x

Iklan

Farrah Maulida Salsabila

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 Juli 2021

Minggu, 30 Januari 2022 08:37 WIB

Indonesia dan Kesadaran Tindak Kekerasan Seksual

Sejumlah perguruan tinggi di Indonesia memiliki riwayat mengenai tindak kekerasan seksual. Kebanyakan korbannya adalah mahasiswa dan pelakunya dosen. Ironisnya, kebanyakan kampus berusaha melindungi pelaku. Mereka masih dibiarkan berkeliaran bebas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Farrah Maulida Salsabila, mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2018. 

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi menuai reaksi yang berbeda-beda dari beragam kalangan. Resmi diberlakukan pada 22 November 2021, Permendikbud Ristek PPKS memiliki empat tujuan utama, yaitu pemenuhan pendidikan tinggi yang aman, memberi kepastian hukum, mengedukasi isu kekerasan seksual, dan penguatan kolaborasi para stake-holder pendidikan.

Tentunya gebrakan baru yang dilakukan Mendikbud Ristek ini menuai respons positif dengan adanya peningkatan laporan mengenai tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi. Mayoritas korban tindak kekerasan seksual adalah mahasiswa dan tujuan utama Permendikbud Ristek PPKS ini adalah mewujudkan tindak preventif terhadap bertambahnya kasus kekerasan seksual di kampus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Permendikbud Ristek PPKS ini tidak semata-mata lahir tanpa penyebab. Ada riset yang dilakukan Kemendikbud Ristek di lingkungan 79 perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 2020, dan hasilnya sebanyak 77% dosen mengakui terjadinya tindak kekerasan seksual di kampus masing-masing. Berdasarkan data yang melebihi 50%, Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menarik konklusi tindak kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi sudah mencapai tingkatan gawat-darurat. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki kesadaran yang rendah mengenai tindak kekerasan seksual dan pengaruhnya terhadap korban.

Dijelaskan pada naskah Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Komnas Perempuan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan menghina, menyerang, dan/atau tindak lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi secara paksa yang bertentangan dengan kehendak seseorang. Hal ini tidak lepas dari berbagai berita mengenai tindak pelecehan seksual di wilayah perguruan tinggi. Sejumlah perguruan tinggi di Indonesia memiliki riwayat mengenai tindak kekerasan seksual, utamanya adalah pelecehan seksual terhadap mahasiswa. Ironisnya, tidak jarang ditemukan kasus ini dilakukan oleh dosen atau guru besar di sebuah perguruan tinggi yang masih dibiarkan berkeliaran bebas.

Masih hangat dalam ingatan kita mengenai beberapa kasus yang sempat viral di  kalangan masyarakat, seperti tindak kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan universitas-universitas lainnya yang berakhir dengan pengungkapan secara sepihak. Ironisnya, ada kecenderungan pihak kampus melindungi terduga pelaku kekerasan seksual.

Melalui berita dari berbagai sumber, baik daring maupun luring, pemberitaan tindak kekerasan seksual santer diperbincangan. Tentunya masyarakat tidak akan lupa akan kronologi tindak pelecehan seksual pada mahasiswa Universitas Udayana yang digaungkan melalui akun Twitter anonim @tubirfess pada tahun 2020 dan memperoleh beragam tanggapan─mayoritas pendapat warganet menyatakan kontra terhadap kasus ini. Baru-baru ini, kasus pelecehan seksual yang dilaporkan melalui akun Twitter @IbnuTasrip dengan terduga salah satu guru besar Universitas Indonesia juga menadi sorotan.

Berdasarkan riset Kemendikbud Ristek pada tahun 2020, 63% kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi tidak pernah dilaporkan. Hal ini tentunya karena ada dampak tekanan internal maupun eksternal bagi korban. Tekanan internal biasanya berasal dari kondisi psikis korban yang mengalami syok, serangan kepanikan, maupun trauma sehingga korban tidak berani untuk menceritakan kronologis tindakan kekerasan seksual yang dialaminya. Sedangkan untuk tekanan eksternal tentunya berasal dari stigma masyarakat yang masih memiliki kesadaran akan tindak kekerasan seksual yang rendah dan posisi korban yang umumnya mahasiswa dinilai minor. Korban tidak berani melaporkan karena pelaku tindak kekerasan seksual memiliki kewenangan dan posisi tinggi di perguruan tinggi tersebut sehingga yang dirasakan korban adalah rasa khawatir.

Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah kesadaran masyarakat terhadap tindak kekerasan seksual memang amat rendah?

Hal ini tidak lepas dari minimnya edukasi mengenai tindak kekerasan seksual di Indonesia. Masyarakat Indonesia masih menganggap kekerasan seksual dalam bentuk apapun adalah suatu hal yang lumrah terjadi─padahal realitanya, tindak kekerasan seksual ada sebagai bentuk pelecehan terhadap korban yang diposisikan sebagai objek pemuas nafsu belaka.

Kehadiran Permendikbud Ristek PPKS ini adalah untuk mempertegas adanya pelindungan korban terhadap tindak kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. KUHP dan UU yang ada akan berfungsi dalam proses penyidikan dan penuntutan di pengadilan. Dengan adanya pemberlakuan peraturan ini, laporan-laporan mengenai dugaan kekerasan seksual dapat diterima dan diadili dengan sebaik mungkin.

Adanya penentangan dari berbagai pihak terhadap Permendikbud Ristek PPKS ini tentu mengejutkan. Beberapa penentangan muncul pada penggunaan frasa kunci: persetujuan korban. Adanya bias makna dalam penggunaan frasa ini menjadikan maksud yang hendak disampaikan menjadi ambigu. Beberapa pihak menganggap bahwa pernyataan tersebut mengisyaratkan adanya potensi legalisasi seks bebas dalam lingkungan perguruan tinggi─seperti adanya seruan dari BEM SI (perkumpulan mahasiswa BEM seluruh Indonesia) untuk merevisi isi Permendikbud Ristek PPKS sehingga tidak lagi menimbulkan kesalahpahaman antar pihak.

Permendikbud Ristek PPKS ini menjadi lentera baru dalam gerilya kinerja menteri kabinet Jokowi yang patut diapresiasi. Harapan yang muncul dengan pemberlakuan peraturan ini adalah menurunnya angka kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi, hukuman yang setimpal bagi pelaku sehingga menimbulkan efek jera, dan tentunya menjamin norma pendidikan pada perguruan tinggi yang sesuai dengan peribahasa Jawa, yaitu digugu lan ditiru. Sosok pendidik seharusnya dapat menjadi teladan agar bisa dicontoh oleh peserta didiknya.

Ikuti tulisan menarik Farrah Maulida Salsabila lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB