x

Sumber :live.staticflickr.com/65535/48864260652_9b2c4b43af_b.jpg

Iklan

NISA MUSTIKASARI

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 07:52 WIB

Kesempatan Kedua


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Namanya Alisa, seorang wanita berusia pertengahan dua puluhan, sedang berada dalam sebuah kereta menuju bandara di kota terbesar kelima di Jerman, Frankfurt. Perempuan itu menarik nafas panjang, melemparkan pandangannya ke luar jendela. Di luar salju begitu lincah berterbangan ditiup angin dan tak segan menabrak-nabrak sekujur badan kereta.  Pohon-pohon yang telah kehilangan daun-daunnya di luar sana tampak hanya sebagai kelebatan bayangan. Segala di pandang mata Alisa kali ini tertangkap buram. Entah karena kecepatan kereta yang ditumpanginya, atau karena isi hatinya yang tak jauh berbeda : kalut berkabut, seremang pemandangan langit sore ini.

“Jangan bengong.” sebuah suara dan tepukan pelan di punggung tangan Alisa membuyarkan lamunannya.
Ia menoleh ke sumber suara itu berasal. Raka, lelaki di sampingnya, tersenyum kecil ketika pandangan mereka beradu. Alisa  membalas dengan senyum meski lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah luar jendela kereta. Ia tak ingin suaminya itu menangkap kecamuk di pikirannya saat ini. Ia bukan sedang sedih sesaat lagi Raka akan berangkat ke Amerika untuk sebuah konferensi, tapi pikirannya penuh sesak akibat pembicaraan terakhir dengan Ibu—Sang mama mertua—sehari yang lalu. 

Bermula dari sebuah panggilan video call skype di laptop Raka kemarin malam. Saat itu Raka sedang tidur sementara Alisa melihat panggilan video call dari Ibu dan menjawabnya. Pembicaraan mereka awalnya normal dan hangat. Mereka saling bertanya kabar dan bertukar cerita ringan. Namun perasaan tak nyaman mulai muncul ketika Ibu bertanya,
"Gimana, nduk.. sudah isi  lagi?" 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Raut muka Alisa seketika berubah. Meskipun ia berusaha mati-matian menjaga sikap, tapi tak bisa dipungkiri suara Alisa yang tercekat menunjukkan ada sisi hatinya yang terluka.
"Terakhir cek bulan lalu. Belum, Bu…"

Lalu berhamburanlah petuah panjang dari Ibu tentang banyak hal. Tentang apa yang harusnya dilakukan dan tidak, tentang apa yang sebaiknya dimakan dan tidak—tentang hal-hal yang sebenarnya sudah kenyang Alisa dengar dari mana-mana. Setelah mengakhiri sambungan video call itu, Alisa menghambur ke toilet, terburu menguji urin nya dengan sebuah testpack
Belum sampai hasilnya muncul, testpack itu dilemparkan Alisa ke sembarang arah. Ia menangis tertahan. Ia bosan dengan rutinitas menunggu hasil testpack yang selama ini tak kunjung menggembirakan.
 
Alisa dan Raka adalah sepasang suami istri yang tinggal di Jerman sejak keduanya masih lajang. Selepas menikah, mereka melanjutkan hidup di negeri itu karena Raka mendapatkan beasiswa pascasarjana di sana sementara Alisa mendapat kesempatan untuk bekerja dalam program integrasi vokasi (Berufsintegration) di sebuah sekolah.

Di usia pernikahan pertama—tiga tahun yang lalu—Alisa sempat dinyatakan hamil tapi mengalami keguguran di minggu ke-13 usia kandungannya. Sejak saat itu belum juga sekali pun rahimnya terisi kembali dengan calon buah hati.

“Kamu kenapa?" Lagi-lagi suara Raka memecah lamunan Alisa, mengembalikan kesadarannya ke saat ini.
Kali ini Alisa menjawab dengan gelengan kepala. Raka meraih jari-jarinya dan lanjut berkata, “Jangan sedih gitu ah. Aku cuma pergi dua minggu.”
Raka menggenggam tangan Alisa lebih erat. Tanpa lelaki itu sadari, semakin eratnya genggaman itu membuat benteng pertahanan bendungan di hati perempuan di sampingnya justru semakin merapuh, menunggu rubuh. Akan ada yang segera jatuh dari matanya. Perempuan itu tidak bisa menahan debur sesak yang sejak semalam memenuhi rongga dadanya.


Maafin aku ya, Mas… 
Masih belum bisa ngasih kamu anak… Masih ngecewain Ibu.

Alisa membatin. Sementara itu suara operator mengumumkan bahwa kereta akan segera tiba di stasiun bandara, tujuan mereka. Tepat dua menit kemudian kereta benar-benar berhenti dengan pintu yang terbuka. Mereka berdua turun bersama beberapa penumpang lain yang juga bertujuan sama. Langkah-langkah panjang mereka menggiring sampai pada eskalator yang menghubungkan langsung dengan lounge bandara.
Alisa terdiam. Mendadak bandara ini terasa begitu senyap. Ia memutuskan menutup matanya sejenak, tetapi lalu sadar bahwa pilihan itu tidak tepat. Begitu kelopak matanya menutup, seketika pula linangan air mata tumpah membelah kedua pipi kanan-kirinya. Alisa menangkupkan kedua tangannya ke muka, tak peduli lagi dia sedang berada di tengah-tengah kerumunan manusia. 

Tak sampai lima detik kemudian Alisa merasa jari-jarinya ditarik turun perlahan, menjauh dari wajahnya yang kini basah hampir seluruhnya. 
“Kenapa gak mau cerita?” Itu kalimat pertama Raka ketika tatap mata basah Alisa beradu dengan miliknya.
“Apa?” Alisa sibuk mencari-cari tissue dari dalam tasnya. Begitu menemukannya, dia lalu sibuk menyeka matanya tanpa berani lagi memandang langsung mata Raka.
Tangan Raka meraih masing-masing tangan Alisa, “Aku tahu kemarin kamu skype-an sama Ibu.”
“…” 
“Aku dengar semuanya.”

Mata Alisa membulat, “Aku juga ingin punya anak, Mas. Ingiiiin sekali. Aku ngerti Ibu sangat berharap pada kita, apalagi kamu anak satu-satunya. Tapi kenapa sampai sekarang belum juga? Apa aku gak layak dapat kesempatan kedua?” Air mata Alisa kembali berderai.
Please, kita sabar ya!" Raka memeluk Alisa erat-erat. Lalu ada hening panjang. Sesungguhnya Alisa berharap Raka bisa menenangkannya lebih dari sekedar dengan kalimat pendek semacam itu, tapi ia mengerti suaminya memang bukan tipe pria yang banyak bicara.
"Aku harus segera boarding, sebentar lagi gate dibuka. Ayo, temani.” Raka melanjutkan, sambil menyeka pipi basah Alisa dan menggandengnya berjalan. Alisa menurut, diantarnya Raka sampai ke gerbang imigrasi tempat mereka benar-benar harus berpisah.
“Aku berangkat ya… Kamu jaga diri!”
“Baik-baik ya, kamu di sana! Jangan lupa kabari aku kalau sudah sampai JFK.”
“Pasti.”
“Hati-hati.” Mereka bertukar kecup sekilas lalu Raka segera menggiring kopernya ke ruangan yang tak bisa lagi Alisa masuki, tanpa menoleh lagi.

 

Alisa menarik nafas dalam-dalam sambil berjalan ke stasiun kereta. Tak lama kemudian kereta yang ditunggunya datang. Alisa masuk dan memilih mendaratkan dirinya di salah satu kursi di gerbong yang relatif sepi. Di luar, salju sudah berhenti berterbangan, tapi jejak tebalnya terekam jelas di sepanjang jalan. Persis seperti gejolak di kepala Alisa, yang pelan-pelan berhenti berbadai, tapi masih menyisakan jejak sendu di sana-sini.


    
Ponsel Alisa bergetar. Sambil mengatur nafas, ia merogoh saku kanan coatnya. Ada satu email baru masuk, dari Raka. Dibukanya pesan elektronik itu.

 

From : raka.aradhana@gmail.com

To : alisa.atmadiredja@gmail.com


Alisa,
Bagiku menikah denganmu bukan sekedar soal urusan memperpanjang garis keturunan. 
Kamu bukan mesin pencetak anak-anak. Kita tidak sedang berternak.

Hidup kita terlalu singkat untuk meratapi apa yang belum kita miliki. Terkadang kita melupakan hal-hal yang sudah Tuhan berikan ketika terlalu menginginkan sesuatu yang belum kita dapatkan. Kita menjadi buta. Dibutakan ambisi-ambisi yang tak terkendali. 

Istriku,
Anak adalah hak mutlak Tuhan. Dia Mahatau kapan kita layak diberi kepercayaan dan seberapa lama kita harus menunggu. Ia yang paling mengerti kapan waktu yang tepat untuk segala sesuatu. Ia pembuat skenario yang paling sempurna sejagat raya.
Maka percayakanlah semua padaNya. Mari berselancar di atas ombak harapan-harapan kita sambil menikmati segala pasang-surut di perjalanannya. Setidaknya kamu tahu, selalu ada tanganku yang akan mengangkatmu kembali berdiri saat kamu tersungkur, meski di tepi palung tersunyi.

Alisa, ingatlah,
Menikahimu adalah jalan bagiku untuk mencapai kebahagiaan hakiki, tak hanya selama di bumi, tapi sampai di kehidupan setelahnya nanti. Aku ingin bersamamu lebih lama dari hidupku di dunia. Aku ingin membahagiakanmu tanpa terbatas usia.

Jangan sedih terlalu lama. Aku rindu istriku yang ceria.

Love,
Raka.


Email Raka berhasil mengukir senyum kecil di wajah Alisa. Mengingat kalimat terakhir dalam email Raka tadi, bebannya di dadanya sedikit terangkat, hatinya mendadak lapang. 


Terima kasih, Mas. Aku juga ingin bersamamu melampaui usia kita di dunia.

_________________________________________________________________________________
Tanpa Raka dan Alisa sadari, di pojok ruang kamar mandi di rumah mereka sendiri, sebuah testpack menunjukkan dua garis nyata.

 

Ikuti tulisan menarik NISA MUSTIKASARI lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler