35 Tahun Mengamen Demi Pendidikan Anak Jalanan

Kamis, 9 Desember 2021 19:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ini kisah nyata Adi, yang mengamen demi menyekolahkan anak jalanan. Dua belas tahun sudah ia mengurus anak jalanan, kini puluhan anak telah berhasil mengenyam pendidikan. Beberapa diantaranya ada yang menjadi guru, berwirausaha, atau bekerja.

Anak jalanan sejatinya bukan hambatan untuk kemajuan bangsa. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang harus dididik agar tidak terjerumus dalam kondisi yang dapat mengancam masa depan mereka. Adi Supriyadi percaya, mereka bisa berperan untuk bangsa.

Sejak 12 tahun lalu, Adi Supriyadi telah mengasuh ratusan anak jalanan. Puluhan di antaranya bahkan bisa sekolah secara formal. Adi merupakan pendiri Yayasan Secerah Anak Negeri Jaya atau yang lebih sering disebut Sanggar Senja Cibinong, Kabupaten Bogor, yang menaungi anak jalanan dan anak terlantar agar dapat mengenyam pendidikan dan kehidupan yang layak. Anak jalanan yang diasuhnya itu, bukan hanya berasal di sekitar Kabupaten Bogor, tapi juga ada yang berasal dari luar pulau Jawa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pendiri yayasan ini menceritakan upayanya membuka akses pendidikan bagi anak jalanan tidaklah mudah. Berkali-kali Adi harus bertabrakan dengan urusan administratif dan birokrasi pendidikan yang rumit.

Latar belakang anak jalanan yang tidak jelas dan tidak adanya dokumen identitas kerap kali menjadi persoalan. "Birokrasi kita ini rumit, terlalu banyak syarat. Mereka itu juga menganggap kami ini hina saja. Dituduh mau nyari duit lah, mau bikin organisasi teroris lah, padahal visi misi kami jelas untuk pendidikan," ujar Adi.

Pernyataan itu disampaikan Adi saat bercerita dalam sebuah sesi di program Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 3 yang digelar Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan bekerja sama dengan Paragon Technology and Innovation, Rabu, 1 Desember 2021. "Saya adalah mantan anak jalanan. Selama 35 tahun saya mengamen," ujar Adi saat webinar.

Selama 35 tahun mengamen dan menjadi anak jalanan, Adi banyak bertemu dengan sesama anak jalanan di pelbagai daerah di Indonesia. Jalanan menjadi pilihan hidupnya setelah kedua orang tuanya meninggal dunia. Walau demikian, dia tidak menjadikan pengamen sebagai profesi. "Saya mengamen bukan untuk mencari uang, tapi jati diri," ucapnya.

Dari pengalaman itu, Adi banyak mengetahui permasalahan anak jalanan dan pahit manisnya kehidupan.

Walaupun hidup dari jalanan, namun Adi tetap bersekolah kendati harus pindah-pindah mulai dari Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Dengan pendidikan yang tidak diabaikannya, muncul rasa prihatin pada kehidupan anak jalanan yang sebagian besar tidak bisa bersekolah.

"Saya prihatin dengan anak jalanan yang banyak dibunuh, dirudapaksa, ditabrak kendaraan. Akhirnya saya membuat wadah bernama Terjal yang merupakan akronim dari Terbuang di Jalanan," ungkapnya.

Komunitas tersebut merupakan wadah bagi anak-anak jalanan untuk berkumpul. Adi mengajarkan anak-anak binaannya tersebut membaca, menulis dan menghitung.

Suatu ketika, ia bercerita, salah seorang anak binaannya sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit. Namun, penghasilannya dari mengamen tidaklah cukup untuk membayar biaya pengobatan anak binaannya tersebut. "Karena tidak bisa membayar, saya berdebat sampai ribut dengan satpam," ucapnya.

Saat keributan itulah, ada seorang ibu yang tidak dikenal membawanya ke parkiran. Adi masih emosi dan tidak sempat berkenalan dengan ibu tersebut. "Ibu itu tidak tahu siapa namanya. Dia memberikan uang dan bilang, tolong dibikin yayasan biar mencari uang lebih mudah," katanya.

Uang pemberian dari ibu tidak dikenal tersebut dijadikan Adi untuk terus bergerak dan memberi wadah bagi anak jalanan. Hingga terbentuk Yayasan Senja, sampai sekarang sudah sekitar 12 tahun perjuangan itu dilakukan.

Yayasan Sanggar Senja didirikan untuk menjadi payung identitas bagi para anak jalanan. Hingga 2018, yayasan telah membebaskan akte kelahiran sekitar 120 anak. Sebagian akte mereka mengatasnamakan anak ibu, sebagian lagi anak negara. Anak-anak jalanan itu, kata Adi, akhirnya bisa dimasukkan ke sekolah swasta.

Hasil itu diraih dengan jalan berliku dan susah payah. Adi harus meyakinkan banyak pihak bahwa dia yang akan menjamin penerbitan dokumen kependudukan anak-anak tersebut dan bertanggungjawab sepenuhnya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. "Saya jaminannya, kalau ada apa-apa, tangkap saya," ujar dia.

Bagi Adi, penolakan demi penolakan sudah menjadi makanan sehari-hari saat mengupayakan akses pendidikan formal bagi anak jalanan. "Saya pernah mendaftarkan anak usia 12 tahun di kelas 1 SD, gurunya bilang, maaf ya nanti jadi menjatuhkan sekolah kami, soalnya sudah tua begini. Sulit memang. Itu kenyataan yang kami hadapi," ujar dia.

Persyaratan administrasi memang banyak menghambat anak jalanan untuk bisa mengenyam pendidikan. "Syarat di dapodik itu anak harus memiliki NIK. Sementara anak jalanan, tidak memiliki itu. Bagaimana mereka bisa mengenyam pendidikan jika masih disulitkan oleh urusan administrasi," katanya.

Padahal Adi yakin, jika anak jalanan diberi kesempatan, dibujuk dan diberi pengertian, mereka pasti mau bersekolah. Namun syaratnya adalah memberi kemudahan bagi anak jalanan untuk bisa mengenyam pendidikan.

Kini ada sekitar 130-an anak jalanan yang dibina Yayasan Senja Cibinong. Sebanyak 50 orang sudah masuk di sekolah atau pendidikan formal. Sisanya yang sudah putus sekolah diikutkan paket A, B, dan C.

"Kalau yang menetap ada 22 anak, semuanya sekolah. Sisanya hanya datang untuk belajar, lalu pergi. Tapi yang singgah, ada sekitar 130 anak. Jadi ini sanggar sekaligus juga panti. Kami terima semua, kami beri makan. Mereka juga bisa mendalami bidang seni dan budaya di sini," ujar Adi.

Sejak 12 tahun mengurus dan menyekolahkan anak jalanan, puluhan orang telah berhasil mengenyam pendidikan. Beberapa diantaranya bahkan ada yang menjadi guru, berwira usaha, atau bekerja. "Bagi saya, mereka tidak mengemis dan mengamen juga sudah menjadi keberhasilan. Mereka mau sekolah juga sudah menjadi prestasi," ujarnya.

Anak-anak yang tinggal di Sanggar Senja Cibinong memiliki kisah yang beragam. Adi menceritakan ada anak dari Bali yang hendak diperdagangkan oleh orang tuanya. Namun karena 'si calon pembeli' mengurungkan niat, lantas anak tersebut ditinggalkan seorang diri di sekitaran Air Mancur di Bogor dan dibawa oleh warga sekitar ke Dinas Sosial.

"Oleh Dinas Sosial mau dibawa ke Bandung, karena ketemu saya, akhirnya saya bawa lah ke sini. Sampai sekarang orang tuanya tidak ada yang mencari, sudah hampir setahun tinggal di sini," ujar Adi.

Lain lagi anak dari Papua yang tidak diketahui siapa orang tuanya. "Anak itu semula tinggal dengan orang yang suka memukuli dan menyuruh dia menjadi pengemis. Ketemu saya di jalan, lalu saya bawa ke sini. Alhamdulillah dia mau belajar di sini," tuturnya.

Adi awalnya mengontrak sebuah rumah untuk tempat tinggal anak-anak jalanan tersebut. Dari usaha studio musik dan penyewaan sound system yang dimiliki, ia bisa membayar duit sewa kontrakan dan memberi makan serta membayar uang sekolah anak-anak jalanan yang dibinanya.

Tahun berganti tahun, Sanggar Senja semakin dikenal. Relawan-relawan mulai banyak membantu mengajar dan bantuan dana pun mulai berdatangan. Salah satunya, PT Paragon Technology and Innovation yang menyumbang dana untuk membeli sanggar. "Tadinya kami mengontrak, sekarang kami sudah punya sanggar sendiri. Alhamdulillah kami sangat bersyukur," ujar Adi.

Dengan bantuan berbagai pihak, Adi berharap misinya untuk mengurangi populasi anak jalanan bisa terus berlanjut. "Kalau mereka tidak kita angkat, ya mereka bisa menjadi pelaku kriminal nantinya," ujarnya.

Sebagai bekas anak jalanan, Adi sadar betul jika pendidikan adalah salah satu jalan mengubah nasib anak-anak jalanan. "Kalau kita kasih anak-anak jalanan itu duit, maka akan habis begitu saja. Tapi kalau dikasih pendidikan, insyaallah akan mengubah hidup mereka selamanya," ujar Adi.

Lewat seni, bekas anak jalanan itu tak henti membangkitkan semangat anak-anak yang dibinanya untuk memiliki cita-cita yang tinggi. Salah satu anak sanggar, Evelyn, 11 tahun, berharap kelak ia bisa menjadi orang sukses. "Biar kaya, supaya bisa bantu adik-adik aku yang lain di sini," ujar bocah kelas 6 SD itu.

Anak jalanan lainnya yang bergabung bersama Sanggar Senja ialah Mando. Bocah berusia 10 tahun ini bercita-cita ingin menjadi tentara. "Ingin membela negara," ujarnya ketika ditanya alasan ingin menjadi tentara.

Hingga saat ini, Adi tak kenal lelah memperjuangkan hak pendidikan bagi anak jalanan. Semangat kepedulian dan gotong royong untuk saling membangun jati diri terus ia lakukan bersama anak-anak binaannya.

Bagi Adi, pendidikan akan menguatkan anak jalanan untuk bisa maju dan kembali kepada masyarakat. Melalui pendidikan, mereka pun bisa berperan membangun kemajuan bangsa. 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler