x

Iklan

Yudhi Herwibowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 4 Desember 2021

Senin, 6 Desember 2021 20:18 WIB

Karakter Cerita yang Membunuh Penulisnya

Keparatnya, penulis itu mulai melakukannya. Ia mengulik-ngulik masa laluku pelan-pelan. Mulanya ia hanya menceritakan masa kecilku yang merana, di mana kedua orang tuaku memilih mengurungku di ruang bawah tanah. Mereka menganggapku seperti anjing, dan memberi makan dengan makanan basi yang dilemparkannya dalam piring yang tak pernah dicuci.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejujurnya kukatakan padamu, aku tak pernah ingin muncul di dunia. Aku memilih diam tak terusik. Aku sudah nyaman di tempatku, dan lebih dari itu, aku merasa tak ingin seorang pun mengenaliku.

Tapi penulis ini –perlu kuakui– memang orang yang cerdas. Tak kupungkiri kalau bakatnya memang istimewa. Dan –satu lagi– ia cukup sakit untuk menjadi gila. Aku tentu awalnya tak pernah mengenalnya. Bertahun-tahun aku hanya karakter yang terabaikan. Mungkin orang-orang tak pernah berpikir kalau aku ada.

Selama ini, hidupku cuma jadi pengamat, atau lebih tepatnya pendengar kasak-kusuk. Ribuan karakter bersliweran di depanku, dan aku hanya sempat mendengar beberapa patah kata saja dari mereka. Mungkin sebenarnya cukup panjang, tapi aku malas mendengar ucapan yang nampaknya hanya itu-itu saja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku tentu masih ingat beberapa karakter yang payah. Seorang CEO muda yang kaya dan tampan, dan ternyata harus memacari ibunya sendiri. Atau karakter seorang perempuan kuat yang disakiti suaminya, dan kemudia berusaha keras membalas dendam dengan meraih kesuksesan. Atau karakter seorang gadis muda nan cantik –yang ketika kecil dijual oleh ibunya sendiri– berupaya meloloskan diri dari jeratan nasib buruknya dan... berhasil. Ah, masih banyak lagi karakter-karakter seperti itu, lelah aku mengulangnya. Toh, aku yakin kau juga sudah mendengarnya.

Aku sebenarnya sedih dengan karakter-karakter cemen seperti itu. Sedih pada penulisnya yang untuk berkhayal saja, masih terasa sangat kepayahan. Aku bahkan ingin berteriak di kuping mereka: Dasar amatir! Kenapa kalian tak menjadi polisi saja! Rasanya menulis surat tilang lebih pantas untuk kalian!

Aku selalu berpikir biola diriku tak akan pernah terjamah. Selama penulis yang ada hanya menulis hal-hal remeh tentang kejadian sehari-hari yang sudah banyak ditulis penulis-penulis masa lalu, aku akan terus begini.

Padahal sebenarnya aku meyakini kalau diriku istimewa. Aku tahu sekali, tak banyak karakter seperti aku. Mungkin ada beberapa yang mendekatiku, tapi tidak seperti diriku!

Tapi penulis yang kusingguh tadi, memang berbeda. Sejak ia muncul dan menggoreskan penanya di kertas untuk menuliskan cerita masa kecilnya. Aku sudah tahu ia akan menjadi seornag penulis yang istimewa. Umurnya masih 7 tahun kala itu, tapi ia berhasil menghadirkan karakter bocah yang mampu membunuh kawan sepermainannya sendiri, dengan cara diam-diam mengendalikan mobil-mobilan yang tengah ditumpangi, menuju sumur berhantu.

Tapi sayangnya, setelah itu ia seperti menghilang. Mungkin kesibukannya bersekolah seperti anak-anak lainnya, ditambah ia harus belajar mengarang dari guru-gurunya yang bahkan tak pernah bisa menulis. Kupikir ia akan lenyap perlahan-lahan. Maka aku merasa sudah seharusnya melupakan penulis itu.

Tapi di umurnya yang ke-18 tahun, ia muncul kembali. Tulisannya dimuat di salah satu majalah sastra paling bergengsi. Memaksa salah satu karakter tersembunyi, harus muncul di publik.

Karakter itu hampir sepertiku. Ia juga nyaris tak pernah terjamah ke dunia. Aku bahkan sempat mendengar desas-desus kalau ia sempat memutuskan bunuh diri, karena merasa tak berguna. Kebenciannya pada karakter-karakter cemen memang sangat keras, bahkan mungkin lebih keras dariku. Ia bahkan bersedia membunuh karakter-karakter itu dengan tangannya sendiri. Ia menganggap karakter-karakter itulah yang membuat cerita-cerita di dunia ini jadi tak lagi menarik.

Di satu masa, aku pernah bertemu langsung dengan karakter ini. Ia seorang pemuda tampan yang punya obsesi membunuh para pelacur. Walau ia sendiri sebenarnya terlahir dari rahim pelacur, yang berulang kali mencoba melenyapkannya. Kuyakin dari situlah kebenciannya bermula.

Saat lahir, ia hanya digeletakkan di pojok ruangan, hingga jari-jari kakinya habis digerogoti tikus. Ia harusnya mati saat itu. Tapi seorang pembantu di kompleks pelacuran itu diam-diam terus merawatnya hingga ia tumbuh besar.

Saat ia kecil, para pelacur lainnya selalu bersikap kasar padanya. Mereka mengatainya dan kadang meludahinya. Dari situlah kecenciannya, meningkat hingga ia mulai memiliki keinginan untuk membunuh para pelacur itu.

Upaya pertamanya terjadi saat ia berumur 15 tahun. Bayangkan, saat beberapa kawannya merasa deg-deg-gan mendekati perempuan, ia sudah berani mendekati pelcur untuk dibunuhnya. Cara membunuhnya pun cukup mengerikan. Dengan belati, ia akan menghancurkan mulut pelacur itu hingga tak berbentuk lagi. Konon, setiap ia mengayunkan pisaunya, suara-suara samar selelu terdengar...

“Anak tak tahu diri!”

“Harusnya kau tak pernah muncul”

“Bikin repot saja”

“Sudah dicoba dibunuh tetap saja hidup!”

“Cuiiih!”

Kini, di saat kemunculannya, kehebohan terjadi di mana-mana. Seorang penulis religius bahkan sempat mengecam penulis itu, “Ini karakter tak mendidik. Merusak moral pembaca kita!”

Aku hanya bisa tertawa. Tak bisa kututupi aku suka diri penulis itu. Ia berhasil membuat karakter yang ditulisnya jadi hidup sedemikian rupa, tak sekadar jadi cerita picisan tak bermutu, yang dilupakan sebentar saja.

Oya, kembali di pertemuanku dengan karakter itu, sebenarnya ada satu moment yang kukenang. Kami memang hanya diam beberapa lama. Tapi jelas sekali, ia tahu siapa aku, dan mengangkat topi untuk itu.

 

 

Penulis itu kembali menulis. Ia sepertinya tak peduli dengan kehebohan karyanya. Tapi kali ini, beberapa karakter yang diundangnya tak pernah benar-benar selesai. Aku tahu, kenapa itu terjadi. Ia nampak bimbang, tak fokus, bahkan ada di titik tak tahu harus berbuat apa. Tapi saat itulah aku mulai melihat kelebatan bayang-bayang di kepalanya.

Aku tahu hidup penulis itu memang payah. Setiap hari ia bekerja sebagai pengangkut barang di pasar. Ia dibayar dengan upah yang hanya habis untuk makannya. Kamarnya buruk dan didiami tikus busuk. Di situ hanya ada pembaringan, sebuah kardus berisi baju dan laptop bekas yang entah ia temukan di mana. Dan bila ia mendapat uang, ia akans segera menghabiskannya untuk membeli minuman dan obat terlarang. Memang keparat penulis itu.

Tapi dengan obat terlarang itu, aku merasa, ia bisa berpikir melampaui otaknya yang sekarang.

Sampai akhirnya, suatu malam ia berhasil memaksaku muncul. Aku seperti jadi laki-laki yang bangkit dari kubur. Ia tak berbasa-basi sama sekali. Di bab pertama saja, ia memunculkanku dengan cukup detail. Aku terbaring di perempatan jalan di mana mobil-mobil tak henti berlalu lalang. Tubuhku telah penuh luka dan darah yang tak henti menetes, tapi tentu saja aku belum mati.

Aku memang tak mungkin mati dengan mudah. Karakterku berumur panjang, dan aku masih meyakini, tak ada orang yang bisa mengulik tentang diriku seutuh-utuhnya, sebenar-benarnya.

Keparatnya, penulis itu mulai melakukannya. Ia mengulik-ngulik masa laluku pelan-pelan. Mulanya ia hanya menceritakan masa kecilku yang merana, di mana kedua orang tuaku memilih mengurungku di ruang bawah tanah. Mereka menganggapku seperti anjing, dan memberi makan dengan makanan basi yang dilemparkannya dalam piring yang tak pernah dicuci.

Tapi aku tetap hidup. Para aktifis hak asasi anak membebaskanku, dan memindahkanku ke tempat yang lebih baik. Mereka juga berhasil menghukum kedua orang tuaku. .

Aku seperti memulai babak baru hidupku, dengan menjalaninya dengan normal. Tapi tentu saja aku tak senormal itu. Aku sudah meyakini aku adalah karakter paling brilian di jagad ini. Dan penulis itu seperti menyadarinya. Ia mulai bisa memunculkan sosok lain dalam diriku. Sosok perayu dan penakluk perempuan yang paling memikat. Tak perlu bunga atau sekotak coklat, senyumku sudah dapat membuat para perempuan buru-buru menurunkan celana dalamnya. Bisa kau bayangkan, hidupku dipenuhi kisah percintaan yang tanpa basa-basi.

Di saat semua orang menikmati karakter itu, penulis itu kembali berhasil mengulik diriku, dengan memunculkan sosok lain dalam diriku. Aku seorang pelukis yang perfeksionis. Aku menyukai lukisan,dengan obyek perempuan. Imajinasiku begitu dalam, setiap lekuk tubuh perempuan mudah saja bagiku untuk mewujudkannya dalam kuas.

Saat sosok itu mulai dikenali, lagi-lagi penulis itu mampu memunculkan sosok yang lain lagi dalam diriku, aku si pematung yang malas. Aku terobsesi menjadi ternama, dan cara termudah membuat patung yang sempurna adalah dengan bahan utama tubuh manusia itu.

Dan lagi-lagi-lagi, penulis itu mampu memunculkan sosok yang lain dalam diriku. Aku si pemberang yang rela melakukan apa saja untuk menumpahkan kemarahanku, dan tentu anak-anak yuang lemahlah yang menjadi korban paling mudah.

Sampai di sini, aku yakin, kau mulai membayangkan sosok diriku!

Kupikir penulis ini memang sosok yang istimewa, ia bisa menyelami apa yang ada dalam diriku, bahkan dalam tabir tersembunyi sekali pun. Ia bahkan mampu menemukan sosok lain yang bahkan aku sendiri tak menyadarinya. Aku seorang pendoa paling disayangi oleh Tuhan. Doa-doaku selalu terkabul, sejak pertama kalinya aku membunuh kekasihku, aku berdoa agar semuanya lancar dan tak tercium jejakku. Dan Tuhan mengabulkan permintaan itu. Doa kedua, doa ketiga, doa keempat, yang semuanya sejenis, juga selalu terkabul.

Kadang-kadang aku kasihan dengan orang-orang lain yang sepanjang hidupnya berdoa, namun hidupnya tetap kere dan tak punya arti bagi orang lain. Seakan mereka mendalami petuah: Tetaplah hidup, walau tak berarti! Hahaha...

Tapi sialnya penulis itu tak juga lelah. Ia terus menemukan sosok lain yang ada dalam diriku. Sosok kelima, sosok keenam, sosok ketujuh, sampai sosok kesembilan puluh delapan. Ini adalah sosok yang paling kusukai: aku adalah anak kecil yang selalu menangis meminta balon.

Kupikir diriku sudah cukup sempurna. Aku si sosok dengan 98 kepribadian. Kuyakin, kau tak pernah menemukan karakter sepertiku sepanjang hidupmu.

Tapi ternyata penulis itu benar-benar belum selesai. Ia membuat alur yang seharusnya tak ada. Alur yang seharusnya sudah selesai, kembali dipanjangkannya dengan liar. Aku mulai terganggu dengannya. Apalagi saat ia kembali mengulik diriku. Tapi tentu saja upayanya tak berhasil. Toh, aku yang sesungguhnya, telah muncul sepenuhnya di depannya.

Sialnya ia kemudian berupaya menciptakan sosok baru yang sebetulnya tak ada. Ia merancang diriku sebagai pembunuh Tuhan!

Keparat! Aku memang bajingan. Tapi itu jelas bukan diriku. Banyak sisi-sisi dari diriku yang jelas-jelas menunjukkan aku disayang Tuhan. Jadi tentu saja tak mungkin bagiku menjadi pembunuhnya.

Kini aku meyakini, kalau penulis ini memang sakit. Jujur saja, awalnya aku hanya ingin menggambarkan kegilaannya saat menyebutnya sakit. Tapi nyatanya ia memang sakit yang sesungguhnya.

Aku mulai memberontak. Di setiap ia mulai mengetik tulisannya, aku membuatnya  bingung. Aku memunculkan sosok yang seharusnya sedang tak ada, atau menarik sosok yang seharusnya telah mati. Itulah mengapa penulis itu semakin kebingungan. Ia kerap menghapus apa yang sudah ditulisanya, tapi kemudian menulisnya lagi, untuk kemudian.... kembali menghapusnya. Terus begitu. Kurasakan sekali kebimbangannya. Jari-jarinya gemetar, dan –aku merasa– mulai muncul ketakutan dalam raut wajahnya.

Penulis itu mulai marah dan nyaris membanting laptopnya. Tentu itu tak akan dilakukannya. Bagaimana pun, ini laptop satu-satunya. Ia tak akan bisa menulis lagi kalau laptop ini hancur.

Ia begitu putus asa, dan mulai menelepon seseorang.

“Kepalaku mau pecah, aku ingin, kau dengarkan aku saja. Aku ingin bercerita sesuatu. Anggap saja aku sedang teler!”

Sejenak, kudengar suara cekikikan perempuan di seberang. “Sudahlah tak usah menulis lagi,” ujarnya. “Bercinta saja denganku. Akan kutunjukkan gaya yang kau sukai itu... Ayo, nyalakan videomu!”

Tapi ucapan itu malah membuat penulis itu naik pitan. “Hei, Lonte! Kubilang dengarkan saja! Aku sedang bingung, dan harus bercerita dengan seseorang!”

“Ih, kenapa sih kau! Bikin males saja!”

Lalu, klik! Telepon pun ditutup

Penulis ia semakin marah. Kali ini ia benar-benar membanting teleponnya sampai hancur menjadi beberapa bagian.

Ia kembali menyalakan laptonnya, mencoba melanjutkan tulisanku. Kupikir inilah waktuku untuk melawannya!

Saat ia meremas kepalanya, aku berhitung. Bisa jadi aku akan kalah bila hanya membiarkan dirinya memaksaku. Ia jelas semakin gila, dan ini mengerikan. Jadi kulakukan sesuatu yang seharusnya tak boleh dilakukan.

Aku mulai membisikinya sesuatu di telinganya. Sudahi saja cerita ini! Atau kau akan tewas mengenaskan!

Tapi penulis itu malah menyeringai. Ia kembali menulis. Dibuatnya sosok terakhir yang muncul dalam diriku, sosok yang memaksa sosok-sosok lainnya ketakutan dan memilih diam.

Aku kembali berbisik. Kalau orang-orang membaca tulisan ini, mereka tak sekadar memaki-makimu, tapi juga akan menyeretmu ke jalan!

Tapi penulis itu malah nampak bersemangat. Sungguh, aku mulai menyadari kalau aku tak akan mampu mempengaruhinya. Maka aku putuskan untuk memakai jalan terakhir. Ini adalah jalan yang dilakukan para karakter bila ia tak menginginkan apa yang dilakukan para penulis!

Laptop itu tiba-tiba mati!

Penulis itu mencoba menekan-nekan apa yang bisa ditekan. Tapi itulah kesalahannya. Aku sudah hidup sekian lama, aku telah mengenal semua yang ada,  termasuk apa yang ada di balik laptopnya. Jadi hari ini, aku meminta tolong pada mereka.

Keesokan harinya, pemilik kos menemukan penghuni kosnya tewas di depan laptopnya. Jari-jarinya terbakar habis!

 

***

Ikuti tulisan menarik Yudhi Herwibowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler