x

Sekolah nyaman, sekolah berpihak pada murid.

Iklan

Julianti Mustika

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 November 2021

Selasa, 30 November 2021 13:37 WIB

Ki Hadjar Dewantara, Merdeka Belajar, dan Matematika

Artikel ini bertujuan untuk berbagi pemikiran dan pengalaman mengenai konsep merdeka belajar berdasarkan pada falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang diinternalisasikan pada aktivitas belajar matematika bersama murid.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

KI HADJAR  DEWANTARA, MERDEKA BELAJAR, DAN MATEMATIKA

 

“Pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedangkan merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.” (Ki Hadjar Dewantara)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengenali falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara, telah cukup memberikan kesadaran untuk saya pribadi. Bahwa pemikiran beliau amatlah mendalam dan visioner. Kita bisa saja belajar berbagai teori pembelajaran dan pendidikan dari berbagai tokoh pendidikan dunia, namun setelah mengenali dan mempelajari pemikiran KHD maka kita cukup tau bahwa rumusan, teori, serta prinsip pembelajaran dan pendidikan KHD masih sangat relevan untuk menjadi referensi atau acuan kita dalam memperbaiki dan mengembangan pendidikan kita saat ini. 

Mengembalikan anak pada kodratnya dan memfasilitasi setiap potensi anak untuk tumbuh menjadi manusia yang memiliki budi pekerti adalah hal mendasar yang saya pahami dari Ki Hadjar Dewantara. Hal ini tentu saja relevan dengan konsep merdeka belajar yang sedang kita usung bersama. 

Prinsip ini didasari dari sebuah keyakinan bahwa setiap individu/anak telah tercipta oleh Tuhan dengan sebaik-baiknya penciptaan. Setiap individu diberikan keistimewaan berupa potensi atau kemampuan untuk berpikir, bernalar, dan merasa. Seorang psikolog Harvard Howard Gardner dalam bukunya “Frames of the Mind: The Theory of Multiple Intelligences” telah mengklasifikasikan kecerdasan dalam sembilan jenis. Sembilan jenis kecerdasan ini adalah kecerdasan naturalistik, kecerdasan dalam bermusik, kecerdasan logika matematis, kecerdasan eksistensial, kecerdasan interpersonal, kecerdasan linguistik, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan intrapribadi, dan kecerdasan spasial. Dengan demikian, tugas dari manusia adalah menemukan dan terus berupaya untuk mengoptimalkan setiap potensi kecerdasan yang ada dalam dirinya sehingga tumbuh menjadi insan yang membawa kebaikan bagi alam semesta.

Selanjutnya, kita semua sepakat bahwa sekolah merupakan tempat yang sangat strategis untuk membantu setiap anak menemukan jati diri dan kecerdasan yang dimilikinya. Oleh karena itu, berupaya optimal untuk menjalankan peran seorang guru untuk mengarahkan, mendampingi,dan mengembangkan semua potensi kecerdasan setiap siswa adalah sebuah keniscayaan sebagai implementasi dari prinsip merdeka belajar.

Setiap entitas sekolah tentu saja dapat berperan aktif dalam mewujudkan merdeka belajar dengan mengusung sekolah nyaman dan sekolah yang berpihak pada murid berdasarkan potensi dan kapasitas diri yang dimiliki. Sebagai guru matematika, saya meyakini bahwa aktivitas pembelajaran matematika juga memiliki potensi untuk turut mengembangkan berbagai kemampuan peserta didik. Belajar matematika tidak hanya tentang algoritma atau rumus-rumus saja, akan tetapi lebih dari itu, ada tujuan yang lebih besar dari proses pembelajaran matematika. 

Dalam rumusan National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) disepakati bahwa tujuan pendidikan matematika meliputi belajar untuk memecahkan masalah (mathematical problem solving), belajar untuk bernalar (mathematical reasoning), belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication), belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections), dan belajar untuk merepresentasikan matematika (mathematics representation).

Sayangnya, berdasarkan kajian PISA 2015, ditemukan fakta bahwa kemampuan literasi matematika pelajar Indonesia masih tergolong rendah. Penilaian ini melibatkan 540 ribu pelajar dari 72 negara dunia yang mewakili populasi 29 juta pelajar berusia 15 tahun. Kemampuan matematika pelajar Indonesia menduduki peringkat 64 dari 72 negara dengan skor 386, di bawah skor rata-rata seluruh partisipan adalah 490. Pengukuran kemampuan literasi matematika oleh PISA tidak hanya pada kemampuan berhitung pelajar namun juga terfokus pada kemampuan pelajar dalam menganalisis, memberikan alasan, dan menyampaikan ide secara efektif, serta merumuskan, memecahkan, dan menginterpretasikan masalah-masalah matematika dalam berbagai bentuk dan situasi. Oleh karena itulah, kemampuan pelajar kita dalam mengaplikasikan dan menerjemahkan solusi matematika ke situasi nyata masih perlu dikembangkan.

Berdasarkan hal ini, maka yang menjadi tantangannya adalah bagaimana cara untuk menghadirkan pembelajaran matematika yang dapat menstimulasi berbagai macam kecerdasan yang dimiliki oleh setiap siswa. Tahun lalu, ada sebuah kabar baik di dunia pendidikan kita, dimana pemerintah memutuskan untuk mengganti Ujian Nasional menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Kebijakan ini bisa kita maknai sebagai bentuk hadiah bagi seorang guru untuk mendapatkan kemerdekaan nya dalam menyusun dan merancang proses pembelajaran. Selama ini, sebagai seorang guru, kita lebih fokus untuk menyelesaikan target kurikulum yang telah ditetapkan demi memenuhi standar ujian nasional yang cenderung hanya mengukur kemampuan kognitif murid.  Kita acapkali lupa untuk menghadirkan makna pada setiap proses pembelajaran. Padahal, sejatinya murid kita membutuhkan pembelajaran yang bermakna, sebagaimana Elaine B. Johnson dalam bukunya yang berjudul contextual learning menyatakan bahwa “ ketika murid dapat mengaitkan isi mata pelajaran akademik dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar.”

Selain itu, kebijakan untuk menggantikan UN menjadi AKM ini menunjukkan bahwa kita sudah mulai terbuka untuk merubah paradigma pendidikan kita saat ini, bahwa pendidikan bukan terbatas pada teori atau algoritma semata. Sebagai seorang guru,  mari kita maknai kebijakan ini sebagai sebuah kesempatan untuk dapat memiliki ruang yang lebih luas lagi untuk menghadirkan pembelajaran yang bermakna untuk bisa memfasilitasi setiap tumbuh kembang murid. 

Selanjutnya, mengenali dan memahami siswa dengan mengetahui kecerdasan dan bakat yang dimilikinya adalah hal mendasar yang perlu dilakukan oleh seorang guru. Gagasan ini bisa kita dapatkan dalam konsep pembelajaran berdiferensiasi yang berprinsip bahwa dalam merancang skenario pembelajaran, seorang guru diharapkan dapat mengidentifikasikan kebutuhan siswa. Identifikasi ini bisa dilakukan dengan memetakan siswa dari tiga aspek utama yaitu kesiapan belajar, minat siswa, dan profil belajar siswa.

Untuk itu, sebagai guru mata pelajaran,membangun komunikasi dan kerjasama dengan wali kelas yang memiliki waktu berinteraksi lebih banyak dengan siswa serta berkolaborasi dengan guru bimbingan dan konseling yang lebih berkompetensi dalam memahami perkembangan psikologi dan bakat siswa adalah upaya yang bisa saya lakukan sebagai guru mata pelajaran. 

Selain itu, sebagai guru mata pelajaran, saya juga bisa memanfaatkan kesempatan selama berinteraksi dengan siswa untuk membangun komunikasi yang menyenangkan, sehingga siswa dapat merasa aman dan nyaman untuk berekspresi dan bercerita, serta mengemukakan feedback mereka terhadap aktivitas belajar matematika yang telah dijalankan. Dengan demikian, saya bisa mendapatkan kesempatan untuk melakukan observasi pribadi.

Selanjutnya, setelah cukup mengenali karakter, kecerdasan, dan bakat siswa tahap berikutnya yang perlu dilakukan adalah merancang skenario pembelajaran. Pada tahap ini, sebagai guru matematika saya harus mengeksplorasi berbagai metode atau pendekatan yang bisa memfasilitasi setiap siswa untuk mengembangkan kecerdasan dan bakat yang dimilikinya. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka saya bisa berkolaborasi dengan rekan guru lainnya. Melalui proses diskusi dengan sesama guru matematika, kami bisa saling merekomendasikan dan merumuskan metode pembelajaran yang relevan. Sementara itu, melalui kerjasama dengan guru lintas mata pelajaran, maka akan membuka peluang untuk menghadirkan pembelajaran yang lebih variatif,berkesinambungan, dan bermakna.

Berikutnya, Ada berbagai metode atau pendekatan pembelajaran yang bisa dijadikan alternatif pilihan dalam pembelajaran matematika diantaranya adalah inquiry, problem based learning, project based learning, Realistic Mathematics Education(RME) yang memiliki prinsip bahwa matematika haruslah berdekatan dengan keseharian siswa dan matematika haruslah dipandang sebagai aktivitas bukan suatu algoritma semata. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan ide atau konsep matematika berdasarkan pengalaman anak dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan sekolah, keluarga, atau lingkungan masyarakat yang benar-benar dikenal siswa.

Metode-metode ini bisa juga dipadupadankan dengan metode kerja kelompok. Setelah memahami sintaks belajar dari setiap metode ajar ini, maka dapat disimpulkan bahwa ada kesamaan prinsip dalam setiap metode ini, yaitu bahwa pada aktivitas pembelajarannya, siswa harus diberikan akses untuk mengeksplorasi setiap materi atau topik pembelajaran yang disajikan untuk menemukan konsep dan memecahkan permasalahan yang diberikan.

Dengan demikian, melalui aktivitas pembelajaran dengan berbagai metode yang dipadupadankan dengan belajar kelompok maka akan ada peluang untuk mengembangkan berbagai kecerdasan siswa. Dengan bekerja sama dalam kelompok atau tim belajar, siswa dapat belajar untuk mengembangkan kecerdasan interpersonal. Melalui aktivitas berdiskusi kelompok dan aktivitas presentasi hasil diskusi, siswa dapat mengembangkan kecerdasan linguistik. Aktivitas membuat media presentasi oleh siswa juga akan sangat membantu siswa untuk menuangkan ide-ide kreatif yang mereka miliki. Permasalah yang disajikan dalam student worksheet juga dapat memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kecerdasan numerasi dan juga mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan memecahkan masalah Feedback yang diberikan di akhir pembelajaran, membantu siswa untuk menggali kecerdasan intra-pribadi dengan belajar melakukan refleksi. Refleksi bertujuan untuk menggali pemahaman mereka terhadap proses dan hasil belajar yang telah didapatkan, serta untuk menggali kemampuan siswa dalam mengenali dan mengekspresikan perasaan mereka terhadap aktivitas belajar yang telah dilalui.

Akhirnya, sudah saatnya kita untuk memandang matematika dengan lebih luas.Bahwa matematika tidak hanya berkaitan dengan kemampuan numerasi tapi kita dapat memanfaatkan aktivitas belajar matematika sebagai peluang untuk memfasilitasi perkembangan siswa dengan berbagai kecerdasan yang dimilikinya. Dengan demikian, konsep merdeka belajar berbasis falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara telah mulai kita internalisasikan pada setiap aktivitas belajar bersama siswa.

 

Guru bergerak, Indonesia maju.





Ikuti tulisan menarik Julianti Mustika lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu