksa untuk melayani nafsu bejat laki-laki yang pertama kali dijumpainya setahun yang lalu di sebuah cafe di Bali. Tak disangka-sangka ketampanan,  keramahan dan senyum manis laki-laki itu merupakan jerat berbisa yang mencampakkan dirinya ke lembah kenistaan seperti sekarang ini. Lelaki yang ia harapkan bisa memberinya kehangatan dan kasih sayang, yang sudah lama ia dambakan, justru lelaki itu pulalah yang memanipulasinya habis-habisan..

            Ia masih segar dalam ingatannya betapa dulu Toni memperlakukannya bagai seorang putri. Pacarnya itu juga yang  menggagas dan menanggung seluruh biaya kepindahan Rosa dari dari tempat kosnya yang sempit ke paviliun kontrakan yang sekarang ditempatinya. Saat itu Rosa merasa di atas awan berpacaran dengan pengusaha muda itu.

Sampai pada suatu saat, Toni menyatakan ia amat menyayangi Rosa. Karena itu ia   meminta Rosa membuktikan cintanya kepadanya dengan mau diajak berhubungan intim dengannya layaknya suami istri. Saat itu, Rosa merasa amat galau. Di satu sisi ia begitu tersanjung mengetahui ada pria yang benar-benar mencintainya. Namun di sisi lain, ia amat takut karena merasa tuntutan pacarnya itu sudah di luar batas. Malangnya, belum lagi Rosa memberi tanggapan, Toni sudah menyeretnya ke kamar dan terjadilah pelampiasan nafsunya secara paksa kepada Rosa. Sesudah itu terjadi, Rosa hanya menangis sejadi-jadinya. Dengan hati yang hancur berkeping-keping, dipandanginya spreinya yang menjadi lusuh dan ternoda bercak darah.

            Anehnya, dua hari setelah kejadian yang membuat jiwa Rosa cukup terguncang itu,  Toni muncul lagi. Dengan penuh penyesalan, sang pacar meminta maaf kepada Rosa. Ia menjelaskan perbuatannya yang membuat Rosa amat shock tempo hari semata-mata hanyalah ekspresi rasa sayangnya kepada Rosa yang begitu menggebu-gebu. Lebih lanjut, ia  menyatakan akan bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Maka damai pun turun kembali di antara keduanya. Namun tragisnya, sejak saat itu, Toni malah lebih sering meminta Rosa melayani nafsu birahinya dengan berbagai cara yang tak sepantasnya. Jika tidak dituruti, ia mengancam akan mengakhiri hubungan percintaan mereka.

            Merasa takut ditinggal dan tak mau kehilangan pria yang ia kira bisa menjadi pendamping hidupnya di kemudian hari,  dengan terpaksa Rosa selalu berusaha menyenangkan pacarnya tersebut. Akibatnya, lama kelamaan Toni mulai seenaknya meminta dilayani lebih dan lebih. Kepada Rosa, Toni juga menjelaskan karena bisnisnya sedang melemah, ia butuh suntikan dana yang agak besar. Untuk itu, ia meminjam uang puluhan juta dari tabungan Rosa. Saat itu, masih juga Rosa terbuai dengan bujuk rayu pemuda itu akan cintanya yang begitu besar kepada Rosa. Apalagi sejak ia mengatakan bisnis itu juga untuk persiapan masa depan mereka setelah berkeluarga. Akibatnya, Rosa juga harus bekerja paruh waktu  untuk membayar segala keperluan mereka. Selain itu,  Toni juga mulai  melarang Rosa untuk aktip di berbagai organisasi seperti biasa. Dia juga menyuruh  Rosa menghentikan segala usaha pencarian bea siswa untuk melanjutkan studinya seusai meraih gelar sarjana.

            Sialnya semalam, Toni datang lagi. Di luar dugaannya, begitu pintu dibuka, Toni segera menerkamnya bagai seekor harimau yang kelaparan. Matanya merah menyala tambak beringas, dan dari mulut dan bajunya menyeruaklah bau aneh yang amat tajam. Dengan nafsu yang berkobar-kobar, pria tinggi besar itu kembali menggagahi Rosa yang meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Kepadanya Rosa menjelaskan sedang tak punya waktu untuk melayaninya karena  dikejar deadline skripsi. Alih-alih mendengarkan keberatan Rosa, Toni  malah menampari dan meninju Rosa serta mengancam akan membunuhnya kalau ia tak mau melayaninya saat itu juga. Maka terjadilah peristiwa menjijikan itu lagi.  Setelah puas melampiaskan nafsunya, Toni langsung cabut. Sedangkan Rosa hanya terkulai lemas tak berdaya di lantai. Di benaknya hanya ada luapan rasa kecewa,  marah, dendam, dan juga penyesalan yang amat dalam,  sehingga ia memutuskan untuk segera mengakhiri segalanya.  .

            Maksud hati hendak segera membawa temannya ke rumah sakit, tapi apa daya macet menghadang di depan. Ria memperlambat jalan mobilnya, dan hanya bisa menjalankan kendaraannya amat perlahan. Kadang mereka harus berhenti agak lama, baru bisa jalan lagi beberapa meter sebelum akhirnya terhenti kembali.

            “Rosa, minumlah,” katanya menyodorkan sebuah termos.

            Rosa menggelengkan kepala.

            “Eh jangan salah ya, isinya kopi spesial yang sengaja aku buat untuk kita mengerjakan tugas lho!” katanya sambil tersenyum.

            Rosa segera meraih termos itu dan menuangkan kopi ke dalam tutupnya dan menyeruputnya. Ah... hal terindah yang ia alami pagi itu! Tenggorokannya yang kering kerontang karena menangis semalaman kini menjadi hangat dan segar karena aliran kopi. Kini ia tampak lebih tenang. Otot-otot mukanya yang menegang mulai mengendur dan tangisnya sudah berhenti sama sekali seiring dengan menebarnya aroma kopi Blue Batak favoritnya ke seluruh mobil.

            “Ini kentang panggang. Sori ya gak pakai keju, tapi tadi aku sempat melumurinya dengan margarin,” kata Ria lagi sambil menyerahkan sebuah  bungkusan alumunium foil yang masih hangat.

            Karena lapar, Rosa langsung memakan kentang panggang itu dan terlihat semakin rileks. Sementara macet belum juga ada tanda-tanda akan terurai. Rosa lalu mulai memandangi Ria yang sedari tadi secara tenang dan keibuan mengurusnya. Diam-diam Rosa kagum atas kesabaran Ria.

            Hasil visum dokter menyatakan Rosa menderita luka lembam karena penyerangan fisik dan ada tanda-tanda jelas bekas perkosaan. Semua itu dituliskan dengan rinci oleh dokter yang memeriksanya dan akan dijadikan bukti kuat untuk membuat laporan di kantor polisi.

            “Rosa, perkosaan adalah tindakan kejahatan. Sebagai korban, tentu kita merasa amat marah dan sakit hati. Kita harus melaporkan pelakunya ke polisi agar keadilan segera ditegakkan. Jika tidak, pelaku dapat melenggang kangkung seenaknya dan mengulangi perbuatannya kepadamu atau korban lainnya,” kata Ria dengan serius.

            “Jangan! Aku takut! Dia bilang akan membunuhku bila melapor kepada siapa pun,” larang Rosa. Badannya mulai gemetaran lagi seperti diserang demam.

            “Kamu tak perlu takut. Aku akan mendampingimu sampai kasus ini beres. Kalau perlu kamu segera pindah sementara waktu ke rumahku untuk keamanan. Sebaiknya gawaimu dinon aktipkan saja sementara,” kata Ria meyakinkan.

            Di rumah Ria, kembali Rosa menangis semalaman.

            Begitu terbayang perlakuan biadab Toni semalam, ia langsung berlari ke kamar mandi dan muntah-muntah..

            “Kepalaku pusing, berdenyut-denyut. Sakitnya sampai ke telinga kanan,” keluhnya kepada Ria.

            “Rosa, coba atur nafasmu dengan baik. Itu akan mengurangi ketegangan syaraf. Migrenmu itu adalah reaksi psikis. Rasa marah dan sakit hati yang dipendam bisa menimbulkan reaksi macam-macam pada kita,” kata Ria sambil memadamkan lampu neon dan menggantinya dengan lampu yang agak redup di samping ranjang.

            “Kamu ini seperti dokter saja. Lagian, tahu apa kamu tentang perasaanku yang porak-poranda sekarang ini?” tanya Rosa skeptis.

            “Sangat tahu.”

“Mana mungkin?”

“ Aku juga pernah mengalami hal yang seperti itu,” katanya tenang.

            “Hah?” Rosa amat terkejut.

            “Masa SMP ku bagai neraka. Dulu kerjaku menangisi nasib karena berkali-kali diperkosa ayah tiriku. Ia  selalu mengancam akan mempermalukan diriku di sosmed dengan mengunggah beberapa video yang sempat direkamnya sewaktu ia mengerjai aku. Karena itu, aku tak berani mengadukan perbuatan mesumnya kepada siapa pun. Sampai suatu saat,  ibu memergoki sendiri ketika ayah tiriku mencoba memperkosaku lagi,” kata Ria lirih dengan mata berkaca-kaca.

            “Oh,”

            “Untungnya, aku pernah menonton acara Oprah Winfrey di sebuah TV swasta. Ia seorang host talk show terkenal di Amerika Serikat yang pernah mengalami pelecehan seksual berkali-kali di usia kanak-kanak dan remajanya.  Saat itu aku seperti disadarkan bahwa keburukan dan kesialan datang di luar kuasa kita. Namun sikap kita untuk menghadapinya akan menentukan juga hasilnya nanti.  Pelecehan  itu terjadi di luar kendaliku, jika aku bertahan menjadikan diriku sebagai korban, selamanya aku akan kehilangan kesempatan-kesempatan lain dalam hidupku. Namun kalau aku mau mengambil sikap lebih berani dan positif, betapa pun ada risiko yang harus aku hadapi,  aku masih mempunyai kesempatan yang siapa tahu jauh lebih baik dari saat itu. Karena itu, aku mengadukan semua perbuatan bejat ayah tiriku dan meminta maaf kepada Ibu karena merahasiakannya selama ini. Akibatnya, Ibu marah besar dan segera mengusir ayah tiriku itu. Setelah itu, aku dikirim Ibu ke pusat rehabilitasi. Tak mau berlama-lama di sana,   aku memutuskan berdamai saja dengan masa laluku yang kelam dan kembali ke sekolah. Ternyata aku berhasil. Karena prestasi akademikku yang baik, sejumlah bea siswa sudah menungguku untuk melanjutkan studi. Akhirnya aku kuliah di sini dan bertemu denganmu. Apa menurutmu ini suatu kebetulan?”

            Rosa mendengarkan kisah  tragis Ria dengan mata tak berkedip.

            “So, friend, setelah semua itu terjadi, mau apa kamu sekarang?” tanyanya kepada Rosa.

            “Tapi tak semudah itu, Ria. Aku benar-benar membutuhkan kehangatan seorang ayah. Aku membenci ayahku sendiri karena amat galak dan tak peduli kepada anak-anaknya,” sanggah Rosa.

            “Nomor satu. Mari kita terima saja kondisi kita yang hidup tanpa kasih sayang dan kehangatan ayah kita. Itu di luar kuasa kita, kan? Ada juga orang yang sejak lahir malah  tak pernah tahu siapa ayah ibunya. Tapi itu kan hanya salah satu faktor dalam hidup kita. Buktinya di luar itu kita juga punya hal-hal lain yang orang lain belum tentu punya. Misalnya, Ibu yang meskipun galak sayang pada kita dengan caranya sendiri. Lalu kita juga dikaruniai kepandaian akademik. Kamu jauh lebih beruntung lagi, Rosa. Selain prestasi akademikmu amat menonjol, kamu juga diberi hati yang baik mau melayani anak-anak di panti asuhan dengan mengajari mereka berbagai mata pelajaran agar mereka juga maju di sekolah.”

            “Berarti aku harus berusaha menerima semua kenyataan pahit itu, Ria?”

            “Ya, anggap saja kamu baru meminum jamu yang pahit ya, namun berkhasiat menguatkan tubuhmu di kemudian hari. Tak salah berangan-angan ingin  memuaskan kehausan kita akan figur ayah yang ideal. Namun kita juga  harus tahu,  ayah yang baik adalah ayah yang senang akan perkembangan dan kebahagiaan anaknya. Bukan ayah yang pamrih dan suka mencari-cari kesempatan untuk memuaskan atau menyenangkan dirinya sendiri, kan?”

            “Betul sekali. Alih-alih mendapatkan pengganti ayah, kita malah jatuh cinta kepada orang yang salah seperti Toni. Mungkin Tuhan memakai kejadian kemarin untuk menyadarkan aku bahwa pria ini benar-benar tidak baik bagi diriku. Amat berbahaya jika aku meneruskan hubungan yang kurang sehat ini dengannya,” kata Rosa sambil menarik nafas panjang.

            Tak lama setelah itu, atas laporan dan bukti-bukti dari  Rosa, polisi berhasil menciduk Toni dan menahannya dengan tuduhan penganiayaan dan perkosaan dengan cara mengancam korbannya, serta penyalahgunaan narkoba. Untuk itu ia melanggar KUHP  pasal 285 dan UU No. 35 tahun 2009 Pasal 127 dengan hukuman penjara maksimal 9 tahun. Sedangkan kabar baiknya adalah Rosa dan Ria berhasil lulus sidang sarjana dengan predikat sangat memuaskan sehingga keduanya berhasil mendapatkan bea siswa 2 tahun dari sebuah yayasan untuk melanjutkan studi di Inggris.

            Nun di luar jendela ada pelangi kembar.

            Dalam semburat tujuh warna yang samar-samar

            Dua wanita teguh berikrar

            Songsong masa depan dengan hati tegar

Ikuti tulisan menarik tisnawati simowibowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu