x

Iklan

Agustinus Donny

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 27 November 2021

Selasa, 30 November 2021 22:45 WIB

Sudah atau Sudah?

Pemimpin yang berani adalah ia yang mengorbankan dirinya guna melindungi anak buahnya, bukan? Cerita pendek ini diikutkan dalam lomba menulis cerpen Indonesiana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Ah, hape sialan! Padahal sudah kuatur alarm pukul 4. Namun, mengapa aku masih saja tertidur sampai jam 6? Aaduhhh! Mana hari ini jadwalnya Pak Munawir, dosen yang killer itu. Haduh bagaimana ini?”

Kelas Pak Munawir merupakan kelas terakhirku di minggu ini. Aku harus bergegas cepat karena gerbang kampus akan tutup 45 menit lagi. Ditambah lagi, Pak Munawir terkenal sangat disiplin dalam urusan waktu. Aku harus memprioritaskan mandi dulu, urusan sarapan tinggal beli saja roti sari di kantin. 

Baru kali ini aku mandi hanya dalam waktu 6 menit. Rekor tercepatku saat mandi adalah 7 menit. Sudahlah  aku harus cepat mengatur bawaanku!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Buuu!! Cakra berangkat ya!” teriakku dengan keras selagi gugup.

“Iya, Nak. Hati-hati ya! Jangan gugup!” kata ibu dengan senyuman yang membuatku lebih tenang.

“Baik, Bu!” jawabku.

Motor sudah siap, bensin masih banyak, bawaanku juga sudah lengkap, surat-surat kelengkapan motor juga lengkap. “Mantap. Hari ini adalah hari terindahku selama kuliah 5 semester!”

Jalanan begitu ramai. Tapi entah mengapa aku tak berhenti pada lampu merah. Saat lampu masih merah, tiba-tiba sudah hijau saja. Terimakasih Tuhan karena telah memudahkan jalan bagiku.

Sesampainya di kampus, aku segera memarkirkan motorku di barisan paling pinggir dekat gerbang, lalu kulihat kembali jam tanganku.

“Wah kurang 5 menit lagi pelajaran dimulai!”

Aku lari bergegas ke kelasku. Nampak sepi sekali. Setelah itu kucek lagi hapeku. Ada pesan WhatsApp dari Pak Munawir. Beliau bilang di grup kelas. “Mas dan mbak sekalian. Pelajaran bapak hari ini diganti jadi jam 6 sore, ya. Kita akan mulai pelajaran sehabis maghrib.”

“Haduh! Sudah bangun pagi, masuk tepat waktu, surat motor lengkap. Eh malah diundur!”

“Hmmm, aku harus ngapain ya? Sekarang baru jam 7 pagi. Ah sudahlah. Lebih baik aku pergi ke kantin untuk sarapan. Lalu mengerjakan tugas habis itu bermain game!”

Aku bergegas mengambil laptopku, membuka tugas yang belum kukerjakan sambil memakan roti sari yang kubeli di kantin. Aku sangat menikmati proses mengerjakan tugas begini. Hingga tak terasa pada jam 9 tugasku semua sudah rampung. “Asiikkk waktunya main game nih!”

Aku langsung menutup semua software seperti Word dan Excel. Lalu kubuka game Football Manager.

“Lanjut latih Man. United dulu, ah. Jadwal pertandingan kali ini lumayan padat nih! Aku harus rotasi terus pemainku supaya tidak ada yang kelelahan!”

Tak terasa aku menghabiskan waktu di kantin sekolah hingga jam 1 siang. Football Manager benar-benar membuatku lupa waktu. Karena hawa panas yang sangat menyengat, aku putuskan untuk pulang ke rumah.

Jarak rumahku ke kampus bisa dibilang jauh. Di perjalanan pulang aku mampir sebentar di Indoapril Corner untuk berlindung dari panasnya matahari yang membuatku tak kuat melanjutkan perjalanan. Aku memandang jalanan yang begitu padat sambil kuteguk sebotol air mineral.

Sesudah temperature menurun, aku melanjutkan perjalanan pulang. 

Sesampainya di rumah. Aku langsung ke kamarku yang rapih nan indah. Walau kata orang-orang di rumahku, kamarku seperti kapal yang baru diserang kraken. Hancur lebur. Ya walau begitu, aku tidak pernah menjumpai binatang buas seperti kecoa di kamarku. Malah kamar adikku selalu menjadi sarang kecoa.

Aku langsung berbaring diatas kasur. Lalu tertidur tanpa sengaja.

“Ah sialan! Mimpi aneh macam apa tadi!? Niat tidur siang untuk memejamkan mata. Eh malah mimpi buruk yang kudapat. Sudahlah, ini waktunya aku bersiap-siap untuk berangkat lagi.”

Aku tak peduli mimpi buruk apa tadi. Yang penting aku harus bergegas ke kampusku karena sekarang waktu sudah menunjukan pukul 5.00. Aku tidak mau kena marah oleh dosen galak itu.

Setibanya aku di kampus. Putri, kekasihku sejak SMA yang juga menjadi wakil ketua di kelasku, menyapa. Dia hampir saja membuatku pingsan.

“Apakah kamu sudah mengerjakan tugas minggu lalu?” tanya Putri.

“Hah? Tugas minggu lalu? Yang apa? Yang mana? Yang bagaimana?” tanyaku.

“Tugas yang di-share di grup WhatsApp. Kamu pasti belum ya?” jawab Putri.

“Oh, yang itu. Tadi siang sudah kukerjakan saat disini.” jawabku sambal menghela nafas.

“Yah, kukira belum.” kata Putri.

“Ha ha ha. Makanya jadi orang jangan suka bully orang. Apalagi yang kau bully seorang ketua kelas sekaligus pacarmu sendiri. Ha ha ha.” jawabku.

“Hehe. Iya deh. Maaf ya. Eh itu Pak Munawir sudah datang, ayo kita masuk. Nanti kena marah lagi.” kata Putri sambal melihat Pak Munawir dari jauh.

Aku kemudian memerintahkan teman-temanku untuk masuk kelas karena Pak Munawir telah tiba. Namun, hari ini Pak Munawir tidak seperti biasanya. Ia sangat pendiam. Biasanya, saat ia datang, ia langsung membuat lelucon tentangku.

15 menit sudah berlalu. Ia sudah berdiri selama 15 menit dan tidak berbicara sepatah kata pun.

Tak lama setelah itu, hapeku berbunyi dan ada pesan dari Pak Munawir padaku. “Mas ketua, maaf hari ini pelajaran saya tidak jadi. Anak saya kecelakaan siang tadi. Malam ini, ia harus menjalani operasi.”

Aku pun langsung membalas, “Lho, sebelumnya maaf, Pak. Tapi kami sekarang sedang ada di kelas bapak.”

Pak Munawir kemudian menjawab, “Mas Cakra. Saya sekarang sedang di RS Kusuma. Saya sedang menemani anak saya mau operasi.”

Pak Munawir lalu mengirim gambar ia sedang di RS bersama anaknya yang akan menjalani operasi. Aku terkejut. Lantas siapa “Pak Munawir” yang ada di kelas kita?

Aku masih tak percaya. Aku sempat hampir berdebat dengan dosen yang terkenal killer. “Lalu yang di kelas ini siapa, Pak?”

“Coba kamu jatuhkan bolpoin. Lalu lihat apakah ‘saya’ yang di kelas punya kaki atau tidak.” Kata Pak Munawir yang asli.

Aku mencoba menjatuhkan bolpoinku dengan sengaja. Lalu kulihat kaki “Pak Munawir” di depan. Kakinya tidak ada. Ia melayang! Tanganku dingin. Keringatku banjir membasahi baju. Aku menjawab lagi pada Pak Munawir, “Tidak ada kaki, Pak. ‘Dia’ melayang. Apa yang harus saya lakukan, Pak?”

Pak Munawir membalas, “Nak, bagaimana caranya kamu dan yang lainnya harus keluar dari situ. Maaf, Nak. Bapak tidak ada waktu lagi untuk membalas pesanmu. Bapak harus menenangkan ibu yang sedang khawatir. Yang penting jangan terlihat takut!” 

“Pak Munawir” melihatku yang sedang gelisah. Tatapannya benar-benar mengerikan. Tangan dan kakiku dingin. Keringat terus keluar tak terhenti. Bajuku basah hanya dalam waktu 3 menit saja. Aku harus bagaimana? Hanya aku yang tahu semua ini.

Aku berusaha menghela nafas, menenangkan diri sejenak lalu berpikir apa yang harus kulakukan. Aku pun teringat kata ayahku. “Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang berani mengorbankan dirinya guna melindungi anak buahnya.”

Berhubung jabatanku di kelas adalah ketua. Aku pun langsung memberitahu di grup WhatsApp kelas. “Semuanya keluar satu-satu. Mulai dari baris paling depan. Gak usah banyak tanya.”

Tak lama, barisan depan keluar dengan tertib tanpa suara. Sepertinya rencanaku berjalan dengan baik. Kulihat “Pak Munawir” masih berdiri dan diam di depan papan tulis. Aku yang duduk di kursi belakang mengawasi ”dia” dan anak buahku yang keluar.

“Sekarang barisan tengah hampir habis. Bagus! Akhirnya ada juga sikap yang bisa dijadikan teladan dari diriku.” 

Sekarang tinggal tersisa barisan belakang. Dan aku duduk di kursi paling akhir. Tak apalah. Aku mendengar mereka yang sudah keluar mengucapkan syukur yang tiada henti. Saat teman-temanku sedang keluar bergantian. Putri mengirim pesan kepadaku. “Cakra? Kamu gimana nanti? Kamu ga apa-apa keluar terakhir?”

Aku yang berapi-api karena teringat ucapan ayah pun membalas. “Udah ga apa-apa. Yang penting kalian aman. Udah jangan pada kumpul di depan kelas, mending kalian pulang aja. Besok kita cerita lagi.”

Kudengar suara dari luar, Putri menyuruh teman-temannya untuk segera pulang ke rumah karena hari mulai larut. Disaat yang sama, “Pak Munawir” yang ada di kelas bertanya. “Kenapa kok pada keluar?”

Aku menjawab sambil sedikit goyah. “Sudah selesai, Pak.”

Saat aku sedang bersiap untuk keluar, “Pak Munawir” bertanya dengan nada licik, “Sudah selesai atau sudah tahu?”

Ikuti tulisan menarik Agustinus Donny lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler