x

Sastra

Iklan

Alfiarum Cahyani

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tapi punya cita-cita menjadi Astronot.
Bergabung Sejak: 16 Desember 2021

Kamis, 16 Desember 2021 19:43 WIB

Merajut Perjuangan Feminisme Nyai Ontosoroh dalam Novel Bumi Manusia

Nyai Ontosoroh merupakan seorang pribumi bernama asli Sanikem. Perempuan yang terlahir dari masyarakat bawah dan tentunya masih menjadi kaum marjinal dalam strata sosial masyarakat Jawa yang patriarki, terlebih pada zaman kolonialisme. Hidupnya bisa masuk ke dalam kelas menengah atas karena menjadi istri tidak legal (((gundik))) menurut Undang-Undang Hindia Belanda. Sanikem merupakan gambaran keadaan Indonesia pada masa itu maraknya pergundikkan yang terjadu di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada tahun 1981 novel Bumi Manusia mendapatkan laranan terbit, alasan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung. Tuduhannya adalah novel ini berisi propaganda ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Roman Bumi Manusia hasil karangan ciamik dari Pramoedya Ananta Toer.

Roman itu menceritakan praktik kolonial Hindia-Belanda pada abad ke-20, dan tokoh utamanya bernama Minke yang merupakan seorang pelajar pribumi dan bersekolah di HBS. Minke dilukiskan sebagai seorang yang berani melawan ketidakadilan melalui tulisan-tulisan yang liar. Lalu, Minke bertemu dengan seorang perempuan Indo yang rupawan, Annelise namanya. Ia anak dari seorang Nyai bernama Nyai Ontosoroh.

Nyai Ontosoroh merupakan seorang pribumi bernama asli Sanikem. Perempuan yang terlahir dari masyarakat bawah dan tentunya masih menjadi kaum marjinal dalam strata sosial masyarakat Jawa yang patriarki, terlebih pada zaman kolonialisme. Hidupnya bisa masuk ke dalam kelas menengah atas karena menjadi istri tidak legal (((gundik))) menurut Undang-Undang Hindia Belanda. Sanikem merupakan gambaran keadaan Indonesia pada masa itu maraknya pergundikkan yang terjadu di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“….seorang anak yang telah dijual oleh ayahnya sendiri, juru tulis Sastrotomo. Yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apapun.”

“Aku telah bersumpah dalam hati: takkan melihat orang tua dan rumahnya lagi. Mengingat mereka pun aku sudah tak sudih. Mama tak mau mengenangkan kembali peristiwa penghinaan itu. Mereka telah bikin aku jadi Nyai begini”

Melaui kutipan di atas, saat usianya yang masih belia namun ia dijual oleh ayahnya yang berambisi menjadi seorang juru bayar. Sejak peristiwa yang seharusnya tidak terjadi pada hidupnya, ia tidak pernah memberikan maaf pada orang tuanya dan menganggap Ia hanya sebatang kara. Nyai Ontosoroh berbeda dengan gundik yang lainnya sebab, ia banyak dikagumi orang karena masih muda dan pengendali seluruh perusahaan pertanian besar bernama Buitenzorg dan menjadi ibu tunggal bagi kedua anaknya Robert dan Annelies Mellema, meski darah biru tidak mengalir dalam tubuhnya Ia lihai dalam bersolek dengan necis layaknya priyayi.

Herman Mellema memiliki andil yang cukup baik dalam mendidik pertumbuhan Sanikem dari mulai diajarkan membaca, menulis dan berthitung. ia pun belajar bahasa Belanda dan Melayu untuk menulis dan berbicara, begitupun ia terampil dalam berperilaku dengan perempuan berkulit putih sesuai dengan etika kesopanan ala Barat. Nyai dari seorang gadis muda belia dan lugu bertransformasi menjadi perempuan yang berpendidikan dan betu-betul mandiri, tegas serta terampil dalam bidang apapun.

“Hidup sebagai nyai terlalu sulit. Dia cuma budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sebaliknya setiap waktu orang harus bersiap-siap terhadap kemungkinan tuannya sudah merasa bosan.”

“Sejak detik itu, Ann, lenyap hormatku pada ayahmu. Didikannya tentang harga diri dan kehormatan telah jadi kerajaan dalam diriku. Dia tidak lebih dari seorang Sastrotomo dan istrinya. Kalau cuma sampai di situ bobotnya dalam menghadapi ujian sekecil itu, tanpa dia pun aku dapat urus anakanakku, dapat lakukan segalanya seorang diri….”

Melalui kutipan di atas, kehidupan Sanikem mulai berubah sejak kedatangan anak sah dari Tuan Herman Mellema yaitu Maurist Mellema yang menuntut hak atas harta kekaayaan dari ayahnya yang dibangun bersama Sanikem. Hal itu terjadi ketika Herman Mellema meninggal karena ia tidak perduli lagi pada apapun disekitarnya dan meninggal sebagai orang Eropa yang tidak beradab. Dan beubahnya sikap Herman Mellema menjadi individu yang kerdil dan mati karena diracuni.

Nyai Ontosoroh sejak awal sudah memahami betul posisinya yang sangat rapuh dalam hukum Hindia Belanda yang sangat tidak berpihak pada pribumi. Nilai-nilai Eropa yang memandang Pribumi dengan sangat rendah dengan begitu ia mengasah kemandiriannya untuk hidup sebagai seorang yang memberi dampak terhadap bangsa terjajah dari bangsa penjajah sehingga istilah inlander dengan sendirinya dapat dihilangkan. Dengan segala keterbatasannya, Nyai  berusaha dalam menyuarakan ketidakadilan yang dihadapi oleh bangsanya.

“Siapa yang menjadikan aku gundik? Siapa yang membikin mereka jadi nayi-nyai? Tuan-tuan bangsa Eropa, yang dipertuankan. Mengapa di forum resmi kami ditertawakan? Dihinakan? Apa Tuan-tuan mengkehendaki anakku juga jadi gundik?”

Pada kenyataanya Sanikem tetaplah perempuan pribumi yang tidak mendapatkan hak-nya, sebab dirampas secara keji oleh sistem kolonial Belanda. Pada akhirnya sanikem harus menghadapi hukum colonial Hindia Belanda. Dari kutipan di atas merupakan gambaran gadis-gadis yang mengalami penindasan. Perempuan pribumi yang melakukan perlawanan terhadap nasib sebagai nyai, melawan atas kemunafikan dan kezaliman yang dilakukan atas keluarga sah dari Herman Mellema dan sistem hukum kolonial itu sendiri.

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Nyai Ontosoroh memang gagal dalam perlawanannya menghadapi hukum kolonial Belanda, namun  peran Nyai sangat besar dalam memperjuangkan dan membangun bangsa Indonesia. Perjuangan kebangsaan tidak hanya berwujud perjuangan fisik namun perjuangan itu dapat muncul dalam bentuk tindakan penyadaran sikap kebangsaan. Nyai telah memperjuangkan ketertindasan dan ketidakadilan dengan kekuatan citra perempuan yang berhasil.

Ikuti tulisan menarik Alfiarum Cahyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu