x

Iklan

Filemga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Desember 2021

Sabtu, 4 Desember 2021 20:51 WIB

Pulang

Sebuah cerita pendek sederhana yang mempunyai tema keluarga dengan sedikit bumbu-bumbu romansa. "Pada akhirnya, setiap orang akan merindukan rumahnya."

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sinar matahari yang masuk melalui celah tirai kamar tidur membuatku mengerjap-ngerjapkan mata karena merasa silau.

Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi alarm yang muncul dari ponsel pintar milikku. Kuraba-raba kasurku hendak mencari ponsel tersebut dengan mata yang tertutup.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

08.00

 

Aku mengerang malas ketika melihat jam yang sudah menunjukan pukul delapan pagi. Kuregangkan tubuhku seraya menatap langit-langit kamar tidur milikku dan Dia.

 

Aku kemudian bangun dan bersandar pada kepala kasur. 

 

Kuhela napas pelan.

 

Biasanya, aku tak perlu repot-repot untuk menyetel alarm pada ponselku, karena akan ada seseorang yang membangunkanku setiap pagi.

 

Namun, keadaan sekarang telah berubah. Aku tidak bisa lagi merasakan tangannya yang lembut menepuk-nepuk pipiku agar aku terbangun, tak bisa lagi melihat senyumnya yang menjadi pemandangan pertamaku di pagi hari, sebab, Dia sudah pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya.

 

“Papa….”

 

Panggilan tersebut membuatku segera sadar dari lamunan, lalu menoleh ke arah pintu. Disitu berdiri seorang anak kecil manis yang sedang memegang boneka beruang miliknya.

 

“Hanin kenapa berdiri di situ? Sini, Sayang.” Aku menyuruh putriku untuk mendekat.

 

Kaki-kaki kecilnya memanjat tempat tidurku yang memang cukup tinggi dengan susah payah. Hanin segera menidurkan kepalanya pada kakiku ketika ia sudah berada di atas kasur.

 

“Kalo masih ngantuk, tidur lagi aja, Nak. Ini ‘kan hari libur.” Aku mengusap-ngusap rambut Hanin penuh rasa sayang. 

 

“Hanin kangen Mama.” rengeknya. Satu kalimat yang dapat membuatku tersenyum getir. Usapanku pada rambut Hanin terhenti. Aku diam, tak tahu harus menjawab apa.

 

“Papa juga kangen sama Mama kamu, Nak.” lirihku dalam hati.

 

Ingatanku lantas menyelam pada kejadian empat tahun silam, ketika Dia membalas perasaanku untuk yang pertama kalinya….

 

---

 

“Terima kasih sudah melahirkan Hanin untukku, Sayang. Aku cinta kamu.” ujarku pada Nindya yang sedang mengayunkan ayunan bayi milik Hanin.

 

Aku dan Nindya saat ini sedang memandangi buah cinta kami, Hanin, yang sedang tidur dengan pulasnya. Sudah tiga bulan sejak Hanin dilahirkan ke dunia, dan sejak saat itu hubunganku dengan Nindya pun menjadi semakin dekat.

 

Kulihat Nindya menunduk dan tersenyum malu. Ia mengaitkan rambutnya pada telinga seraya menutupi kegugupannya.

 

“Aku… a- aku juga... cinta sama Kak Harsa.” balas Nindya terbata-bata.

 

Aku lantas membulatkan mata terkejut. Nindya? Membalas perasaanku setelah hampir dua tahun kami menikah? Akhirnya?

 

Berbagai macam keterkejutan muncul di otakku. Sejujurnya, aku dan Nindya menikah hanya karena sebuah perjodohan, tetapi, aku tak menampik bahwa Nindya telah mencuri hatiku sejak pertemuan pertama kami.

 

Nindya saat itu menentang keras perjodohan kami karena ia telah memiliki kekasih yang sudah lima tahun menjalin hubungan dengannya. Ia bahkan beberapa kali mendatangi kantorku hanya untuk memohon agar aku membatalkan perjodohan kami.

 

Ya, sebut saja aku egois karena tidak memikirkan perasaan Nindya dengan meneruskan perjodohan ini. Namun, aku juga mencintainya, dan sebagai lelaki, perasaanku haruslah diperjuangkan.

 

Maka dari itu, mendengar kalimat cinta yang keluar dari mulut Nindya bagaikan sebuah hadiah terindah. Kurasa, aku harus menandakan hari ini pada kalender sebagai hari spesial.

 

Sebelumnya, ketika aku menyatakan perasaanku kepadanya, Nindya hanya akan diam tak membalas. Aku pun sama sekali tak keberatan soal itu. Bagiku, mendapat kesempatan untuk mencintai Nindya saja, sudah menjadi hal yang sangat kusyukuri.

 

“Nin….”

 

“Eng… Kak, kayaknya aku harus ganti popok Hanin.” elak Nindya cepat.

 

Aku segera menahan pinggang Nindya dengan satu tanganku ketika melihatnya yang hendak beranjak pergi.

Kudekatkan bibirku pada telinganya lalu berbisik, “Sayang, kamu baru aja aja ganti popok Hanin. Kamu lupa, hm?” kataku geli.

 

“Eh? Emang iya?” 

 

Aku tertawa kecil melihat istriku yang sangat menggemaskan. Kulingkarkan satu tanganku yang lain pada pinggang Nindya lalu mengeratkan pelukanku.

 

“Terima kasih sudah membalas perasaanku, Nindya. Aku adalah lelaki paling bahagia di dunia ini.”

 

Aku mengatakannya dengan senyuman bahagia yang terpatri. Kukecup pundak Nindya berkali-kali, ingin ia tahu bahwa aku sangat mencintainya.

 

“Seharusnya aku yang bilang makasih, Kak. Kak Harsa enggak pernah berhenti untuk ngertiin aku.” Nindya mengelus lenganku yang dengan erat melilit pinggangnya.

 

Bibirku semakin tertarik ke atas. Aku lantas mengangkat kepalaku menatap putri kecil kami. 

 

“Hanin, Sayang… sebentar malam kita makan-makan di luar, ya? Hari ini Mama kamu akhirnya balas perasaan Papa, jadi kita harus rayain ini, oke?” kelakarku pada Hanin.

 

“Apa, sih, Kak. Emang Hanin bisa ngerti?” Nindya mencubit perutku sembari tertawa kecil.

 

---

 

“Papa….”

 

“Pa….”

 

“Papa!”

 

Aku tersentak mendengar seruan Hanin yang memanggilku. Rupanya sudah cukup lama aku melamun.

 

“Ah! Iya, Sayang… maaf, ya, Papa ngelamun.”

 

Hanin mendekat lalu memelukku. “Papa ngelamunin Mama, ya?” cicitnya.

 

Tebakkan Hanin menohok hatiku. Aku tahu, bukan hanya diriku yang merasa kehilangan, tetapi Hanin juga.

 

Kupeluk erat tubuh anakku. Tanpa terasa, pipiku mulai membasah karena air mata. Maaf, tetapi aku memang lemah kalau soal Nindya.

 

Aku melonggarkan pelukan kami sembari mengusap cepat wajahku yang basah, tak ingin Hanin melihatnya. Kenyataan ini membuatku pilu, karena seharusnya aku yang menenangkan putriku, bukanlah sebaliknya. 

 

Aku terdiam sebentar.

 

“Hanin… hari ini ‘kan hari libur. Kita ke taman hiburan, yuk? Nanti kita ke istana boneka, Hanin suka, ‘kan?” bujukku pada Hanin.

 

“Hanin mau, Hanin mau! Hanin suka istana boneka!” seru Hanin sumringah sambil melompat-lompat. Aku pun ikut tersenyum melihatnya.

 

“Siap, Tuan Putri! Kalo gitu kita sarapan dulu, ya, habis itu kita siap-siap.” ajakku semangat lalu menggendong Hanin menuju ruang makan.

 

---

 

“Papa, istana bonekanya seru banget! Nanti kita pergi lagi, ya? Hanin pengen naik kereta luncur yang tinggi itu, lho, Pa!” bujuk Hanin sambil melompat-lompat senang. 

 

Sejak dalam perjalanan pulang di mobil tadi, Hanin terus-terusan merengek meminta mengunjungi taman hiburan lagi minggu depan, yang mau tidak mau harus aku setujui agar Hanin tidak sedih memikirkan ibunya.

Setelah memarkir mobil pada parkiran dan mengunci pagar rumah, aku melangkahkan kakiku menuju pintu utama melewati taman kecil yang dibuat oleh Nindya.

 

Hah.

 

Lagi-lagi aku memikirkan mantan istriku. Sudah hampir sebulan berlalu sejak perceraianku dengan Nindya tetapi aku belum juga bisa melupakanku wanita itu.

 

Ya. Aku dan Nindya terpisah karena perceraian. Bukan aku yang meminta, tetapi Nindya. Ingatanku lantas kembali mengingat kejadian beberapa minggu lalu….

 

---

 

“Maksudnya apa, Nindya?” desisku. Ditanganku terdapat surat perceraian yang harus kutandatangani. 

 

“JADI KAMU SELAMA INI MASIH BERHUBUNGAN SAMA MANTAN KAMU ITU?!”

 

Nindya terisak ditempat.

 

“Mm- Maaf. Maafin aku, Kak.” 

 

Aku mengepalkan kedua tanganku kuat menahan emosi. Napasku terengah-engah saking emosinya aku. 

 

“Nindya… tolong jelasin semuanya ke aku. Aku bener-bener bingung.” suruhku pada Nindya.

 

Kulihat Nindya meremas-remas tangannya yang tertangkup. Guratan cemas dan gelisah terlihat pada wajah cantiknya.

 

“A- Ares... dia sebenernya udah bikin janji, setelah dia pulang dari Hongkong, dia bakal nikahin aku.” Nindya bercerita tentang mantannya sebelum ia menikah denganku.

 

“Terus? Kamu iyain gitu? Nindya. Kamu itu udah nikah! Kamu udah jadi istri orang! Istri aku, Nindya! Kamu bahkan udah punya anak, ingat?” jelasku.

 

Nindya diam dengan air mata yang terus bercucuran.

 

“Lagian, si Ares itu pasti tahu ‘kan kalo kamu udah nikah? Masih berani aja dia, ck….”

 

Aku berdecak, bersiap mengambil kunci mobil untuk mendatangi lelaki yang sudah dengan lancang membuayai istriku.

Dengan gerakan cepat, Nindya menghalangi pintu ruangan kantorku seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

 

“Kak, jangan! Ini semua kemauan aku, Kak! Ini bukan salah dia!” 

 

Hatiku bagaikan ditusuk sebuah pisau ketika mendengar Nindya yang membela lelaki itu.

 

Aku mundur beberapa langkah, merasa tak percaya melihat Nindya yang seperti ini. 

 

Kutaruh satu tanganku di dada seraya menenangkan diri.

 

“Nindya.” Kutatap dalam-dalam mata Nindya.

 

“Kalo kamu emang udah enggak cinta sama aku… aku, aku enggak apa-apa. Tapi, tolong, pikirin anak kita. Pikirin Hanin, Nindya… tolong….” mohonku dengan suara serak pada Nindya, tanpa sadar buliran kristal mulai membasahi pipiku. 

 

Hanya isakan tangis yang terus keluar dari mulut Nindya.

 

“Sayang, kita ini nikah bukan baru setahun atau dua tahun… kita udah tujuh tahun menikah.” 

 

“....”

 

“Kamu bilang kamu cinta sama aku. Tapi kenapa, Nin? Kenapa kamu masih berhubungan sama lelaki itu? Apa ungkapan cinta kamu beberapa tahun yang lalu itu hanya tipuan belaka?” Dengan mata yang sudah memerah, aku mengacak-ngacak rambutku frustasi. 

 

“Kak Harsa, tolong… tolong tanda tangani surat itu. Aku enggak akan ambil Hanin, Hanin akan tinggal bareng kamu.”

 

“IBU MACAM APA KAMU, NINDYA?! HANIN ITU ANAK KAMU! KAMU ENGGAK BISA MELEPAS KEWAJIBAN KAMU BEGITU AJA!” teriakku keras kepada Nindya. Aku begitu kecewa dan marah kepadanya.

 

Lelaki bajingan itu memang telah mencuci otak Nindya. Bagiku, Nindya adalah sosok ibu terbaik untuk Hanin. Ia sangat menyayangi Hanin. Sesibuk-sibuknya dia dengan butiknya, Nindya selalu meluangkan waktu untuk Hanin. Dia bahkan tidak ingin jika Hanin dirawat oleh pengasuh.

 

Aku terdiam cukup lama. Kupandangi surat perceraian kami yang berserakan di atas meja.

 

“Oke.”

 

“....”

 

“Kalo itu yang kamu mau… aku akan tanda tangan.”

 

---

 

Rintikan hujan menyadarkanku dari lamunan tentang Nindya, lagi. Aku menengadahkan kepalaku melihat langit yang mulai mendung. 

 

Hah.

 

Saking rindunya pada Nindya membuatku keseringan melamun.

 

“Papa, awas hujan!” Hanin memanggilku dengan tangan kecilnya yang menyuruhku untuk segera berteduh di teras.

 

Aku segera berlari menuju teras rumah kami seraya meraba-raba saku celanaku mencari kunci rumah.

 

“Tadi Papa taruh kunci rumah di mana, ya?”

 

“Nah, ini dia.”

 

Baru saja aku ingin memasukan kunci tersebut ke dalam lubangnya, mataku teralihkan oleh sebuah sepatu bertali berwarna krem yang cukup familiar bagiku.

 

“Ini bukannya sepatu….” tanyaku dalam hati.

 

Aku segera menggelengkan kepalaku cepat.

 

“Enggak. Enggak mungkin dia ada di sini. Hari ini ‘kan hari pernikahan dia dengan lelaki itu.” bantahku. Tak mau memikirkan hal yang tidak mungkin terjadi.

 

“Papa, cepet… Hanin mau pipis….”

 

“I- Iya, Sayang.”

 

Klek.

 

Hanin segera berlari menuju toilet ketika pintu telah terbuka lebar. 

 

Sementara aku, berjalan masuk ke dalam rumah dengan kepala yang masih sibuk memikirkan siapakah pemilik sepatu tadi. Sepatu tersebut sangat mirip dengan sepatu yang pernah kuberikan untuk Nindya. Namun, tidak mungkin bukan, Nindya berada di sini?

 

Saat aku hendak melangkah menuju ruang keluarga, sebuah suara lembut yang sangat amat kurindukan terdengar memanggil namaku.

 

“Kak Harsa….”

 

Langkah kakiku terhenti ketika mendengar suara tersebut.

 

“Nindya….”

 

Sempat terpikirkan olehku bahwa itu hanyalah sebuah khayalan saja. Namun, entah kenapa, suara itu terasa sangat jelas sampai-sampai batinku bergejolak mendengarnya.

 

Akhirnya, setelah berdebat cukup lama dengan pikiranku sendiri, kutolehkan kepalaku ke arah sumber suara itu.

 

“N-Nindya….” desisku tak percaya. Ini bukan khayalanku. Pemilik suara itu memang ada di sini, Nindya ada di sini.

 

Aku masih dalam posisi terkejut ketika Nindya menubrukkan tubuhnya dan memelukku erat.

 

“Kak Harsa… maaf… maafin aku….” Nindya terisak di dadaku.

 

Kedua tanganku refleks membalas pelukan Nindya. Aku tak mau munafik, aku juga sangat merindukannya.

 

“Nin… Ka- Kamu, ngapain di sini? Hari ini ‘kan pernikahan kamu sama Ares?” tanyaku walaupun hati ini sedikit sakit mengingat itu.

 

Nindya malah menangis semakin keras.

 

“Ares nyakitin kamu? Iya, Nindya? Nindya, jawab! Kalo Ares nyakitin kamu, aku bakal bikin perhitungan sama dia!” emosiku tiba-tiba melonjak.

 

Nindya melepas pelukan kami seraya menggeleng cepat.

 

“Aku batalin pernikahan aku sama Ares, Kak. Aku enggak mau nikah sama dia! Aku mau bareng sama kamu dan Hanin aja.”

 

“Aku terlalu terbuai sama janji yang aku buat bersama Ares beberapa tahun yang lalu… sampai aku lupa bahwa aku udah punya kamu dan Hanin. Aku bener-bener nyesel, Kak.” 

 

Aku pandang Nindya dengan tatapan haru. Kutarik Nindya kembali ke dalam pelukanku lantas mengecup kepalanya sayang. 

 

Batinku terus memanjatkan syukur kepada Tuhan karena telah menyadarkan Nindya dan membawanya kembali kepadaku.

 

“Sayang, tapi… surat perceraian ki--

 

“Aku udah bakar, Kak” potong Nindya cepat.

 

Aku tersenyum.

 

“Terima kasih sudah kembali, Nindya.  Aku cinta kamu.”

 

“Aku juga cinta kamu, Kak Harsa.”

 

“Aku apa Ares?” kelakarku.

 

“Dia hanya masa lalu, Kak. Aku baru sadar bahwa di hatiku bener-bener udah enggak ada dia lagi.”

 

Nindya berjinjit mendekatkan bibirnya pada telingaku, “Isinya cuma seseorang bernama Harsa Mahendra.” bisiknya lalu mengecup pipiku.

 

“Mama?”

 

Nindya segera melepas pelukan kami ketika melihat Hanin. Ia berlari menghampiri Hanin lalu memeluk Hanin erat.

 

“Hanin… Mama kangen kamu, Nak.”

 

“Hanin juga kangen Mama.” mata anakku berkaca-kaca.

 

“Mama jangan pergi lagi, ya.” 

 

“Enggak, Sayang. Mama enggak akan pergi lagi. Maafin Mama, ya...."

 

Pemandangan yang sangat indah. Dua wanita yang kusayangi akhirnya bertemu kembali. Aku berjanji pada Tuhan, dan juga diriku sendiri, bahwa aku akan menjaga keluarga kecilku dengan sekuat tenaga, dan tidak akan membiarkan kejadian yang sama terulang kembali. 

 

“Mama, Hanin laper….”

 

Nindya terkekeh.

 

“Iya, Sayang. Mama masak makanan buat kita, ya.”

 

Hanin mengangguk lucu, “Iya! Mama aja yang masak, ya. Jangan Papa, masakan Papa enggak enak!” Hanin merajuk sembari mengerucutkan bibirnya.

 

“Halah… setiap Papa masak Hanin selalu habisin kok.”

 

“Itu karena Hanin laper!” 

 

Aku dan Nindya hanya tertawa melihat tingkah putri kami yang menggemaskan.

 

-TAMAT-

Ikuti tulisan menarik Filemga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu