x

Ilustrasi mencari pemimpin di TTS

Iklan

Nur Hasanah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Mei 2020

Selasa, 11 Januari 2022 06:00 WIB

Populisme Sayap Kanan dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Kebangkitan populisme merupakan fenomena politik kontemporer di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Saat ini populisme di Indonesia menjadi hal yang sering dilakukan untuk mewujudkan kepentingan, seperti adanya pemipin populis dan gerakan populisme. Populisme bukanlah tradisi baru dalam praktik politik modern. Populisme di Indonesia bangkit karena adanya ketidakpercayaan publik kepada negara dan partai politik, serta tumpulnya penegakan hukum .

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Populisme sayap kanan adalah ideologi politik yang menolak konsensus politik saat ini dan sering menggabungkan etnosentrisme, dan anti-elitisme. Sebenarnya untuk penjelasan definisi ‘populisme’ sendiri masih sangat beragam. Definisi populisme yang dikemukakan oleh para ilmuwan berberdasarkan apa yang terjadi secara empiris yang dianalisisnya masing-masing namun hal ini dianggap masih belum bisa menjawab secara eksplisit apa definisi sebenarnya dari populisme dan justru menjadi tantangan tersendiri untuk memahami populisme. Gardon dan Bonikosski menyebutkan definisi populisme, yaitu populisme sebagai gagasan, populisme sebagai discursive style dan populisme sebagai bentuk mobilisasi politik.

Populisme terfragmentasi dalam dua kutub/dua kubu. Pertama, kalangan yang percaya bahwa populisme sebagai ideologi yang bekerja menggerakkan penolakan masyarakat kelas bawah terhadap institusi tradisi tradisional (negara). Kedua, yang menyakini bahwa populisme sebagai strategi elektoral. Lazimnya digunakan oleh politisi yang merepresentasikan diri sebagai agregator masyarakat banyak untuk menghancurkan elit-elit berkuasa. Populisme juga dikatakan fleksibel karena mampu menempel dalam setiap ideologi seperti sosialisme, nasionalisme, rasisme, anti imperialisme dan neoliberalisme.

Kebangkitan populisme merupakan fenomena politik kontemporer baik yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Saat ini populisme di Indonesia menjadi hal yang sering diterapkan/dilakukan untuk mewujudkan suatu kepentingan, seperti adanya pemipin populis dan gerakan/kelompok populisme. Populisme bukanlah tradisi baru dalam praktik politik modern. Populisme di Indonesia bangkit dikarenakan adanya ketidakpercayaan publik kepada negara dan partai politik, serta lembahnya penegakan hukum (tumpul).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam memahami gerakan populisme setidaknya terdapat tiga pendekatan yang merujuk pada perkembangan gerakan populis di dunia, yaitu anti establishment, autoritarianism, dan nativisme. Ketiga pandangan tersebut menjadi ciri khas gerakan populis untuk menuntaskan cirta-cita gerakan populisnya. Perlawananan terhadap elite negara menjadi pokok usaha dari gerakan populis untuk mengumpulkan massa yang memiliki latar belakang yang cenderung sama.

Kemungkinan kelompok populis sayap kanan akan sangat gencar untuk mengkritik dan berusaha membangun opini bahwa pemerintah telah gagal dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Keberadaan gerakan populis sayap kanan di Indonesia tampaknya memang semakin membesar dalam kurun waktu ke belakang ini akibat isu yang digunakan oleh kelompok populis tersebut merupakan isu-isu penindasan dan kebijakan yang tidak pro rakyat, ditambah dengan represifitas aparat yang semakin jelas belakangan ini. Apabila gerakan populis ini tidak dikendalikan secara baik dan terjadi disintegrasi dalam masyarakat maka gerakan gerakan tersebut bisa saja menjadi alat yang menjauhkan demokrasi pada esensi aslinya. Dan pastinya juga berpengaruh terhadap masa depan politik di Indonesia.

Salah satu contoh penerapan strategi politik populisme di Indonesia yakni menggunakan narasi pembelaan terhadap agama yang melahirkan gerakan besar pada tahun 2016 yang dikenal dengan kelompok 212. Fenomena gerakan populis berdasarkan narasi agama merupakan narasi yang biasa terjadi di negara-negara mayoritas muslim di Dunia. Kecenderungan ini dikarenakan mudahnya untuk melakukan mobilisasi terhadap suara mayoritas (kaum Muslim) untuk memenangkan partai populis. Dewasa ini agama seakan-akan menjadi alat atau simbol perjuangan perebutan kekuasaan. Terbukti bahwa agama menjadi salah satu sumber penyebab kemunculan populisme yang begitu mempengaruhi konfigurasi politik dan perilaku politik elit masyarakat.

Kemunculan populisme juga disebabkan karena adanya krisis representasi yang disebabkan oleh situasi politik sebelumnya di masa orde baru. Bahwa adanya berbagai kelompok massa yang terpinggirkan yang teralienasi secara politik terus berupaya mencari saluran atau alternatif politik. Sehingga memunculkan berbagai organisasi sosial baik yang memiliki latar belakang keagamaan atau suku yang terkooptasi secara sosial dan terfragmentasi secara luas sehingga para agen kekuasaan tidak dapat melakukan kontrol secara berkelanjutan terhadap organisasi-organisasi tersebut.

Kemudian apakah populisme sayap kanan akan mendorong masa depan demokrasi Indonesia yang cerah atau sebaliknya? Masa depan demokrasi tidak mungkin tumbuh di bawah cengkeraman populisme, terlebih populisme kanan yang anti-pluralis, anti minoritas dan gemar menabrak prosedur atau mekanisme maupun prinsip-prinsip demokrasi. Dalam ajang pemilihan umum di Indonesia, populisme sayap kanan kerap kali mengeksploitasi sentimen-sentimen ras dan agam, naisonalisme yang sempit, ultra nasionalisme, anti minoritas yang sudah menjadi seperti kendaraan utama dalam merebut dukungan publik. Terkadang populisme menjadi sebuah ancaman bagi demokrasi ketika menjadi alat propaganda politik yang menyemburkan narasi-narasi tentang luka rakyat dan perlawanan terhadap kekuasaan oligarkis yang korup.

Pemimpin populis yang terus bermunculan nyatanya tidak membuat keadaan negara Indonesia menjadi lebih baik malah semakin banyak yang mengekploitasi aspirasi rakyat. Cenderung memihak pada kaum mayoritas dengan tidak memperhatikan kaum minoritas. Hal ini meencerminkan mulai lunturnya esensi demokrasi di negara ini. Seharusnya populisme sebagai suatu gerakan hendaknya dapat memberi manfaat yang positif dan mendorong terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.

Maka solusi yang dapat penulis tawarkan ialah memperbaiki makna populisme sendiri (dalam artian penerapannya), dengan menempatkan pada konteks diskursus demokrasi antagonistik. Perlawanan yang dimaksud adalah perlawanan terhadap oligarki dan perjuangan mewujudkan keadilan sosial menjadi perjuangan yang lahir dari kesadaran warga sendiri, bukan atas inisiatif dan kemauan seorang aktor populis. Dan melakukan penguatan terhadap demokrasi dengan memastikan bahwa prinsip-prinsip demkorasi betul-betul dijalankan dengan baik. Sehingga terwujudnya masa depan demokrasi yang di cita-citakan oleh Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Nur Hasanah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler