x

Gambar oleh Sasin Tipchai dari Pixabay

Iklan

I Nyoman Agus Sudipta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Rabu, 1 Desember 2021 21:48 WIB

Menjadikan Sekolah Sebagai Taman yang Menyenangkan

Artikel tentang mewujudkan merdeka belajar dengan meciptakan suasana belajar di sekolah seperti taman yang indah dengan berbagai bunga warna-warni dan peserta didik merasa senang untuk belajar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kata sekolah berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti yaitu waktu luang atau waktu senggang. Dari arti tersebut, maka sekolah adalah waktu luang bagi anak-anak untuk melakukan kegiatan. Anak-anak di tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa kecilnya, memiliki waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Dalam perkembangan sekarang, sekolah bukan lagi menjadi waktu luang bagi anak-anak. Sekolah menjadi tempat yang membosankan dan menjemukan dengan berbagai beban tuntutan yang harus dipenuhi anak-anak sebagai peserta didik. Peserta didik dituntut memiliki berbagai kemampuan yang sudah dituangkan dalam kurikulum. Artinya di sekolah anak-anak sudah diatur beban belajar yang harus mereka lakukan. Belum lagi tugas tambahan dari guru yang berupa pekerjaan rumah (PR) yang mesti dikerjakan. Seolah-olah peserta didik tidak ada kesempatan untuk rehat dan me-refresh diri setelah belajar di sekolah. Begitu juga kegiatan belajar tambahan berupa les yang mesti dilakoni untuk mendongkrak nilai.

Wajah sekolah yang semestinya menjadi rumah kedua bagi peserta didik, ternyata semua itu hanya isapan jempol. Peserta didik merasa terbebani begitu memasuki tempat yang bernama sekolah. Apalagi saat mereka masuk kelas, maka kebosanan dan rasa terpenjara mulai mencengkeram. Hal ini terjadi bila dalam pengelolaan kelas suasana yang diciptakan tidak mampu mengakomodir kebutuhan peserta didik. Bahkan suasana pembelajaran yang dilakukan tidak menyenangkan. Peserta didik terbebani untuk belajar. Peserta didik terlalu dituntut menguasai semua materi pelajaran. Peserta didik diperkosa hak-haknya dan kehilangan kemampuan alaminya begitu memasuki ruang belajar bernama sekolah. Ibarat ikan yang kehilangan kemampuan alaminya berenang karena dipaksa untuk berlari. Burung kehilangan kemampuan alaminya untuk terbang, karena dipaksa untuk berenang. Inilah yang terjadi di sekolah sekarang. Kemampuan alamiah dalam bentuk bakat, minat dan potensi yang dimiliki peserta didik hilang. Sekolah hanya mengharapkan peserta didik menjadi robot yang telah diprogram dengan sistem yang hanya mengedepankan pembentukan kecerdasan intelektual. Materi-materi hafalan merenggut kreatifitas, inovasi dan keterampilan peserta didik untuk mengolah bakat dan minatnya. Jangan heran lulusan yang dihasilkan di sekolah seperti produk gagal.

Sekolah disebut sebagai pencetak pengangguran intelektual terbesar. Sekolah konvensional telah menjadi tempat yang hanya diisi oleh bangunan-bangunan (benda mati), karena kehidupan pembelajaran didalamnya sudah mati dan tercerabut maknanya. Sekolah telah menjadi tempat manusia-manusia robot untuk diprogram, karena aspek kemanusiaan di dalamnya hilang. Nilai-nilai insani kehidupan yang semestinya dibentuk dalam ruang yang bernama sekolah mulai terabaikan, maka sekolah telah gagal dalam tujuannya. Begitu juga bila komunitas sekolah tidak dibangun dengan asas cinta dan kasih sayang, terutama antara guru dan peserta didik itulah sesungguhnya kegagalan yang paling mendasar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Guru dan peserta didik sebagai penghuni yang mampu mendenyutkan kehidupan di sekolah diharapkan bersinergi. Artinya guru dan peserta didik membangun suasana pembelajaran dan aktifitas belajar yang aktif, inovatif, kreatif, edukatif, menyenangkan penuh kegembiraan. Disamping itu guru dan peserta didik semestinya menciptakan suasana kekeluargaan tanpa sekat tembok yang kokoh. Guru dan peserta didik ibarat orang tua dengan anak yang saling menyayangi dan tidak membentuk fanatisme sempit. Guru memposisikan diri sebagai orang tua yang penuh perhatian dan kasih sayang. Bersikap adil, tegas, berwibawa dan bertanggung jawab. Jangan sampai guru memunculkan rasa gila hormat dan ingin ditakuti, agar peserta didik tidak berani. Bila sikap ini yang terus dikedepankan, maka peserta didik tidak akan berani untuk menyampaikan segala kemampuan, perasaan dan keinginannya kepada guru. Semestinya yang perlu dibangun adalah kesadaran peserta didik untuk selalu menghargai, menghormati dan menjaga etika serta sopan santun terhadap guru. Bukan memaksa peserta didik untuk takut dan tidak berani dekat dengan gurunya dalam menyampaikan segala situasi dan kondisi psikologis yang dialami.

Sebuah pemandangan yang memang tidak bisa dipungkiri, bila suatu saat setelah proses pembelajaran di sekolah selesai, maka ada beberapa lulusan suatu sekolah yang bertemu dengan gurunya tidak menegur sapa gurunya. Bahkan ada yang secara sengaja menghindar, agar tidak bertemu dengan gurunya. Hal seperti inilah yang sesungguhnya memberikan gambaran bahwa proses yang dibangun di sekolah sudah gagal. Rasa kekeluargaan, cinta kasih dan saling menghormati secara tidak langsung telah luntur dan gugur. Guru semestinya membangun kembali rasa itu tanpa mengesampingkan kewibawaan dan martabatnya. Sesungguhnya di sekolah semestinya rasa itu terpelihara dan terpupuk dengan baik. Maka tembok kokoh yang membatasi antara guru dan peserta didik harus dirobohkan dengan rasa kekeluargaan, cinta kasih dan saling toleransi. Bila hal ini mampu diwujudkan, pastinya tujuan dari pendidikan dapat tercapai.

Terry Weeks guru teladan nasional 2003 dari Tennessee menyatakan bahwa ada kepuasan dalam mengajar yang tidak bisa dipenuhi dengan gaji. Guru akan terus hidup dalam diri peserta didik, hal apa lagi yang lebih baik tentang seorang manusia selain bahwa ia telah menyentuh banyak kehidupan. Dari pesan tersebut diharapkan guru mampu menjalin ikatan yang tulus dengan peserta didik dalam rumah indah bernama sekolah yang tidak mampu dibayar dengan materi. Rasa ini terjalin secara abadi dalam kehidupan seorang guru yang mampu menyentuh jiwa-jiwa peserta didik. Sesungguhnya peserta didik memerlukan sentuhan tulus ikhlas seorang guru dalam proses pembelajaran untuk mampu membentuk jiwa-jiwa insani yang luhur. Bila masih saja ada tembok kokoh yang membatasi antara guru dan peserta didik, bagaimana sentuhan itu dapat dilakukan dan dirasakan? Inilah keutamaan guru yang secara tidak langsung mulai memudar karena jiwa dan naluri sebagai seorang pendidik terbungkus oleh ego yang semestinya dikendalikan. Rasa apatis terhadap peserta didik semestinya dihilangkan untuk membangun sebuah paradigma baru dalam pembelajaran dengan pendekatan kasih sayang. Hal ini disampaikan oleh Dr. Hamzah B. Uno bahwa guru sebagai pendidik harus mempunyai rasa cinta dan sifat pengabdian kepada profesinya sebagai pendidik. Bila hal ini yang terjalin dan terbangun, maka cerita dan kisah indah antara guru dan peserta didik sesungguhnya menghidupkan kembali fungsi dan makna sekolah dalam kehidupan. Sekolah menjadi rumah kedua, menjadi taman yang menyenangkan dan menjadi tempat untuk mengisi waktu luang dengan dasar rasa kekeluargaan berbalut cinta dan kasih sayang antara guru dan peserta didik.

Ikuti tulisan menarik I Nyoman Agus Sudipta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler