
kriminalitas
Minggu, 15 Mei 2022 19:30 WIB
Menyoal Konsistensi Azas Praduga Tak Bersalah dalam Penegakan Hukum Kita
Penegakan hukum di negara kita menganut azas praduga tak bersalah (Presumption of Innocent), artinya seorang tersangka belum bisa dianggap bersalah kalau belum ditetapkan oleh Pengadilan melalui putusan hakim, dan begitu pula sebaliknya. Namun, akhir-akhir ini ada kecenderungan azas itu dilanggar dalam penegakan hukum di negara kita terinta ini
Dibaca : 352 kali
Seperti yang sudah sama-sama kita ketahui, penegakan hukum di negara kita menganut azas praduga tak bersalah. Ini berarti bahwa seorang tersangka belum bisa dianggap bersalah sebelum ditetapkan oleh pengadilan sebagai bersalah, melalui keputusan hakim. Namun beberapa tahun belakangan ini kita menyaksikan ada beberapa kasus pembunuhan yang dihentikan penyelidikannya, dan para tersangkanya dibebaskan, berkat campur tangan para petinggi negeri ini.
Kasus yang pertama adalah kasus yang melibatkan seorang pembunuh begal asal Madura yang Bernama Irfan (19). Irfan diserang begal ketika sedang liburan di Bekasi. Namun Irfan berhasil membalikkan serangan dan membunuh begal yang berusaha membunuhnya. Irfan sempat ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan, namun status tersebut tak lama kemudian dicabut, dan dia kemudian malah diberi penghargaan oleh pihak kepolisian.
Keputusan tersebut diambil pihak pihak kepolisian setelah adanya campur tangan dari Machfud, MD yang sama-sama orang Madura dengan tersangka. Dalam keterangannya, Machfud mengatakan bahwa dia sebelumnya telah berkonsultasi dengan Presiden Jokowi tentang kasus ini. Setelah mendapat penjelasan dari Machfud, akhirnya Jokowi setuju Irfan dibebaskan dengan alasan membela diri.
"Ada peristiwa orang bela diri tiba-tiba jadi tersangka tanpa proses pemeriksaan yang jelas, ini polisi tidak benar," cerita Mahfud saat mengungkapkan peristiwa Irfan pada Jokowi, seperti yang dikutip salah satu media sosial.
Yang kedua adalah kasus yang menimpa Murtede alias Amaq Sinta (34) warga Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat yang ditetapkan sebagai tersangka setelah membunuh dua orang begal yang menghadangnya. Semula, Murtede ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, namun kemudian dibebaskan setelah diprotes oleh massa masyarakat.
Tepatkah pembebasan kedua tersangka tersebut, dan mungkin ada beberapa tersangka lain, mengingat penegakan hukum kita menganut azas praduga tak bersalah? Apalagi pembebasan tersebut dilakukan karena adanya campur tangan pejabat tinggi, dan tekanan dari masyarakat, sedangkan, di tempat lain, ada pula tersangka pembunuh begal yang tidak dibebaskan.
Seperti yang dilansir oleh Tempo.co pada tanggal 22 April 2022, ada beberapa pembunuh begal yang sudah ditetapkan sebagai tersangka tetapi tidak dibebaskan (atau tidak terdengar ada berita tentang pembebasan mereka). Mereka antara lain adalah seorang pemuda yang bernama Dedi Irwanto yang membunuh seseorang yang hendak membegal dirinya di Jalan Sei Beras, Medan, 21 Desember 2021, dan seorang remaja Bernama ZA (19) di Malang yang telah membunuh Misnan (35) seseorang yang, konon, juga berusaha membegal dirinya, awal September 2019.
Di sini, tentu saja, saya tidak bermaksud membela begal. Begal adalah penjahat yang tentu saja tidak perlu dibela, apalagi, dalam melakukan aksinya, mereka tak segan-segan pula membunuh para korbannya.
Di sini saya hanya ingin membela kepentingan hukum di balik kasus pembebasan tersangka pembunuh begal yang akhir-akhir ini viral melalui media sosial. Bukankah penegakan hukum kita menganut azas praduga tak bersalah? Dalam azas tersebut tersebut seorang tersangka tidak bisa ditetapkan sebagai bersalah kalau belum diputuskan bersalah oleh hakim melalui proses pengadilan. Begitu juga sebaliknya, seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi tidak bisa langsung ditetapkan sebagai tidak bersalah, dan dibebaskan, kalau tidak melalui keputusan hakim dalam proses pengadilan.
Pembebasan para tersangka pembunuh begal yang tidak melaui proses pengadilan seperti yang terjadi belakangan ini sungguh telah mencoreng citra penegakan hukum di negara kita, dan merusak wibawa para penegak hukum, terutama polisi, apalagi hal ini terjadi karena adanya intervensi dari para petinggi negara ini.
Sekali lagi, di sini saya tak hendak membela para begal. Silakan para pembunuh begal itu dibebaskan kalau memang terbukti mereka hanya membela diri, dan orang yang mereka bunuh itu adalah benar-benar begal, tapi pembebabasan itu harus dilakukan melalui keputusan hakim dalam pengadilan. Namun, jika orang yang mereka bunuh itu bukanlah begal, dan dalam hal ini mereka hanya mengarang cerita untuk membela diri, maka ini adalah sebuah preseden buruk bagi dunia pengadilan di Indonesia. Bukannya tidak mungkin, di masa yang akan datang akan ada banyak pembunuh yang dibebaskan dengan alasan yang mereka bunuh itu adalah begal, dan, dalam hal itu, mereka cuma membela diri.
Ikuti tulisan menarik Muhamad Hasim lainnya di sini.
Suka dengan apa yang Anda baca?
Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.
22 jam lalu

Pendidikan Islam Sangat Berpengaruh Terhadap Karakter Siswa
Dibaca : 134 kali
19 jam lalu

Trias Politika, antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Tuhan
Dibaca : 181 kali
22 jam lalu

Dualisme Penerbitan Sertifikasi Wartawan antara Dewan Pers dengan LSP Pres Indonesia
Dibaca : 141 kali
1 hari lalu

Pidato Kebudayaan Profesor Salim Said pada Hari Sastra Indonesia 2022
Dibaca : 230 kali
3 hari lalu

Novela Seno Gumira Ajidarma: Suara Hati Seorang Pelacur
Dibaca : 2.280 kali
4 hari lalu

Apresiasi juga Dengki Iringi Kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia
Dibaca : 1.054 kali
5 hari lalu

Pendidikan Jarak Jauh Ketlisut dan Raib dari Draft RUU Sisdiknas?
Dibaca : 772 kali
2 hari lalu

Penguatan Profil Pelajar Pancasila melalui Projek dalam Kurikulum Merdeka
Dibaca : 557 kali
3 hari lalu
