x

Semangat selalu

Iklan

Bilqis Sigra Milir

Penulis
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Jumat, 25 Maret 2022 09:57 WIB

Belajar Bahasa Betawi Pinggiran

Krisis identitas? Sepertinya itu yang kurasakan selama ini. Menjadi seorang keturunan banyak suku bangsa cukup membanggakan memang, tetapi tak mengenali diri sendiri itu pasti cukup buruk. Iya kan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gumpalan awan-awan putih bergerak perlahan. Mataku menikmati suasana tengah hari yang terik ini dengan senyum keceriaan. Aku menyukai berbagai elemen benda-benda langit terlebih lagi saat malam telah tiba. Arah pandangku selalu mengarah ke atas tanpa diminta, letak di mana langit menaungiku yang juga berpijak pada bumi. Senyum masih mengembang di area wajahku yang bulat. Di seberang gazebo ini, kulihat adikku tengah memainkan gelembung buatannya sendiri yang ia buat dari sabun cuci piring. Aku terkekeh melihatnya. Adikku selalu saja begitu, mencari kesenangannya sendiri tanpa perlu merepotkan orang lain termasuk aku sebagai kakaknya.

 “Rak! Sini dong di gazebo. Kakak mau main gelembung juga,” ucapku setengah teriak. Ia menatapku dengan cengirannya yang menggemaskan. Tak lama ia menghampiriku dan duduk tepat di sebelahku. Tangannya ia ulurkan dan sontak saja aku segera mengambil air gelembungan di mangkuk yang ia pegang dengan sedotan putih yang mengambang di atasnya.

 “Kok kakak tumben sih nggak bawa bantal ke sini? Lagi banyak angin loh kak,” ucap Raka adikku sambil memperhatikanku yang sedang meniupkan air gelembungan. Aku letakkan mangkuk di dekat Raka duduk dan tersenyum untuk menanggapinya. “Nanti deh, abis main gelembung kakak sekalian mau belajar Bahasa Korea sampe sore." Pikiranku mengelana sejenak. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Dari kemaren, perasaan susah bener baca huruf-hurufnya. Untung kakak udah niat belajar, jadinya ya lumayan bersemangat,” keluhku yang ditanggapinya dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Oh iya, aku lupa mengenalkan diri. Namaku Kirana Ayu Lestari. Seorang mahasiswi yang berkuliah di universitas negeri yang ada di Jakarta. Jarak dari rumah ke kampus memakan waktu cukup lama. Karena aku tinggal di kota Tangerang dan kampusku berada di sebelah timur Jakarta. Aku keturunan Jawa, Sunda, dan Betawi. Ayahku seorang Jawa tulen dan Ibuku seorang wanita campuran Sunda dan Betawi. Darah ayahku lebih dominan mengalir dalam diriku, jadi tak heran jika wajahku memang terlihat seperti keturunan Jawa lainnya. Etts, jangan sekali-kali mengajakku berbicara dengan bahasa Jawa. Aku sama sekali tidak bisa, hahaha. Entahlah, baik itu Jawa, Sunda, maupun Betawi. Tidak ada dari ketiganya yang begitu kukuasai. Oleh sebab itu, aku terkadang merasakan krisis identitas dan cukup membuatku kepikiran atas kemampuan bahasaku yang kurang.

Bahasa sehari-hari yang aku gunakan ialah bahasa pergaulan pada umumnya. Tidak formal juga tidak begitu kedaerahan dan kental dengan bahasa suatu suku. Aku sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa meskipun mampu mengerti percakapan Jawa jika ada yang berbicara dengan bahasa itu. Kemampuan bahasa Betawi ku juga tidak terlalu mahir. Banyak kata dalam bahasa Betawi yang tidak aku ketahui artinya. Apalagi bahasa Sunda yang memang tak begitu kumengerti selain kalimat-kalimat sapaan pada umumnya seperti permisi, terima kasih, dll.  

 “Kak, Kak Kiran. Ih kok kakak bengong sih? Udah deh aku masuk aja. Mau tidur siang” aku tersentak saat suara keras adikku terdengar olehku. Raka berlari ke dalam rumah dan menutup pintu rumah kembali. Gelembungan yang ia buat malah ia tinggalkan. Aku tersenyum dan memandang mangkuk air gelembung buatannya itu. “jadi kepikiran bahasa lagi. Kamu benar-benar gak punya bakat berbahasa ya Ran,” gumamku sendiri. 

 Kupinggirkan mangkok gelembung milik Raka ke dekat tiang penyangga gazebo ini. Aku berjalan ke arah jemuran bantal tak jauh dari gazebo. Satu bantal berwarna merah muda bergaris putih aku ambil dan kutepuk-tepuk permukaannya dan membawanya ke gazebo. Bantal itu kuletakkan dekat jalan masuk gazebo agar aku bisa belajar sambil menikmati langit cerah hari ini. 

“Belajar bahasa Korea tidak akan cukup jika hanya mengandalkan modul saja. Praktek merupakan faktor penting dalam menguasai bahasa Korea lebih cepat dan lebih efektif” aku membaca keras buku “Belajar Bahasa Korea” yang ada di atas bantal. 

Setelah membaca kalimat awal itu, pikiranku menjadi terpaku pada diriku sendiri yang belum menguasai bahasa daerah juga bahasa asing lainnya. Jika mengingatnya kembali, jarang sekali ayahku berbicara bahasa Jawa di rumah. Kami lebih sering bercakap-cakap dengan bahasa sehari-hari yang ada di lingkungan kami. Tempat tinggalku lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia yang juga campuran bahasa Betawi meskipun tidak begitu kental. Sulit menjelaskannya. Singkatnya, daerah Tangerang tempatku tinggal menggunakan bahasa Indonesia informal dengan logat yang mendekati Betawi namun tidak se-Betawi itu. 

Pikiranku jadi berkelana ke beberapa waktu lalu. Waktu itu aku melihat pengumuman tentang lomba mendongeng anak-anak yang dapat diikuti oleh kalangan mahasiswa juga umum. Aku senang ketika membacanya dan niatku begitu besar untuk turut serta pada lomba mendongeng itu. Tak butuh waktu lama bagiku untuk segera mengisi formulir daring yang memang disediakan. Beberapa kolom yang harus diisi sudah berhasil aku isi.

Retinaku berhenti ketika melihat satu kolom terakhir yang wajib diisi oleh calon peserta. Di sana tertulis bahasa daerah yang dikuasai oleh calon peserta. Aku terdiam sejenak dan memutuskan menutup formulir daring itu. Saat itu aku tertawa kencang. Tak ada satu pun bahasa daerah yang aku kuasai dengan benar. Hingga kini, aku sungguh merasakan krisis bahasa lantaran tak mampu berbahasa daerah sama sekali. 

Buku yang kuletakkan di atas bantal segera kututup. Tiba-tiba saja mood-ku berubah menjadi buruk. Jika saja aku lahir dan tinggal di salah satu kampung halaman orangtua-ku pasti salah satu bahasa daerah akan mampu kukuasai. Meski begitu, bukan berarti aku membenci bahasa yang telah aku kuasai sejak aku kecil ini. Tidak sama sekali. Tapi untuk beberapa hal memang aku menginginkan kemampuan berbahasa daerah. Entah itu bahasa Jawa, Sunda, Betawi, Batak, atau bahasa  daerah lainnya. 

“Kak! Mau soto ayam nggak? Tadi Ibu beli di Mpok Jumi. Kalo mau laksa juga ada, tapi jangan dihabisin. Ayah kan suka,” teriak Ibu dari jendela dapur yang mengarah tepat ke arah gazebo. 

 “Siap bu!” sahutku sekenanya. Dengan langkah terburu-buru. Aku masuk ke dalam rumah lewat pintu samping dan menghampiri Ibu yang tengah menata soto juga laksa ke dalam mangkuk besar. 

 “Nih kamu bawa ke meja makan. Jangan sampe beleber kemana-mana,” ucap Ibu sambil menyodorkan dua mangkok besar di depanku. Aku menerimanya dan membawanya ke ruang makan kami. Aku meletakkan kedua mangkok besar ini dengan hati-hati di atas meja makan agar tidak bertumpahan kemana-mana. Bisa-bisa Ibu akan memarahiku dan mengungkit-ungkitnya setiap hari, hahaha.

Aku kembali menghampiri Ibu yang tengah menggoreng kerupuk opak dalam diam. “Ibu bisa bahasa Sunda nggak sih bu?” tanyaku iseng. Meskipun aku sudah tahu jawabannya, aku menanyakannya lagi.

“Nanya mulu si lu, nggak bisa Ibu. Kan Ibu besar di Jakarta, ke Bandung pun bisa hitungan jari. Jadi ya Ibu nggak bisa ngomong bahasa Sunda kak," Ibu menjawabnya sambil mengangkat kerupuk yang sudah mengembang lebar.

“Ajarin Kirana dong bu. Jadi kepengen bisa bahasa Sunda bu. Atau Betawi juga boleh bu,” pintaku iseng. Ibu menjitak kepalaku. “Udahlah kak, bahasa yang kita pake juga udah bagus. Yang penting kalo kamu mau ngomong itu yang denger pada ngerti apa yang diomongin,” sergah Ibu cepat. Aku terkikik di tempat. 

 “Gini-gini Ibu bisa bahasa Betawi loh. Betawi pinggiran,” sambung Ibu lagi. Tawaku semakin menggelegar mendengarnya. 

Betawi pinggiran? Hmm, bisa juga. Benar juga yang Ibu katakan. Yang terpenting orang yang diajak berbicara dengan kita bisa mengerti dan paham apa yang kita bicarakan. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada Ibu. “Terima kasih bu. Aku mau makan dulu dah kalo begitu” tukasku cepat dan meninggalkan Ibu yang berdeham.

Soto Betawi dan laksa yang sedang aku makan benar-benar begitu menggugah. Aku memakannya dengan lahap seperti biasanya. Meskipun begitu, pikiranku lagi-lagi menyuruhku untuk tidak lagi berandai-andai jika aku bisa berbahasa daerah a, b, dan lain-lain. Aku bisa belajar jika aku mau, dan aku bisa menguasainya jika aku Betawi belajar dengan sungguh-sungguh. Setidaknya aku bisa bahasa Betawi, meskipun hanya Betawi Pinggiran. Hahaha.

Ikuti tulisan menarik Bilqis Sigra Milir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

6 jam lalu

Terpopuler