x

sumber foto: Wag

Iklan

Dian

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Minggu, 5 Desember 2021 05:44 WIB

Anjing-anjing di Ladang Tarum

Pada tahun 1830-an di masa kepemimpinan Bosch, diterapkan Cultuurstelsel di Hindia Belanda. Kerakusan dan ketamakan dari penjajah tersebut membuat banyak rakyat Hindia Belanda menderita. Rakyat pun mulai bergerak menentang sang penguasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Kebijakan dari seorang gubernur jenderal yang baru saja dilantik telah membuat semua orang mengerutkan kening. Sebagian besar malah menggeleng-gelengkan kepalanya sampai lupa bagaimana caranya berhenti. Semua orang dipaksa menuruti kebijakan yang dirasa merugikan inlander. Haram hukumnya bagi inlander untuk menolaknya. Apa hendak dikata, kebijakan Gubernur Jenderal telah disetujui oleh Sang Ratu. Sang Ratu sebagai seseorang yang paling berkuasa telah mengetok palu. Lahan yang semula ditanami padi dan palawija diwajibkan dikurangi dua puluh persennya. Lahan sebesar dua puluh persen itu akan ditanami tanaman sekehendak petinggi Hindia Belanda. 

 

Kebijakan Gubernur Jenderal tersebut sudah dipasrahkan sepenuhnya pada Tuan Residen. Tuan Residen tentunya jauh lebih tahu seluk-beluk wilayahnya dibandingkan pejabat yang tinggal di Batavia itu. Tuan Asisten Residen sebagai kepanjangan tangan dari Tuan Residen telah memberikan amanat pada Tuan Badrun. Pria yang suka berjalan sambil mendongakkan kepalanya tinggi-tinggi itu memerintahkan penduduk desa untuk menanam tarum. Bapak sendiri hanyalah seorang pria manula yang selalu menurut pada perintah tuannya. Sebagian besar penduduk Desa Kemuning juga telah menjadi orang-orang yang tunduk pada perintah sang majikan. Mereka dengan sukarela mengurangi dua puluh persen sawahnya untuk dijadikan ladang tarum. Sisa delapan puluh persennya tetap dijadikan sawah dan ladang palawija untuk memenuhi kebutuhan perut sehari-hari. 

 

Tanpa kenal lelah, bapak merawat tarum-tarum agar dapat tumbuh dengan baik dan subur. Tanaman perdu itu disiangi rumput-rumput liarnya dan tak lupa disirami air. Bapak memupuknya dengan menggunakan kotoran sapi dari dua ekor sapi yang dimilikinya. Jika ada hama yang mengganggu, bapak mengusirnya dengan menggunakan racun dari Tuan Badrun. Tuan yang suka mengepulkan asap dari dalam mulutnya itu terkadang menengok ladang tarum. Tuan Badrun memastikan bahwa semuanya beres dan dapat dipanen tepat pada waktunya. Sebab jika hasil panennya buruk, dia juga yang terkena cacian dari Tuan Asisten Residen. Petinggi Hindia Belanda berkumis setebal santa itu tak sungkan-sungkan memukul Tuan Badrun dengan menggunakan bayonetnya.

 

Tarum-tarum dipanen setelah enam purnama bergulir. Bapak dan penduduk Desa Kemuning memanen tarum di waktu pagi buta. Hasil panenan dimasukkan ke dalam karung dalam keadaan yang masih basah. Karung-karung berisi tarum dijual pada Tuan Badrun dengan harga sesuai kebijakan dari pemerintah. Tanaman itu nantinya akan dijadikan sebagai salah satu komoditas ekspor unggulan dari Hindia Belanda. Selain tarum, ada juga kopi, tebu, dan lain sebagainya. Begitulah salah satu cara majikan mengumpulkan kekayaan dari inlander. Salah satu cara itu sangatlah efektif, mengingat harga komoditas tersebut sangatlah tinggi di pasaran internasional. Hasil penjualan komoditas itu dipersembahkan kepada Sang Ratu dan tanah tempatnya tinggal. Dia tak sedikit pun memikirkan nasib inlander yang hidup ribuan kilometer jauhnya di tanah jajahan. Tanah jajahan sendiri hanya mendapatkan sedikit sekali dari keuntungan penjualan. Sering kali pula tanah jajahan tak kebagian jatah.

 

Selama beberapa kali musim panen tarum, semuanya terlihat lancar-lancar saja. Bapak selalu menyetor beberapa karung tarum pada Tuan Badrun. Dari hasil penjualan tarum, bapak mendapatkan beberapa gulden. Tentu saja bapak mendapatkan uang yang banyak. Lahan sebesar dua puluh persennya juga banyak dari keseluruhan lahan yang dimilikinya. Tidak semua orang semujur bapak. Petani-petani ada yang menerima uang beberapa sen, terutama mereka yang bekerja di ladang milik pemerintah. Namun, hal baik itu tak berlangsung terus-menerus. Pada musim panen berikutnya, tarum-tarum lebih cepat mengering. Padahal bapak sudah melakukan panenan sesuai dengan prosedur. Bapak hanya mampu mengumpulkan tiga per empat dari berat tarum yang biasa disetor. Padahal jika dilihat secara kasat mata, bapak sudah memanen tarum sebanyak biasanya. Hal itu membuat Tuan Badrun berlaku kasar kepada bapak. Tuan Badrun mengumpat dengan nada tinggi disertai jurus andalannya.

 

"Dasar sialan!" Tuan Badrun mengayuhkan kakinya ke arah badan bapak, sambil mengepulkan asap kretek dari dalam mulutnya. Untungnya, kakinya yang besar hanya mengenai tangan sebelah kiri bapak. Bapak yang kulitnya semenjak beberapa bulan ini semakin gelap hanya diam saja sambil menundukkan kepalanya. Ternyata bukan hanya bapak saja yang terkena tendangan kaki besar Tuan Badrun. Tuan Badrun juga melayangkan kakinya pada semua orang hari ini. Semuanya gara-gara penduduk Desa Kemuning menyetorkan hasil panenan tarum jauh lebih sedikit dari biasanya. 

 

Keesokan paginya, orang-orang dikejutkan oleh penemuan dua sosok mayat di ladang tarum. Semua orang yang melihat mayat-mayat itu langsung tahu siapa mereka. Mereka tak lain dan tak bukan adalah warga Desa Kemuning. Mereka ditemukan dalam keadaan membiru. Mayat yang satunya ditemukan di ladang tarum dekat dengan sawah bapak. Satu lagi berada di ladang tarum yang ada di dekat sungai. Selama ini, kedua mayat itu semasa hidupnya terkenal sebagai pemberontak terhadap pemerintah. Meskipun ikut menanam tarum dan menyetorkannya pada Tuan Badrun, tetapi mereka terkadang enggan membayar pajak. Bapak beserta beberapa orang warga ikut mengantarkan jasad keduanya ke pemakaman umum di Desa Kemuning. Sayangnya, sebelum sampai di pemakaman, Tuan Badrun beserta orang-orangnya menghalang-halanginya. Orang-orang Tuan Badrun merebut dengan paksa keranda kedua mayat itu. Mereka langsung membuang kedua mayat itu begitu saja di sungai.

 

***

 

Penduduk Desa Kemuning duduk dengan rapi beralaskan tanah di halaman depan rumah bapak. Di tempat inilah, mereka biasanya berbaris rapi untuk menyetorkan pajak dan hasil panenan tarum. Kini, mereka semua sedang mendengarkan pengumuman penting dari Tuan Badrun. Penduduk Desa Kemuning tak berani menatap langsung Tuan Badrun. Mereka hanya menundukkan kepalanya seraya berdoa mengharapkan keajaiban datang. Keajaiban untuk lepas dari segala beban derita akibat kebijakan politik pemerintah. Mereka sudah lelah terus-menerus diperas keringat dan hartanya. Padahal mereka tidak tahu kebijakan ini berlaku sampai kapan. Apakah mereka akan diam terus seperti ini, sampai seluruh penduduk desa tersisa tulang belulangnya saja!

 

Sebelum berbicara, Tuan Badrun pun mengecek satu-persatu warga desa yang hadir. Tiba-tiba, mukanya terlihat memerah. "Bangsat!" Tuan Badrun menghentakkan kakinya ke tanah. Kretek yang sedang dihisapnya pun dibuang begitu saja. Penduduk desa merasa kaget dengan suara Tuan Badrun yang menggelegar. Dengan mendongakkan kepalanya, Tuan Badrun bertanya pada bapak yang duduk di barisan depan. "Karta! Ke mana kelima warga desa yang lainnya? Kenapa tidak datang kemari?"

 

"Saya tidak tahu, Tuan." Bapak sama sekali tidak menatap Tuan Badrun.

 

"Bagaimana bisa kamu tidak tahu? Kamu itu kepala desa di sini!" bentak Tuan Badrun. Bapak hanya bergeming. "Sialan mereka itu! Lihat saja, mereka pasti akan kulaporkan pada Tuan Asisten Residen! Kalian semua jangan coba-coba untuk tidak datang di pertemuan sepenting ini. Apalagi di saat membayar pajak dan menyetor tarum. Mengerti!" 

 

"Mengerti!" jawab penduduk desa, serempak.

 

Dengan wajah bersungut-sungut, Tuan Badrun kemudian mengumumkan sebuah berita pada penduduk Desa Kemuning. Berita yang baru saja diumumkannya itu membuat penduduk Desa Kemuning yang hadir terhenyak. Mereka menampakkan wajah muram. Beberapa orang tampak berusaha memadamkan api yang membara di dalam dada. 

 

"Aku akan mengecek semua ladang tarum kalian pada musim tanam besok. Jika masih ada seupil ladang kalian yang tidak ditanami tarum, aku akan membuat kalian mampus!" teriak Tuan Badrun, sambil menendang pundak salah seorang warga. Tuan Badrun dan orang-orangnya kemudian bergegas pergi dari Desa Kemuning dengan menggunakan kuda. Mereka tampaknya terburu-buru, sehingga tidak sempat mencari kelima warga desa yang tidak datang. 

 

Tak lama kemudian, kelima orang yang sedang dicari-cari itu muncul dari belakang rumah bapak. Ternyata sewaktu ada Tuan Badrun, mereka bersembunyi di sana. Bapak membelalakkan matanya. "Kalian?" Mata bapak kemudian melihat ke arah perginya Tuan Badrun dan orang-orangnya.

 

"Tenang, Pak Karta! Tuan Badrun sudah pergi," seloroh seorang pria muda berambut cepak berumur dua puluhan.

 

"Bagaimana kalau mereka nanti kembali lagi?" Bapak merasa gelisah. "Lagipula, kalian berlima ke mana saja? Kenapa tidak datang?"

 

"Kami sengaja tidak datang, Pak Karta. Kami sudah tahu jika dia akan mengumumkan tentang perluasan ladang tarum. Mata-mata kami yang memberitahukannya pada kami," cerita seorang pria setengah baya berkumis tipis.

 

"Lantas, apa yang akan kalian lakukan? Tuan Badrun pasti akan mencari kalian," tanya bapak lagi.

 

"Kita akan melawannya! Kita harus melawan mereka!" teriak seorang pria berjenggot tipis.

 

"Ya, benar!" seru keempat orang yang lainnya, sambil mengacung-acungkan tangan mereka. Keberanian mereka membuat warga yang belum beranjak dari tempat berkumpul menjadi kagum. Namun, tidak demikian halnya dengan bapak. Raut wajahnya diliputi oleh mendung pekat.

 

"Mari kita lawan Tuan Badrun! Kita jangan takut sama kompeni-kompeni itu!" ajak salah satu dari kelima orang itu.

 

"Tapi…." Belum selesai bapak bicara, kelima orang itu sudah berlalu. Beberapa orang penduduk desa ada yang ikut pergi bersama mereka. Bapak sendiri hanya terdiam, tak mampu berbuat apa-apa. 

 

Tak berapa lama kemudian, bapak melihat api dan asap membumbung tinggi dari ladang tarum. Bapak tampak tak tenang dengan apa yang dilihatnya. Apalagi pada saat itu juga, bapak mendengar derap kaki kuda berjalan mendekat. Bapak pun menoleh ke arah suara itu. "Astaga! Tuan Asisten Residen!" Bapak sungguh tak menyangka, Tuan Asisten Residen tiba-tiba datang. Memang sudah menjadi kebiasaannya setiap beberapa bulan sekali menengok Desa Kemuning, walau hanya sedetik. Namun, bapak tidak menduga kedatangannya adalah sekarang, di saat sedang terjadi kehebohan. Tuan Asisten Residen terperangah melihat nyala merah membara disertai kepulan hitam yang muncul di mana-mana. Di mana ada ladang tarum, di sanalah ada api dan asapnya. 

 

Aku hanya bisa menangis melihat semua itu. Aku yang biasanya perkasa, mampu menumbuhkan sejuta tanaman tarum, kini terbaring lemah tak berdaya. Tubuh ini sedikit demi sedikit digerogoti oleh api yang teramat panas. Tubuhku rasanya benar-benar sangat sakit sekali. Namun, kesakitan ini untungnya tidak lama membelengguku. Tak lebih dari lima belas menit, sampai juga aku pada ajalku. Api berwarna merah semburat kuning yang menyala terang itu akhirnya menghanguskan seluruh tubuhku. Bersamaan dengan itu, aku mendengar suara teriakan yang sangat kencang dari Tuan Asisten Residen.

 

"Dasar anjing-anjing inlander terkutuk!"

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Dian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB