x

Foto oleh Lisa dari Pexels

Iklan

Ares Faujian

Guru SMA Negeri 1 Manggar dan Agen Penguatan Karakter Kemdikbud-Ristek RI
Bergabung Sejak: 30 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 09:09 WIB

Sosiologram: Literasi Karakter Melalui Merdeka Belajar Berbasis Media Sosial

Membentuk karakter pada generasi muda bukanlah hanya tugas seorang guru. Namun, edukasi karakter ini juga merupakan PR bagi seluruh elemen masyarakat tanpa pandang bulu. Penggunaan media sosial dengan cerdas guna dapat mewujudkan konsep Merdeka Belajar dan penguatan pendidikan karakter. Apalagi, jika para pendidik tepat dalam menggunakan strategi dan inovasi pembelajaran di sekolah. Lalu, bagaimana cara seorang guru bisa memanfaatkan media sosial sebagai wujud Merdeka Belajar dan mengajar di era digitalisasi ini? (Ares Faujian - Guru SMA Negeri 1 Manggar Prov. Kep. Bangka Belitung dan Agen Penguatan Karakter Pusat Penguatan Karakter Kemdikbud-Ristek RI)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Upaya manifestasi karakter manusia tidak bisa hanya bermodalkan niat semata. Apalagi yang namanya ‘karakter’ ini butuh figur teladan atau role model yang bisa dijadikan contoh sebagai pedoman dalam pembentukan kepribadian peserta didik. Karena kalau kita berbicara inteligensi atau kecerdasan, tentunya sosok-sosok apa pun akan kalah dengan yang namanya Youtube ataupun Google dalam memperkaya informasi generasi muda. Yang mana, media digital ini ialah sarang segala ilmu pengetahuan dan teknologi dari segala generasi, bahkan rencana atau blue print teknologi masa mendatang pun sudah tersedia di portal digital ini. 

Pada level dasar, karakter dibentuk dan ditempa oleh pendidik (sekolah), dengan keluarga sebagai agen sosialisasi karakter pertama dan utamanya. Akan tetapi di era revolusi industri 4.0 ini, karakter manusia apapun dapat dibentuk pula melalui beberapa media. Termasuklah media sosial yang saat ini menjadi konsumsi publik setiap hari, apalagi di masa pandemi. Di mana, media sosial seperti Facebook, Twitter, hingga Instagram menawarkan tontonan yang bebas akses apa saja, dan dapat menjadi salah satu media yang sangat berpengaruh di masa kini. Artinya, apa yang ditonton oleh kaula muda merupakan cerminan perilaku yang mereka lihat dan akan menjadi bagian dari karakter mereka nanti.

Bahaya? Tentu iya!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Cerdas Bermedia Sosial

Sebagai Agen Penguatan Karakter (APK) Kemdikbud-Ristek RI yang bertugas mengampanyekan Profil Pelajar Pancasila dan penguatan pendidikan karakter, tentunya bukan perkara mudah dalam melakukan sosialisasi dan edukasi karakter di era digitalisasi dan pandemi. Karena pendidikan karakter tanpa role model langsung itu ibarat kopi tanpa gula. Pahit! Walaupun para pecintanya akan merindukan harumnya. Namun, tentunya hal ini hanya berpengaruh pada segelintir orang. Tidak masif ke segala kalangan.

Sehingga, dalam perjalanan mengampanyekan Profil Pelajar Pancasila dan topik penguatan karakter lainnya, penulis berpikir bagaimana cara cepat agar literasi karakter berupa Profil Pelajar Pancasila ini bisa dikenal bahkan menjadi bagian penting bagi masyarakat, minimal di tempat penulis mengabdi.

Kemudian, terbesitlah penulis dengan media sosial (medsos) yang familier di kalangan pemuda, yakni Instagram. Yang mana, para pengguna muda (terutama remaja) kadang hanya memiliki akun di medsos ini ketimbang medsos pendahulunya, yakni Facebook dan Twitter. Hal ini pun telah penulis survei langsung di tempat penulis mengajar melalui tatap muka dan angket google form.

Media sosial Instagram merupakan platform yang sangat populer di kalangan kaula muda. Bahkan, dikutip dari data statistia.com via Monavia Ayu Rizaty (2021) pada web databoks.katadata.co.id, hingga kuartal I-2021, jumlah pengguna aktif IG (Instagram) di seluruh dunia mencapai 1,07 miliar dan 354 juta penggunanya berusia 25-34 tahun. Di Indonesia sendiri, jumlah pengguna IG hingga Juli 2021 sebesar 91,77 juta pengguna. Pengguna terbesar terdapat di kelompok usia 18-24 tahun, yakni 36,4%.

GlobalWebIndex melakukan survei daring terhadap 5.650 anak berusia 13-15 tahun di 14 negara yang menggunakan media sosial pada kuartal I-2021. Terbukti, sebanyak 58% responden menggunakan IG setiap hari, diikuti pengguna Facebook sebanyak 53%, dan WhatsApp sebanyak 46%. Selanjutnya, peringkat ini disambung oleh pengguna TikTok sebanyak 45%, Facebook Messenger sebanyak 37%, Snapchat sebanyak 28%, dan pengguna Twitter di angka 22% (Andrea Lidwina, 2021).

Tidak hanya peserta didik SMA atau pun SMP, bahkan anak SD pun saat ini sudah memiliki akun IG. Bisa dipastikan, hampir setiap kaula muda (terutama remaja) memiliki akun IG sebagai display diri dan media wajib untuk bersosialisasi kekinian via dunia maya.

Penulis berpikir, korelasi masa kini, pembelajaran menyenangkan dengan merdeka belajar bisa digapai apabila guru ‘peka’ dengan modernisasi apalagi globalisasi, terutama berbicara generasi muda. Tentunya fenomena sosial tersebut tidak bisa dianggap remeh apabila seorang guru ingin berhasil dalam pembelajaran, terlebih mewujudkan karakter Profil Pelajar Pancasila sebagai fondasi dari Manusia Pancasila.

Pemanfaatan media sosial bisa digunakan dalam ihwal pengenalan dan penguatan karakter ini. Fitur-fitur terkini dalam media sosial bisa dimanfaatkan agar pembelajaran bisa berjalan efisien dan efektif tanpa batas ruang serta waktu. Pandemi pun mewajibkan kita membatasi diri. Sehingga, penggunaan media sosial merupakan cara supel bagi seorang guru dengan pembelajaran kekinian, termasuk mempermudah berkomunikasi dengan karakteristik generasi muda ala era milenial.

 

Sosiologram? Apa itu?

Penulis menamai strategi inovasi pembelajaran ini dengan nama “Sosiologram”. Ihwal ini dikarenakan penulis mengajar mata pelajaran Sosiologi, dengan pembelajarannya dilakukan melalui medsos Instagram. Jadi tercetuslah nama “Sosiologram”.

Penulis memilih medsos ini bukan tanpa sebab. Alasan popularitas aplikasi ini dan jangkauan pasar kaula muda yang mega merupakan alasan-alasan fundamentalnya. Kemudian, dengan fitur-fitur yang menarik seperti fitur kuis, fitur pertanyaan, fitur polling, reels, hingga fitur musik, menjadi daya tarik tersendiri agar pembelajaran menjadi tak membosankan, merdeka dalam mengajar-belajar, dan tetap kekinian. Tanda pagar (tagar) dengan nama “#sosiologram” pun menjadi identitas pada setiap postingan foto/ video agar unggahan-unggahan strategi pembelajaran Sosiologram ini mudah untuk ditemukan.

Tentunya, ragam postingan ini juga dilengkapi dengan tagar-tagar penguatan karakter lainnya, seperti #sahabatkarakter, #pusatpenguatankarakter, #puspeka, #profilpelajarpancasila, #pelajarpancasila, hingga #cerdasberkarakter. Hal ini dilakukan agar para pengguna IG terkoneksi dengan akun IG Sosiologram dan atau tagar #sosiologram.

Tidak hanya itu, pada setiap unggahan, kita bisa menandai (tag) akun Puspeka @cerdasberkarakter.kemdikbudri, Kemdikbud-Ristek RI @kemdikbud.ri, Pusat Asesmen dan  Pembelajaran @pusmenjar, Pusat Prestasi Nasional @puspresnas, dsb. Hal ini dilakukan agar mempermudah peserta didik menemukan akun-akun IG edukatif agar mereka bisa menemukan informasi seputar aktivitas-aktivitas lingkup Kemdikbud-Ristek serta lembaga-lembaga berfaedah lainnya.

Efek sosiologis penggunaan Instagram atau sociologram effect sebagai media pembelajaran di kelas yang penulis ajar ini sungguh di luar dugaan. Karena poster digital yang diunggah pada akun Sosiologram, terutama video terkait Profil Pelajar Pancasila yang peserta didik penulis buat ada yang mencapai 28.675 tayangan (up date data Jumat, 3 Desember 2021). Yaitu, video kelas XI 4 dengan judul “Belajar Giat Sebelum Terlambat” (Sumber: IG Sosiologram https://www.instagram.com/p/CNBi7yCDL8D/, 2021).

Dengan data ini, penulis berasumsi bahwa misi ekspansi kampanye penguatan karakter telah berhasil menjangkau pengguna dalam angka puluhan ribu orang. Dan ini merupakan kebahagiaan tersendiri karena strategi pembelajaran yang dilakukan ini tidak semata-mata hanya untuk peserta didik di kelas/ sekolah tertentu, namun telah menjangkau publik maya di berbagai wilayah, bahkan mungkin antarnegara.

Penggunaan media sosial (contohnya Instagram) adalah salah satu strategi jitu dalam pembelajaran setiap mata pelajaran. Namun hal ini tentu saja harus mempertimbangkan konteks dan konten yang dihasilkan. Artinya, dalam penggunaan medsos ini tidak hanya produk atau aktivitas saja yang bisa kita saksikan, akan tetapi literasi karakter (konten dan netiket) melalui penggunaan media sosial ini perlu juga diperhitungkan sebagai media edukasi dan publikasi.

Sebagai pendidik, kita telah bosan melihat unggahan-unggahan media sosial yang bersifat tidak mendidik, bahkan berefek negatif yang memengaruhi karakter generasi muda. Intoleransi, perundungan, dan pelecehan seksual adalah 3 dosa besar di dunia pendidikan yang selalu ada dan mudah ditemukan di media sosial. Sehingga, kita sebagai guru dan peserta didik harus menghiasi media sosial dengan konten-konten yang positif. Agar, di era informasi ini para pemuda tidak melulu menemukan postingan yang tak layak. Namun, merdeka belajar, mosaik sosialisasi dan kampanye penguatan karakter pun harus tetap menjadi bagian dari kebaikan dalam bermedia sosial.

Yuk, gunakan media sosial dalam belajar dan mengajar yuk! Salam merdeka belajar. Salam cerdas berkarakter!

 

Ikuti tulisan menarik Ares Faujian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler