x

Gambar oleh jodeng dari Pixabay

Iklan

Muhamad Hasim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2021

Senin, 27 Desember 2021 06:27 WIB

Dia Lelaki Ilham dari Sorga

Kontras dengan kehidupan yang pernah dia jalani di Jakarta, laki-laki itu kini terdampar di sebuah kota kecamatan, menjalani kehidupan yang serba pahit, yang tak pernah dia tak pernah dia temui sebelumnya. Menjelang usia yang ke-limapuluh, dia menemukan arti hidup yang sebenarnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di usianya yang menjelang limapuluh, laki-laki itu masih tampak muda. Badannya kokoh meski agak pendek. Perkiraanku tinggi badannya tidak lebih dari 155 centimeter. Kulitnya gelap karena pekerjaannya sehari-hari menantang matahari. Rambutnya kusut dan selalu kotor oleh debu, tak terawat, tetapi tetap hitam, tanpa uban seperti umumnya laki-laki seusianya. Raut mukanya seperti Shahruh Khan bintang film India yang kesohor itu. Jika tertawa, mulutnya tampak mengerikan karena gigi-giginya sudah keropos. “Dulu, waktu di Jakarta, saya terlalu banyak nyabu,” katanya. Dan dia pernah dipenjara karena kesukaannya itu. Dan, menurutnya, itulah penyebab giginya keropos.

“Di Jakarta, saya kerja di bar.”          

“Di sanalah saya bertemu dengan emaknya anak-anak, yang akhirnya membawa saya ke sini. Terperangkap dalam kehidupan seperti ini.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sore itu dia datang lagi ke rumahku. Wajahnya kusut dan suram. Melewati pintu, dia langsung menghampiri tempat duduk, di sofa dekat jendela, merobohkan pantatnya di situ. Tangannya sibuk merogoh kantong celananya yang sudah usang di makan usia, dan mendapatkan sebungkus rokok keretek murahan yang mengkerut karena isinya tinggal sebatang, dua.

“Sepi,” katanya sambil menarik napas panjang. Dia menatap kosong sebungkus rokok di tangannya.

Seperti biasa, aku menawarkannya makan, tapi dia menolak. “Tadi sudah makan di rumah orang yang parabolanya saya dandan. Tapi ya cuma makan itu. Nggak dikasih duit.”

Ya, pekerjaan sehari-harinya adalah teknisi parabola. Orang kampung menyebutnya tukang dandan parabola Tapi dia juga bisa mendandan mesin air, memperbaiki pipa air, atau menjadi kuli bangunan seperti memasang bata dan mengaduk semen.

Musim angin kencang, atau musim hujan adalah rejeki baginya karena waktu itu banyak antenna parabola yang rusak, atau chanel siaran TV yang hilang. Di saat seperti itu dia pasti sibuk sekali. Dering telepon selularnya nyaris tanpa henti. Pernah aku meneleponnya ketika antennaku rusak, dua minggu kemudian dia baru datang.  

Tapi di saat cuaca tenang seperti ini, job jadi sepi. Dia sering datang bertandang ke rumahku.

“Sekarang banyak orang memilih membeli receiver baru ketimbang mendandan yang lama,” katanya pula, menambahkan alasan kenapa job-nya jadi sepi.

Tumben pake celana panjang,” kataku, mengalihkan pembicaraan. Dia memang jarang sekali pakai celana panjang karena pekerjaannya sering kali mengharuskan dia naik ke atap rumah atau tempat-tempat ketinggian lainnya. Celana panjang membatasi geraknya ketika harus memanjat. Dan celana panjang yang dia kenakan itu tampak kebesaran karena bukan asli miliknya, melainkan pemberian dari orang lain. Dia sepertinya tidak pernah membeli pakaian untuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya orang suka memberi dia pakaian.

Dengan mengenakan celana pendek seperti itu, tato-tato di kedua kakinya, yang menunjukkan kehidupan macam apa yang pernah dia jalani di Jakarta, tampak jelas.

Dia lalu mengeluh betapa orang-orang kampung yang menggunakan jasanya banyak yang tidak punya perasaan. Banyak di antara mereka yang hanya memberi Rp. 20.000, atau bahkan kurang, atau tidak memberi uang sama sekali untuk sebuah pekerjaan yang membutuhkan keahlian seperti dirinya. Bahkan banyak pula yang membayar dengan beras sekedar dua kilogram. Ada pula yang ngutang, yang kemudian tidak pernah mereka bayar meski berkali-kali dia tagih. “Sampai saya sendiri yang malu untuk menagihnya kembali,” katanya bersungut-sungut.

“Sudah pindahan?” tanyaku.

“Udah, tadi malam.”

“Buru-buru amat.”

“Iya. Yang punya rumah yang kami tempati udah datang. Begitu dia tiba, kami langsung pindah.”

“Dia suruh pindah?”

“Ya, nggak juga. Tapi dari gelagatnya dia menginginkan kami cepat-cepat pindah. Buktinya, ketika kami mengeluarkan barang-barang kami, dia nggak mencegah.”

Selanjutnya, dia menceritakan betapa perempuan pemilik rumah itu kejam. Barang-barang miliknya, seperti kompor gas dan ranjang tempat tidur, yang dia beli dengan hasil keringat sendiri, diambil oleh perempuan itu. Dia dan anak-anaknya yang masih kecil terpaksa tidur di lantai, hanya beralaskan kardus.

“Mungkin dia menganggap itu biaya sewa rumah,” kataku.

“Mungkin. Tapi sejak mula dia mengatakan bahwa kami boleh menunggu rumah itu secara gratis; tidak perlu membayar. Bukan itu sebabnya. Tapi dia jengkel karena rumah itu tampak kotor, tidak terawat. Ya, bagaimana mau terawat, saya kan udah nggak punya istri. Sehari-hari saya sibuk kerja. Anak-anak mana yang mau disuruh kerja.”

Ada beban perasaan yang teramat berat ketika dia menceritakan itu. Itu jelas terlihat dari air mukanya; kedua matanya seperti pintu air bendungan raksasa yang berat menahan volume air yang mendesak hendak menjebol.

Perempuan pemilik rumah itu adalah adik dari istrinya. Ketika istrinya meninggal dunia, adik istrinya itu menyuruh mereka; dia dan anak-anaknya menempati rumah miliknya yang baru dibangun dan belum jadi seratus persen; masih berupa bata merah dengan lantai yang belum dikeramik dan kusen jendela yang masih ditambal dengan papan. Jadilah dia beserta empat orang anak-anaknya menempati rumah itu.

Ketika istrinya masih hidup, mereka tinggal menyewa rumah murah yang terletak di pinggir kali, di dekat pasar. Istrinya berjualan kue, dan dia bekerja serabutan. Pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan STM di Jakarta, membuat dia mengerti antenna parabola.

Adik istrinya itu, menitipkan seorang anaknya yang sedang bersekolah setingkat SLTA untuk tinggal bersama mereka. Sedangkan dia sendiri kembali ke Jakarta; bekerja sebagai tukang parkir.

“Tukang parkir?”

“Ya, itu sebenarnya hanya alasan dia aja, biar nggak kelihatan ngganggur. Malam harinya dia nongkrong di bar.”

“Lakinya kerja apa?”

“Lakinya kabur entah ke mana.”

“Tapi dia beruntung, ketika lakinya kabur, dia meninggalkan sebuah rumah untuknya. Rumah itu kemudian dia jual. Uangnya dia gunakan untuk membangun rumah yang kami tempati kemarin itu.”

“O …”

Jadi total ada lima orang anak yang harus dia beri makan; empat orang anaknya sendiri, dan satu orang anak perempuan itu.

Untuk itu, praktis, dia harus bekerja membanting tulang untuk menghidupi lima nyawa yang mendompleng bersamanya.

Orang-orang kampung banyak yang salut padanya. Laki-laki lain mungkin sudah kabur; kawin lagi, meninggalkan anak-anaknya. Apalagi laki-laki perantauan, yang tak punya sanak saudara seperti dia. Tapi dia tetap bertahan; berjuang sebagai single parent untuk menghidupi anak-anaknya; sendirian.

“Kasihan anak-anak,” katanya, jika ditanya mengapa dia tidak kabur saja. Dan itulah pula alasan mengapa dia tidak kawin lagi; sulit mencaci perempuan yang cocok bagi anak-anaknya. Pernah ada janda yang mengajak dia kawin, tapi janda itu punya anak tiga. Kalau mereka kawin, dan perempuan itu membawa serta anak-anak itu untuk tinggal bersama mereka, maka anak mereka akan jadi delapan. Bayangkan kalau harus menghidupi anak delapan orang; belum lagi istrinya. Menghidupi lima orang aja susah, apalagi delapan.

Sebagai antisipasi apabila rumah yang dia tempati diambil oleh pemiliknya, dan mereka harus keluar mencari tempat tinggal lain, aparat kampung memasukkan dia sebagai penerima bantuan bedah rumah.

“Kepala Kampung kami sangat baik,” katanya. “Dia sudah banyak membantu kami.”

Bantuan bedah rumah sebenarnya hanya berlaku untuk mereka yang sudah punya rumah, tapi kondisinya tidak baik, sedangkan dia tidak punya rumah sama sekali.

Dan berkat kebaikan hati kepala kampung, dia diberi tanah bengkok selebar enam kali enam meter, yang letaknya hanya beberapa langkah dari rumah perempuan adik istrinya itu, untuk dibangunkan rumah, dengan status hak guna bangunan, dalam arti, rumah itu diakui sebagai miliknya, tapi tidak bisa dia jual. Dengan bantuan material bangunan senilai Rp.15 juta dari Pemerintah, dan ditambah dengan usahanya sendiri, dan sumbangan dari orang-orang kampung, jadilah sebuah rumah sederhana, berdinding beton, beratap seng dan berlantai semen, meskipun belum selesai seratus persen.

Tanah bengkok itu termasuk bagian dari sarana MCK Umum. Siapa saja boleh mandi, mencuci atau buang air besar di situ. Biaya listrik untuk MCK itu mendapat subsidi dari Pemerintah, dan ditanggung oleh desa. Tapi setelah dibangun menjadi rumah tempat tinggalnya, dialah yang harus membayar tagihan listrik itu, dan dia mendapati rekening listrik di situ bukan lagi rekening bersubsidi, melainkan rekening pribadi atas nama seseorang. Ini pasti sudah ditukar, pikirnya. Dan terpaksa dia harus membayar rekening listrik tak bersubsidi, atas nama seseorang itu, yang adalah tetangga depan rumahnya. Sementara, para tetangganya terus saja memanfaatkan sarana MCK yang ada di sana, tanpa sungkan-sungkan, dan dia harus menanggung biaya listrik semua itu. Untuk itu, dia harus mengeluarkan uang minimal Rp. 50.000 untuk maksimal empat hari saja.

“Kalau kamu sudah tidak tahan lagi, coba kamu kabur saja, Kembali ke Jakarta, atau ke mana saja yang kamu mau, dan lihat reaksi perempuan itu,” kataku. “Anak-anakmu adalah keponakan dia, yang berarti mereka adalah anaknya juga. Kalau dia sudah kewalahan memberinya makan, mungkin dia akan mencari kamu, dan berbaik hati padamu.”

“Dia mana ada pikiran seperti itu. Dia nggak ada otaknya. Kalau saya tinggal, anak-anak pasti akan terlunta-lunta, dan dia pasti nggak peduli. Apalagi dia tidak tinggal di kampung ini.”

“Atau kamu bawa saja anak-anakmu kembali keJakarta.”

“Kalau ke Jakarta, berarti saya harus kembali ke kehidupan saya yang dulu. Itulah yang saya nggak mau. Saya tidak mau menghidupi anak-anak saya dengan uang yang nggak berkah.”

Perempuan itu, dan juga kakaknya, almarhumah istri lelaki itu memang tidak berpendidikan tinggi. Mungkin tidak terlalu salah jika dia menyebutnya tidak punya otak. Mereka bersekolah hanya sampai kelas tiga SD saja. Ketika belum mahir membaca, mereka keluar. Lalu merantau ke Jakarta ketika usia mereka beranjak gadis.

Di Jakarta, mereka bekerja apa saja, dan tentu bukan pekerjaan kantoran yang menghendaki ijazah, melainkan pekerjaan kasar seperti pembantu rumah tangga.

Dan pergaulan akhirnya menyeret mereka berdua memasuki kehidupan malam di bar. Di sanalah laki-laki itu bertemu mereka, yang kemudian, salah satu dari mereka dia jadikan istri.

“Mulanya si adik yang saya pacari, tapi karena si kakak lebih agresif, akhirnya dia yang saya nikahi.”

Dia lalu bercerita bagaimana si kakak, perempuan yang dia jadikan istri itu, sering bertandang ke tempat di mana dia tinggal, dan tanpa malu-malu memasak, mencucikan pakaiannya, dan mengerjakan pekerjaan rumah lain seperti menyapu lantai dan bersih-bersih. Hingga suatu ketika, dia menemukan dirinya hamil oleh laki-laki itu.

“Saya seperti mendapat bisikan bahwa saya harus bertanggung jawab,” kata laki-laki itu. Lalu, dia mengikuti perempuan itu pulang kampung untuk menikah di sana.

“Apakah waktu itu dia masih perawan,” tanyaku.

“Perawan apaan. Dia sudah punya anak satu. Itu yang namanya Irwan.”

Irwan adalah seorang anak remaja putus sekolah, pengangguran, yang ikut tinggal, mendompleng bersama, di rumahnya.

“Suaminya kabur entah ke mana ketika anak itu masih bayi. Sampai sekarang, kami tak tahu di mana rimbanya.”

“Jadi Irwan tak pernah tahu siapa bapaknya?”

“Ya, nggak. Yang dia tahu, sayalah bapaknya. Tapi saya sudah bilang padanya bahwa saya ini cuma bapak tiri.”

“Tapi meski cuma bapak tiri, sayalah yang merawat dia sejak masih bayi, termasuk memandikan dan menceboki dia.”

Selepas Isya, laki-laki itu pamit pulang. Saya beri dia uang Rp.50.000.

“Ini untuk tambahan belanja,” kataku.

Dia mengucapkan terima kasih yang dalam. Air mukanya menunjukkan ada perasaan sungkan di dalam hatinya menerima uang itu. Tapi dia harus menerimanya.

Dalam hati aku kasihan padanya. Penghasilan yang dia dapat dari mendandan parabola paling-paling cuma Rp.100.000 sehari, itupun kalau dapat. Kalau tidak dapat ya, zonk, nol. Tapi kalau musim ramai, dia bisa mengantongi Rp.300.000 – Rp.500.000 sehari.

Kelebihan penghasilan seperti itu biasanya dia tabung sebagai persiapan musim sepi, atau biaya tak terduga jika terjadi apa-apa pada dia dan anak-anaknya. Beberapa minggu yang lalu, anaknya yang masih SMP mengalami kecelakaan sepeda motor. Anak itu terjatuh dan menabrak beton pembatas jalan ketika sedang mengendarai sepeda motor milik salah seorang temannya. Untuk itu dia harus mengeluarkan uang Rp. 300 ribu sebagai biaya pengganti kerusakan. Belum lagi jika anak-anaknya sakit dan harus berobat.

Tapi musim ramai itu jarang sekali datang. Itulah sebabnya dia hampir setiap hari datang ke rumahku, dan aku memberinya Rp20.000 - Rp.50.000 sesuai kondisi keuanganku.

Tapi itupun masih jauh jari cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari, memberi makan kelima anak-anaknya, jajan, dan membayar biaya sekolah mereka.

Berdosakah aku jika aku menganggap sedekah itu adalah ladang pahala bagiku, dan jika aku merasa bersyukur ada orang seperti dia sehingga aku punya tempat untuk bersedekah.

 

  • Dia Lelaki Ilham Dari Sorga adalah judul lagu Ebiet G. Ade. Tidak ada kesamaan cerita antara cerpen ini dengan lagu tersebut. Saya menggunakan judul lagu itu sebagai judul cerpen ini karena saya suka semata.

Ikuti tulisan menarik Muhamad Hasim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB