x

Iklan

Aini Aprilia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Jumat, 3 Desember 2021 20:52 WIB

Kupinjamkan Duniaku Untukmu

sebuah memoar singkat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjadi guru dan pendidik sebenarnya tidak pernah saya tuliskan dalam daftar cita-cita saya. Bahkan saya singkirkan jauh-jauh. Saya bahkan sempat mengucap bahwa saya sama sekali tidak ingin menjadi guru yang mengajar di sekolah. Semacam janji pada diri saya sendiri.

Tapi, entah mengapa dan bagaimana, jalan hidup saya justru membawa saya pada posisi ini.

Saya adalah guru tidak tetap yang mengajar mata pelajaran Biologi di sebuah Madrasah Aliyah di Kabupaten Gunungkidul. Belum genap satu semester saya menjalani pekerjaan ini, namun, saya sudah mendapat begitu banyak hal yang mungkin tidak akan saya peroleh di tempat lain.

Pengalaman?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya hanya bekas tentor privat di sebuah lembaga bimbingan belajar. Saya rasa itu tidak cukup layak dijadikan sebagai pengalaman mengajar, mengingat sistem dan pola pengajarannya yang sangat berbeda. Saya juga tidak memiliki lisensi kependidikan atau sekadar sertifikasi dari workshop maupun seminar yang berbau keguruan. Tapi keinginan -bukan- hasrat ini muncul begitu saja. Hasrat untuk membagikan ilmu-ilmu saya, wawasan saya, keahlian saya, bagaimana saya memandang dunia ini. Meski tidak banyak. Tapi saya ingin membagikan semuanya.

Saya pun sempat meragukan kemampuan diri saya sendiri. Saya bukanlah sosok guru ideal. Jauh dari itu. Tapi saya suka mempelajari hal-hal baru yang menurut saya menantang.

Mengajar adalah sebuah tantangan besar bagi saya saat ini.

Saya melihat berbagai macam kompetensi, bersatu dalam kegiatan mengajar. Mulai dari keahlian berbicara di depan umum, menulis, menyampaikan teori dan gagasan, kedisiplinan, integritas, kepedulian, dan tentu saja keikhlasan.

Setelah membaca pengakuan yang saya tuliskan sebelumnya, mungkin banyak orang akan meragukan saya. Apakah saya yakin bisa menjadi guru?

Tentu saja saya sendiri pun juga tidak bisa menjamin hal itu.

Tapi, ada satu hal yang saya rasa penting untuk digarisbawahi. Saya hanya melakukan apa-apa yang saya cintai dan saya selalu berkomitmen atas itu.

Lantas?

Bukankah sesuatu yang berlandaskan cinta adalah hal terkuat dan termurni yang ada di dunia?

Maka tak ada seorang pun yang berhak menghakimi keputusan dan komitmen saya atas pilihan saya saat ini. Ya, menjadi guru. Saya pun bersumpah pada diri saya sendiri, bahwa saya tidak akan menyerah untuk terus belajar dan memperbaiki diri.

Saya tidak akan memperpanjang cerita mengenai latar belakang saya dan hal-hal yang bersifat personal, karena di sini, tujuan saya adalah membagikan sesuatu yang bahkan membuat diri saya sendiri merasa gembira, terhibur, hingga sedih dan menyesal, ketika saya berkomitmen untuk menjadi seorang pendidik.

Menjadi guru -saya ulangi- guru tanpa latar belakang pendidikan keguruan benar-benar lebih sulit daripada yang saya bayangkan. Bukan berati saya tidak memprediksi hal ini sebelumnya. Saya rasa saya sudah cukup membekali diri saya dengan hal-hal mendasar terkait dengan profesi guru, baik secara teknis maupun administratif, sebelum memutuskan untuk nyemplung dalam dunia ini.

Tapi, memang realitas seringkali jauh dari angan-angan. Saya masih harus memperlajari banyak hal dalam satu waktu. Saya akui bahwa itu benar-benar menguras waktu dan energi.

Tapi, itu menyenangkan.

Saya menikmati setiap prosesnya.

Setiap anak memang istimewa

Berbicara tentang pembelajaran daring yang berjalan hingga sekarang, metode ini sebenarnya bukalah hal asing bagi saya. Perkuliahan tingkat lanjut yang sedang saya jalani saat ini juga menggunakan sistem online, sehingga saya sudah cukup terbiasa. Di sisi lain, kondisi ini justru memberikan keuntungan bagi saya. Saya bisa memiliki dua sudut pandang berbeda. Pertama sebagai sebagai mahasiswa yang menerima pelajaran. Kedua sebagai guru yang memberikan pelajaran.

Saya mulai berkaca pada diri saya sendiri saat itu. Saat saya masih berada di bangku SMA. Saya mengingat kembali memori-memori masa sekolah saya. Memosisikan saya sebagai murid. Mencoba menelaah satu per satu tentang bagaimana guru-guru saya mengajar kala itu. Mana yang bisa saya ambil serta modifikasi, dan sisanya yang sebaiknya saya tinggalkan semata-mata sebagai pelajaran hidup.

Saya melihat potensi-potensi dalam diri anak-anak ini. Mereka hanya perlu disadarkan. Didukung. Dikuatkan.

Lalu? Saya merasa memiliki tanggung jawab untuk memunculkan kesadaran itu.

Maka saya menajamkan pola pikir bahwa setiap anak adalah istimewa. Dan memang begitu adanya.

Mereka memiliki dunianya sendiri. Namun, sebagai seorang pendidik, saya perlu ikut memberikan arahan. Tentu saja agar mereka tidak keluar dari jalur dalam perjalanan mewujudkan mimpi mereka.

Langkah selanjutnya, saya perlu melakukan pendekatan. Interaksi. Saya tidak menyukai kelas yang dorman -seperti tertidur. Saya ingin kelas bisa aktif dan dinamis. Kelas yang bisa digunakan untuk saling bertukar pikiran dan berdiskusi.

Mengapa saya begitu kukuh untuk melakukan interaksi?

Saya ingin menciptakan keterikatan atau engagement. Keterikatan itu akan memunculkan rasa percaya dan kedekatan tersendiri antara guru dan siswa.

Ikatan semacam ini akan menciptakan pemikiran bahwa, saya tidak boleh mengecewakan seseorang yang saya percayai atau sebaliknya.

Dampaknya? Tentu siswa bisa lebih bertanggung jawab dengan dorongan yang berasal dari dalam dirinya sendiri tanpa paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Bila boleh dituliskan secara eksplisit, maka tanggung jawab di sini tentu mencakup tugas-tugas, penilaian harian, kedisiplinan, dan sebagainya.

Saya percaya bahwa hal itu bisa tercapai salah satunya dengan interaksi yang intens.

Tapi sebagai guru baru yang perlu segera beradaptasi dan mengejar ketertinggalan, saya butuh lebih dari sekadar interaksi. Saya perlu melakukannya dengan sedikit lebih cepat. Kondisi memaksa saya untuk melakukan akselerasi.

Lalu bagaimana?

Semua keterbatasan ini cukup memberikan excercise terhadap otak saya. Saya bisa saja bertapa untuk memikirkan cara apa atau model mengajar seperti apa yang harus saya gunakan.

Dan tentu saja, saya tidak kembali dengan tangan hampa. Saya muncul dengan ide yang saya rasa cukup efektif. Pembelajaran dengan video conference menggunakan media gim.

Gim “ini atau itu” dan Pembelajaran Biologi

Salah satu kelas yang saya ampu adalah kelas sepuluh MIPA.

Dalam rangka merealisasikan misi pembelajaran saya, maka pada pertemuan pertama, saya mencoba menggunakan metode pertemuan virtual (virtual meeting) dengan memanfaatkan layanan Zoom Cloud Meeting.

Saya memiliki ekspektasi yang cukup tinggi dengan metode ini. Saya pun memupuk kepercayaan diri saya untuk membawakan pelajaran dengan cara yang sedikit berbeda.

Saya mengombinasikan gim atau permainan sederhana dengan materi pelajaran yang akan saya sampaikan. Gim ini berjudul “ini atau itu”. Seperti namanya, inti dari permainan ini adalah memilih. Aturannya pun sangat sederhana. Siswa akan diberikan tiga kotak dengan kode (1), (2), dan (3). Selanjutnya, siswa diminta untuk memilih satu di antara tiga kotak rahasia tersebut. Di balik kotak, terdapat soal yang mewajibkan siswa untuk memilih antara dua pilihan dengan menyertakan alasannya.

Mengapa saya menggunakan media gim ini?

Ada beberapa pertimbangan yang saya lakukan sebelum saya memutuskan untuk menciptakan sekaligus menggunakan gim “ini atau itu”.

Sebentar, Anda menciptakan gim itu sendiri? 

Ya, tentu saja. Saya sendiri yang membuat pilihan-pilihan dan penjelasan berhubungan dengan soal-soal tersebut. Dengan kata lain, tidak ada gim yang benar-benar serupa dan orang lain tidak bisa menjiplak gim ini secara instan jika mereka tidak memahami konteksnya. Andai ada yang bertanya.

Baik, kembali ke pembahasan mengenai gim.

Pertimbangan saya menggunakan gim ini adalah; Pertama, saya ingin ada interaksi dengan siswa. Seperti apa yang saya paparkan sebelumnya. Saya ingin kelas saya aktif, meski di tengah keterbatasan.

Kedua, gim adalah sesuatu yang sangat dekat dengan anak muda. Harapannya mereka bisa lebih tertarik untuk mengikuti pelajaran, khususnya Biologi. Tapi saya tidak ingin hanya sebatas gim yang egois, dalam artian gim itu hanya dikerjakan sendiri. Saya ingin ada -sekali lagi- interaksi.

Ketiga, saya ingin siswa membiasakan diri untuk langsung membandingkan teori yang ada dengan fakta-fakta di kehidupan nyata. Maka stigma-stigma “Apa gunanya saya mempelajari ini? Apa gunanya untuk kehidupan saya? Mengapa saya harus belajar ini?” akan sedikit demi sedikit luruh, apabila siswa mampu memaknai dan menghubungkan teori dan realitas.

Keempat, saya ingin memberikan pengalaman belajar yang berbeda, terutama di masa pandemi yang mayoritas berpola monoton yakni: “Materi-Tugas-Penilaian Harian-Ulang kembali”.

Waktu itu, materi yang akan saya berikan adalah tentang Ruang Lingkup Biologi. Maka saya mulai menyusun pertanyaan-pertanyaan yang nantinya bisa saya masukkan dalam gim.

Hasilnya? Cukup memuaskan. Saya juga mendapat insight-insight baru yang tidak pernah saya bayangkan.

Pertanyaan pertama yang dipilih oleh salah satu siswa adalah “Sate ayam atau sate kambing?”. Siswa itu lalu memilih sate ayam. Ia melanjutkan dengan alasan sederhana mengapa ia memberikan pilihannya pada sate ayam.

Saya kemudian menghubungkan dunia persatean ini dengan sebuah pertanyaan “kalian pernah menggunakan getah pepaya atau nanas untuk melunakkan daging?”. Beberapa dari mereka menjawab “pernah”. Lalu saya lanjutkan dengan pertanyaan mengapa daging itu bisa menjadi lunak? Satu dua siswa merespon tapi tidak yakin dengan jawabannya. Maka saya lanjutkan dengan memberikan penjelasan lengkap, bahwa pada nanas misalnya, mengandung enzim bernama bromelain. SIfat enzim ini adalah memutus ikatan peptida atau protein. Sifat inilah yang membuat daging itu menjadi empuk karena ikatan proteinnya telah diputus oleh enzim dalam buah nanas.

Pertanyaan acak selanjutnya adalah “Ironman atau Spiderman”. Siswa yang menjadi sukarelawan menjawab Spiderman. Saya kemudian masuk dalam penjelasan tentang klasifikasi makhluk hidup. Saya awali dengan pernyataan bahwa karakter spiderman diambil dari spider atau laba-laba. Lalu saya bertanya, “laba-laba itu serangga atau bukan”. Kelas memiliki jawaban yang beragam.

Saya bertanya pada kelompok yang menjawab bahwa laba-laba adalah serangga. Mereka salah satunya beralasan karena laba-laba kecil, sehingga termasuk serangga.

Kemudian saya lanjutkan dengan memberikan penjelasan bahwa tidak semua hewan kecil adalah serangga. Makhluk hidup dikategorikan sebagai serangga, apabila memiliki salah satu ciri utama insekta, yakni berkaki enam. Maka saya tanya kembali, “berapa kaki laba-laba?”. Mereka lantas menyadari bahwa laba-laba memiliki delapan kaki. Saya memberikan penjelasan penutup bahwa laba-laba bukanlah serangga atau insekta, melainkan termasuk dalam anggota arachnida.

Berlanjut pada pertanyaan acak lain. Kali ini adalah “Indomie atau Mie Sedap”. Salah satu siswa menjawab Mie Sedap. Alasannya karena menurutnya lebih enak. Saya juga termasuk  penggemar mie instan, tapi jika diminta untuk memilih, saya tidak bisa. Alasannya sederhana, saya tidak bisa membedakan keduanya.

Pertanyaan ini saya kaitkan dengan rumor di masyarakat yang berkata bahwa memasak mie instan harus diganti air rebusannya karena mengandung lilin. Saya pastikan bahwa ini mitos. Air rebusan mie yang berwarna kekuningan bukalah lilin yang terlarut, melainkan disebabkan karena proses produksi mie yang harus melalui tahap penggorengan. Hal inilah yang menyebabkan air rebusan menjadi keruh. Air rebusan ini juga tidak wajib untuk diganti, karena dalam petunjuk pembuatan yang ada pada kemasannya pun tidak ada instruksi untuk mengganti air rebusan. Sebagai tambahan, mie instan juga sudah lolos uji Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), termasuk dalam cara penyajiannya. Maka pilihan kembali pada konsumen masing-masing. Fenomena ini memberikan gambaran bahwa penerapan ilmu biologi itu sangat luas. Termasuk dalam bidang pangan.

Di akhir pertemuan, saya membagikan tautan menuju sebuah laman Google Form. Halaman ini berisi pertanyaan evaluasi berkaitan dengan pembelajaran hari ini. Ya, tentu saja saya ingin mengetahui pendapat mereka terhadap cara saya mengajar dan aktivitas yang kita lakukan hari itu.

Meski hanya sekitar 30% yang memberi respon, tapi saya sudah cukup mendapat gambaran. Jawaban mereka pun bervariasi. Beberapa memberikan jawaban normatif. Namun ada juga yang seakan memang disediakan tempat untuk mencurahkan isi hatinya.

Sebelumnya saya sudah mempersiapkan hati dan pikiran terhadap evaluasi kelas yang saya bawakan. Sehingga apapun hasilnya tentu akan saya terima sebagai bahan perbaikan. Cara ini juga menjadi “jalan ninja saya” agar bisa memaham kondisi siswa dengan lebih cepat. Ya, tujuan akhirnya tentu saja supaya komunikasi dan interaksi antara kami bisa terjalin lebih intim sehingga materi yang saya sampaikan lebih mudah untuk diterima.

Guru saat ini tak hanya diakui karena intelegensi namun juga inovasi. Bagaimana ia mampu mengatasi tantangan dan menerobos batasan-batasan yang menghambat pembelajaran.

Pada akhirnya,

Saya benar-benar telah mempelajari banyak hal hanya melalui beberapa kali pertemuan mengajar. Bukannya tanpa gejolak batin. Saya juga pernah berada dalam fase di mana saya mempertanyakan eksistensi saya sendiri.

Apakah saya perlu berusaha sekeras ini?

Pikiran semacam itu muncul begitu saja, mengingat status pekerjaan saya yang penuh ketidakpastian. Namun, seiring berjalannya waktu, saya tiba di sebuah tesis sederhana.

Status kepegawaian saya bisa dikatakan sementara, saya pun tidak berada dalam tingkatan jabatan penting apalagi berkuasa. Tapi satu hal yang saya yakini adalah, di depan siswa, kita semua sama. Kita adalah guru.

Dan untuk anak-anakku, kupinjamkan duniaku untukmu.

 

Ikuti tulisan menarik Aini Aprilia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler