Corne D agent Et Pomme
Minggu, 28 November 2021 16:50 WIB
fatwa mengenai tanduk perak dan apel yang terbakar hangus di tengah bunga yang diraup api gelap. tentang kutukan yang bisa lepas dengan sebuah pengorbanan.
Lokovin Jackorey seketika mengumpat ketika netranya menangkap pemandangan sialan hari ini. Wanita dengan wajah sempit dan luka membusuk tersebar di tubuhnya praktis membuat Loko ingin memuntahkan isi perutnya. Belum lagi lengan wanita itu yang seramping ranting dengan jari tangan bercabang. Di setiap ujung kukunya menancap bangkai binatang kecil yang membusuk. Wanita itu mengunci pandangan kepadanya. Matanya seakan mengisyaratkan bahwa ia tertarik dengan Loko.
Tanpa aba, Loko langsung beranjak dari tempatnya. Berusaha menghindar dari makhluk gila itu. Entah ini yang ke berapa kalinya. Setiap hari Loko harus dihadapkan ini makhluk-makhluk mengerikan yang disertai sihir jahat dari kemurkaan, dendam, dan sihir jahat lainnya. Mereka yang mempunyai magis jahat bisa dirasakan, dilihat, bahkan disentuh oleh Loko. Sebagian dari mereka acuh terhadap kemampuan Loko. Namun, tak sedikit juga di antaranya yang mengikuti Loko untuk mengendalikan kehidupannya.
Loko sudah hidup dikelilingi hal gila seperti itu sejak tiga bulan yang lalu. Masih ingat betul ketika Loko bangun, ia menjumpai lensa mata kirinya berubah warna menjadi ungu galaksi. Awalnya, Loko berpikir—itu cukup indah. Sampai ia sadar ada pria besar bertanduk perak berdiri di pojok kamarnya. Lensa mata kiri pria itu sama sepertinya. Berbeda warna. Tidak dengan warna galaksi, namun dengan warna merah seperti lahar gunung api.
“S-siapa kau? Apa tujuanmu datang kemari?” Dengan suara bergetar ketakutan, Loko bertanya kepada pria bertanduk perak itu. Alih-alih menjawab, pria itu menghela napas terlebih dahulu kemudian mematahkan tanduk kanannya sekuat tenaga. Seketika Loko tersentak dengan pemandangan yang ditangkapnya. Isi kepala Loko ramai dengan satu inti. Pria itu mengerikan.
“Kau terkutuk. Maafkan aku.” Bagai petir yang menyambar langsung di gendang telinganya, Loko terkejut bukan main saat mendengar penuturan dari pria itu. Belum lagi dengan patahan tanduk yang diberikan kepadanya. Isi kepalanya kembali ramai menerka apa sebenarnya tujuan dari pria itu. Air mukanya murung, seperti penuh penyesalan.
“Bohong! Aku tak sebodoh itu. Aku tak memiliki kutukan apa pun. Hidupku selalu, dan akan selalu normal.” Loko berusaha tak mempercayai tuturan pria itu meski jantungnya berdegup kencang menahan teriakan ketakutan. Ia takut dijauhi teman-temannya, ia takut orang orang menatapnya dengan jijik, ia takut hidup dikelilingi hal tak wajar, ia takut. Loko takut. Sangat takut.
“Maafkan aku.” Sekali lagi, dengan wajah murungnya pria itu meminta maaf. Tanpa alasan yang jelas bagi Loko.
“Aku Joshdee. Disaksikan bunga peony sarah bernhardt yang tumbuh indah di pekarangan rumahnya, aku mendengar dan menyaksikannya sendiri bagaimana bibimu mengutukmu.” Lanjut pria yang diketahui namanya adalah Joshdee. Mendengar penuturannya, mata Loko membulat sempurna. Ia tahu betul bibinya adalah penyihir ulung yang terkenal dengan magis jahatnya. Namun, untuk apa bibinya mengutuknya?
Loko menangis. Ia tak tahu harus bagaimana. Jika ibunya mengetahuinya, ia bisa diusir. Sembari menyeka air matanya, Loko bertanya. “untuk apa tanduk ini?” Bahkan tangan Loko masih bergetar sejak memegang tanduk perak kusam itu.
“Itu membantumu.” Joshdee tersenyum nanar sebelum perlahan memudar kemudian raib dari penglihatan.
Loko termenung. Tak tahu pasti apa yang sedang terjadi. Ia merasa—ini semua hanya mimpi. Hingga ia merasa ada yang menariknya ke dalam dekapan yang hangat. Loko tersadar ia sedang didekap oleh ibunya. Air matanya mengalir tanpa aba. Membasahi celemek oranye yang dikenakan oleh ibunya.
“Enggak pa-pa sayang, enggak pa-pa. Ayo ibu temenin ngejalanin. Kamu jagoan ibu, sampai kapan pun, kamu tetep jadi jagoan ibu.” Loko tak bergeming. Ia terlalu terkejut dengan semua hal yang secara tiba-tiba menimpanya. Seolah menikamnya tanpa ampun.
“Bibi Torcu emang jahat. Ibu tahu itu. ibu minta maaf ya sayang. karena ibu, kamu harus kena kutukan dari dia.” Lagi-lagi Loko hanya terbungkam dengan air mata yang kian membasahi pipinya sendiri, dan celemek ibunya. Tatapannya kosong. Lain halnya dengan ibu Loko yang menangis tersedu-sedu melihat kutukan Torcu sudah sampai ke kehidupan Loko.
“Ibu ngapain? Ibu ngelakuin apa ke bibi Torcu, Bu?” Ibu tak menjawab saat pertanyaan dilontarkan oleh Loko. Ia tersenyum sumir kemudian mengusap air mata anak kesayangannya. Hatinya bagai dilempari ribuan tombak dari neraka. Melihat lensa mata kiri Loko yang berbeda, perasaannya semakin tersayat, seakan bisa lebur tak bersisa kapan saja.
━─━────༺༻────━─━
“Jangan sentuh itu, bodoh.” Tangan Loko yang sebelumnya ingin menyentuh bunga gerbera perlahan menjauh setelah mendengar larangan dari Dees.
Masih ingat wanita dengan jari bercabang yang ditemui Loko beberapa waktu lalu? Ternyata makhluk itu mengikuti Dees. Perempuan yang terkena kutukan karena memetik setangkai gerbera yang tumbuh di halaman rumah Torcu. Ya, Torcu bibi Loko. Keduanya pertama kali kenal ketika Loko yang tersungkur di depan air mancur taman kota. Saat itu, Dees hanya sekedar berkunjung. Kemudian menemukan Loko yang tersungkur dengan raut ketakutan. Tanpa menunggu apa pun, Dees langsung menolongnya.
Keduanya berbincang cukup lama hingga saling mengetahui jika masing-masing dari mereka terjerat kutukan. Kutukan itu tak sama, namun dilemparkan oleh orang yang sama. Jika Loko bisa melihat pengaruh buruk dan makhluk-makhluk aneh, Dees diikuti oleh wanita dengan jari bercabang yang bisa mengendalikannya kapan pun yang wanita itu mau. Syukurlah wanita itu hanya mengendalikan Dees jika ia benar-benar ingin. Selebihnya, ia hanya mengikuti Dees. Sesekali mengganggunya.
Yang Loko ketahui, Dees terkena kutukan karena memetik bunga gerbera yang berwarna merah gelap seperti darah yang pekat saat mengantarkan sahabatnya menemui Torcu. Dees juga mengatakan jika hanya sahabatnya yang bisa membantunya keluar dari kutukan. Loko tak mengetahui siapa sahabat Dees. Dees hanya bilang jika sudah lama sekali ia tak berjumpa dengan sahabatnya.
“Senyap banget gila. Nyeremin.” Loko bergidik kala sampai di pekarangan rumah tua bernuansa hitam milik Torcu. Atmosfer rumah itu sangat mengerikan. Loko berani bersumpah, bangunan itu tak terlihat seperti rumah melainkan lebih seperti wahana rumah hantu. Tabebuya hitam, gerbera warna darah pekat, dan sarah bernhardt tumbuh memenuhi halamannya. Seakan ingin mencekik rumah kayu yang mulai rapuh itu untuk cepat runtuh.
Keduanya sepakat mendatangi rumah Torcu guna meminta untuk melepaskan mereka dari kutukan. Konyol? Mereka memang konyol karena mengharapkan Torcu melepas kutukannya semudah itu. Ini Torcu! Dia sangat teguh terhadap pendiriannya. Sekali itu yang ia inginkan, sampai kapan pun tak akan ada yang bisa menghalanginya.
“Kamu ini banyak bicara.” Dees merotasikan netranya. Malas menanggapi Loko lebih lanjut.
“Ish! Bawel banget.” Loko berdecak kesal lantaran Dees selalu saja mengomelinya sejak sampai di kawasan rumah Torcu. Jangan lakukan ini, jangan itu, ini, itu. MEMANGNYA KENAPA, SIH?
Mereka berdua mulai mendekati pintu rumah tua itu. Bahkan sebelum memegang gagangnya, keduanya ditegangkan oleh pintu yang terbuka dengan sendirinya. Itu sangat dramatis pikir mereka. Di hadapan mereka kini terdapat Torcu dengan gaun hitam setinggi lutut dan rambutnya yang mulai memutih digerai duduk membelakangi mereka, menghadap perapian.
“Apel manisku sudah sampai. Makanan penutup yang tak buruk, ini akan menjadi lezat.” Torcu menyeringai. Dees dan Loko semakin menegang kala terdapat sinar hijau berbau keju busuk menjerat mereka. Itu menyakitkan. Bodoh sekali keduanya datang tanpa persiapan. Keduanya sangat mengetahui jika Torcu sangat licik, dan bermagis kuat. Tertawakan mereka, silakan. Keduanya masih menggeliat bodoh berharap keluar dari magis gelap Torcu. Bahkan makhluk yang mengikuti Dees tengah terkikik di samping Torcu manakala menyaksikan Loko daan Dees.
Keduanya masih terjerat. Tenaganya sudah mulai habis. Ingin pingsan rasanya. Hingga semua yang berada di dalam rumah Torcu tersentak saat pintu terhantam dengan keras. Mereka membeku. Terutama Loko. Bagaimana tidak? Ibu Loko kini berdiri di hadapannya dengan membawa sebuah apel. Loko sangat terheran. Ibunya? Itu benar-benar ibunya? Yang benar saja?
“KU TURUTI KEMAUANMU! LEPASKAN MEREKA DAN SAKSIKAN AKU RAIB DILALAP API JAHATMU.”
“Dengan senang hati, Adri.” Sekali lagi, Torcu menyeringai. Dees dan Loko hanya termangu mengabaikan jeratan di tubuh mereka hingga semuanya—gelap.
—
Mata Dees dan Loko terbuka. Menampakkan Adri alias ibu Loko yang kini menari dengan busana serba merah dan apel ditangannya di tengah lingkaran bunga baby breath yang terbakar oleh api gelap dari sihir Torcu. Keduanya tak sebodoh itu untuk menyadari bahwa Adri melakukan sebuah pengorbanan untuk menyelamatkan mereka.
“IBU! IBU! JANGAN TINGGALKAN AKU, IBU!” Loko histeris melihat ibunya yang kini seperti wanita kesetanan. Menari di bawah sinar rembulan dikelilingi api seperti tengah kerasukan.
“Adri..” Dees termenung. Itu Adrianne Sinbianca, sahabatnya. Satu-satunya orang yang bisa membebaskannya dari kutukan. Dan dia tengah berkorban—untuknya.
Di tengah histerisnya, Loko teringat dengan tanduk perak kusam pemberian pria aneh yang ia temui saat pertama kali menjumpai matanya yang berubah warna. Ia mengeluarkan tanduk itu dari tas selempangnya. Loko memang selalu membawa tanduk perak itu ke mana saja. Hanya untuk jaga-jaga saja pikirnya
“Tanduk ini—apakah bisa membantu?” Loko bergumam pelan. Dees yang mendengarnya pun menoleh ke arah Loko.
“Jangan macam-macam! Itu bisa membuat ibumu ter—“ Belum sempat menuntaskan kalimatnya, tiba-tiba api yang melalap bunga di sekeliling Adri semakin liar. Mulai merambat ke arah pohon apel yang berdiri tegak di tengahnya. Dalam waktu dekat, api itu bisa meraup habis Adri. Keduanya semakin bergetar. Mereka menangis dan berteriak melihat api yang makin merajalela seakan ingin memenuhi ambisi untuk meraup habis Adri dan pohon apel di tengahnya.
Entah apa isi pikiran Loko, ia tiba-tiba melemparkan tanduk yang dipegangnya ke arah pohon apel yang ranting-rantingnya mulai terlalap api. Hingga setelahnya, api semakin merajalela dari sebelumnya, semakin gelap, semakin membakar. Torcu tak ada di situ. Namun, jeritan amarahnya seakan terasa melalui api yang semakin menjalar itu. Loko dan Dees kembali histeris menjerit-jerit memohon untuk menyelamatkan Adri dari raupan api itu. Tapi nihil. Tak ada jeda sedikit pun bagi mereka untuk sempat menarik Adri dari lingkaran api itu. Mereka hanya bisa berputus asa meratapi kebodohan mereka. Jika saja mereka tidak picik untuk datang menemui Torcu, Adri pasti tidak akan kenapa-kenapa.
Hingga pada akhirnya api itu sepenuhnya meraup Adri beserta pohon apel, Dees dan Loko menatap kosong ke arah itu. Tak lama, api itu raib dengan cepat hanya menyisakan pohon apel yang sudah hangus dan— Adri. Mereka ternganga. Seperti—BAGAIMANA BISA? YA TUHAN, KEAJAIBAN APA LAGI INI?
Tanpa pikir panjang, Dees dan Loko berlari menghampiri Adri. Mereka menangis sembari memeluk Adri. Namun apa yang mereka dapatkan? Hanya tatapan hampa. Tak peduli dengan itu, Loko tetap mensyukuri ibunya yang masih hidup. Pun dengan Dees yang bersyukur karena sahabatnya, Adri selamat dari api gelap itu
Manakala Loko dan Dees sibuk menangisi dan memeluk Adri, suara Torcu terdengar bergema.
“Kalian lupa dengan fatwaku mengenai tanduk itu? Apalagi ibumu juga memegang sebuah apel saat menari.”
Dees dan Loko seketika membeku. Mereka sangat amat mengetahui tentang fatwa dari Torcu tentang hubungan tanduk dan apel. Benar saja, Adri dengan busana merahnya masih menatap hampa. Lehernya mendapat tanda seperti sebuah tato berbentuk tanduk. kukunya menjadi sepanjang satu inci dengan warna merah gelap. Dan, apa ini? Mereka bahkan baru menyadari tongkat menyerupai ranting apel yang terselip di bagian belakang baju Adri.
Adri menjadi penyihir.
━────༺༻────━

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Corne D agent Et Pomme
Minggu, 28 November 2021 16:50 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler