x

Iklan

Bayu W |kuatbaca

Penulis Manis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Maret 2022

Minggu, 1 Mei 2022 12:43 WIB

Patriotisme Tanpa Tapal Batas

“Ratusan Multatuli tak akan dapat menggambarkan penderitaan ribuan Saija dan Adinda dalam perjalanan ini…”. Begitu tulis Princen mengenang pengorbanan yang dilakukan oleh keluarga Divisi Siliwangi. Mereka sempurna melakukan hijrah melintasi tapal batas. Dan mereka kembali untuk terus mempertahankan nasib kemerdekaan yang sudah diyakininya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Awalnya prajurit-prajurit Siliwangi sudah siap pasang badan untuk mempertahankan kampung halaman yang merdeka dengan dikumandangkannya Proklamasi 17 Agustus 1945. Kalaupun mesti jatuh berkalang tanah, anak-anak Siliwangi siap menempuh apapun resikonya. Divisi Siliwangi telah secara efektif melakukan gerilya di daerah Jawa Barat pasca agresi militer Belanda pertama. Tetapi mereka diharuskan pergi. Sebab, melalui Persetujuan Renville atas seruan Dewan Keamanan PBB dan bantuan Komisi Jasa-jasa Baik Tiga Negara (KTN), dihasilkan keputusan bahwasannya semua personel Siliwangi harus mengosongkan kampung halamannya. Nantinya, daerah-daerah yang kosong setelah ditinggalkan itu akan menjadi daerah pendudukan Belanda.

"Seperti mendengar petir di siang bolong", kata Letkol A.E. Kawilarang saat Mayor Salim datang membawa perintah dari Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta. Bukan saja seluruh kekuatan Brigade II Soerjakantjana pimpinan Kawilarang yang harus pindah, tetapi juga keseluruhan personel dari Divisi Siliwangi harus pindah semuanya ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Awalnya prajurit-prajurit Siliwangi enggan untuk meninggalkan kampung halamannya. Tetapi mereka akhirnya mau menerima seruan pindah yang diganti istilahnya menjadi "hijrah" oleh Panglima Besar Sudirman. Hijrah, seperti hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.

Bersama dengan segenap keluarganya, seluruh pasukan Siliwangi kemudian berangkat meninggalkan Jawa barat. Mereka bergerak secara bergelombang hingga melewati tapal batas dengan menggunakan berbagai angkutan yang telah disediakan Belanda. Ada yang naik truk, kereta api, juga kapal laut. Seketika itu juga keluarga Siliwangi membuktikan makna sejati dari patriotisme yang tanpa reserve, yang berarti sikap berani, pantang menyerah, dan rela berkorban demi bangsa dan negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Walau gara-gara Renville wilayah Jawa barat jadi tidak termasuk bagian yang merdeka bersama Republik, Siliwangi tidak berontak kepada pimpinan. Mereka bersedia turun gunung, keluar dari basis-basis gerilya, lalu hijrah ke Jawa tengah dan Yogya. Mereka berangkat sesudah Persetujuan Renville secara resmi ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 17 dan 19 Januari 1948. Meski prosesi hijrah selesai di akhir bulan Februari, dimana tercatat tak kurang dari 29.000 orang dipindahkan, pada bulan-bulan berikutnya masih ada yang menyusul seperti para perempuan yang kemudian memutuskan mencari suaminya ke kantong-kantong Republik.

Ketika hijrah berlangsung, banyak yang terkejut dengan kedisiplinan tinggi yang diperlihatkan oleh anak-anak Siliwangi, termasuk juga Belanda. Meski banyak yang berpakaian compang-camping dan tidak beralas kaki, tetapi rombongan Siliwangi mampu berbaris dan bergerak sangat teratur. Sikapnya menunjukkan bahwa jiwa-jiwa Siliwangi adalah memang reguler jiwa tentara, jauh dari gambaran ekstrimis-ekstrimis sebagaimana yang dipropagandakan Belanda. Yang bergerak bersama Siliwangi bukan saja pemuda-pemudanya yang menjadi tentara, tetapi juga diikuti oleh ibu-ibu, anak-anak dan orang-orang tua mereka. Semuanya berjalan tertib bahkan ketika sebagian senjata harus dipisahkan ke dalam kendaraan yang berbeda sekalipun.

Bagi Siliwangi merdeka adalah tetap bersama Republik. Bahkan anak-anak Siliwangi tidak menghiraukan sama sekali adanya kelompok orang-orang sedaerahnya, yang melalui Suria Kartalegawa, sudah memproklamasikan Negara Pasundan di alun-alun Bandung sejak 4 Mei 1947. Siliwangi tidak mau ikut merdekanya Negara Pasundan, dan tetap setia dengan Republik walaupun harus hijrah.

Sulit untuk membayangkan bagaimana kecamuk perasaan dari prajurit-prajurit Siliwangi beserta keluarganya. Demi cita-cita merdeka mereka harus memulai tempat tinggal baru di luar daerah adatnya sendiri. Sesampainya di Yogya, prajurit-prajurit Siliwangi harus menerima kekecewaan lagi akibat dampak dari kebijakan Re-Ra (Rekontruksi dan Rasionalisasi) yang sudah dijalankan sejak 20 Januari 1948. Program Re-Ra menyebabkan berkurangnya jumlah personel akibat diadakan seleksi. Dari awalnya 5 brigade menjadi 3 brigade, dan personel Siliwangi pun berkurang hingga tinggal berkisar 10.000 personel. Karena tidak lagi memiliki teritori, ketiga brigade Divisi Siliwangi ini kemudian dimasukan ke dalam Kesatuan Reserve Umum (KRU) dan hanya bisa digerakkan oleh perintah Panglima Besar.

Melewati pertengahan bulan September, terbit perintah kepada batalyon-batalyon yang ditunjuk dari ketiga brigade Siliwangi agar selekasnya berkemas. Kali ini mereka harus meninggalkan keluarga dan pergi menumpas pemberontakan PKI, yang pada 18 September 1948 memproklamirkan diri sebagai “Sovyet Republik Indonesia” di Madiun. Dalam upaya penumpasan ini, Panglima Besar mengadakan rapat operasi militer. Panglima Besar Jenderal Soedirman lewat Perintah Harian melakukan konsolidasi militer dengan mengangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer daerah Surakarta-Madiun-Pati-Semarang, dan Kolonel Sungkono sebagai Gubernur Militer Jawa Timur”. Operasi utama yang dituju adalah merebut kembali Madiun.

Oleh Gubernur Militer Gatot Subroto personel Siliwangi diberi batas waktu selama 14 hari untuk merebut kembali kota Madiun. Namun, baru 8 hari, tugas itu sudah berhasil diselesaikan dan mengumumkannya melalui Radio Madiun. Habis menyelesaikan Madiun, pasukan Siliwangi lantas diperintahkan lagi untuk bergerak bersama satuan-satuan lain guna melakukan pengejaraan dan pembersihan selama dua bulan ke berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Baru saja selesai memukul PKI, prajurit-prajurit Siliwangi ternyata harus secepatnya bergerak melaksanakan perintah agar kembali ke Jawa Barat, sebagaimana yang sudah disiapkan apabila Belanda betul-betul melakukan agresi merebut Yogya. Pada 19 Desember 1948, pagi sekitar jam 08.00, Panglima Sudirman mengeluarkan perintah kilat melalui RRI, "Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda".

Maksud dari perintah tersebut antara lain agar pasukan-pasukan yang dulu terpaksa hijrah akibat Persetujuan Renville supaya bergerak kembali ke kedudukan-kedudukannya semula, yakni dengan jalan menyusup melalui kampung-kampung tanpa menggunakan kendaraan. Letkol Daan Yahya langsung menelpon staf Divisi Siliwangi, "kita pulang". Maka semua anak-anak Siliwangi pun bergegas untuk wingate ke kampung halamannya.

Di dalam hati mereka bercampur aduk rasa waswas dan sukacita karena akan pulang ke kampung halaman. Dengan berjalan kaki Pasukan Siliwangi berikut sanak keluarganya keluar dari Yogya melalui Godean. Letkol Daan Yahya, Kepala Staf Divisi Siliwangi, memimpin long march menggantikan Kolonel A.H. Nasution yang telah diangkat menjadi Panglima Tentara dan Teritorium Jawa. Di bawah musim hujan bulan Desember, prajurit-prajurit Siliwangi bergerak bersama anak-anak, para perempuan dan orang-orang tua melintasi medan teramat panjang. Mereka berjalan kaki memasuki hutan, menyusuri perbukitan, turun menyebrangi sungai, menelusup keluar masuk daerah-daerah dengan resiko orang kampung setempat juga ikut jadi sasaran tembak Belanda.

Letnan (Purn) J.C. Princen, serdadu Belanda yang membelot ke Siliwangi, melukiskan proses long march sebagai perjalanan panjang yang menyiksa hati nuraninya sebagai manusia. Di tengah perjalanan tak jarang ia menyaksikan anak-anak dan perempuan tewas terbunuh oleh bom pesawat-pesawat yang dikendalikan oleh orang-orang sebangsanya. Selain mesiu tentara Belanda, air sungai yang meluap saat disebrangi juga ikut meminta korban. Yang kena terseret arus adalah dari perempuan dan anak-anak. Selain itu ada juga bayi-bayi yang terpaksa diserahkan oleh ibu-ibu mereka kepada warga kampung yang dilintasi. Daripada harus menempuh resiko akibat beban perjalanan yang amat berat, lebih baik bayi-bayi itu dirawat oleh orang lain.

“Ratusan Multatuli tak akan dapat menggambarkan penderitaan ribuan Saija dan Adinda dalam perjalanan ini…”. Begitu tulis Princen mengenang pengorbanan yang dilakukan oleh keluarga Divisi Siliwangi.

Di dalam perjalanannya mereka mengalami penghadangan demi penghadangan yang dilakukan oleh Belanda dan juga Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo. Tentang Darul Islam (DI), pasukan Siliwangi yang telah lama pergi sama sekali tidak mengetahui perubahan situasi di Jawa Barat.

Antara pasukan Siliwangi dengan DI, pada 25 Januari 1949, akhirnya pecah untuk pertama kali dan berlangsung secara besar-besaran pertempuran di perkebunan Antralina, daerah Kabupaten Garut. Akibat dari pertempuran ini, pihak DI mengeluarkan “Maklumat DI No.1”, yakni menganggap Siliwangi yang baru pulang dari hijrah sebagai “tentara liar” yang perlu ditindak.

Tetapi dikarenakan posisinya yang malah terus terdesak, apalagi setelah mundurnya Belanda di akhir tahun 1949, pihak DI kemudian mulai melancarkan pula teror dengan komando: “Perintah Perang Semesta” atau “Perintah Tanpa Kembali”. Aksi DI menyasar korban-korban seperti terjadi di desa Trowek, Ciawi, Sukamaju, Garut, Cinanggela, Slawi, Cambarea, Sukawening dan lainnya.

Mengetahui berbagai kebrutalan yang terjadi, anak-anak Siliwangi terpaksa menahan gelisah lantaran harus berhadapan dengan saudara sedaerah sendiri. Namun begitu prajurit-prajurit Siliwangi tetap mampu membuktikan patriotismenya.

Untuk menyelesaikan Darul Islam, mereka bergerak dengan taktik “ISOLASI TOTAL” dan “PAGAR BETIS” dalam Operasi Brata Yudha sampai akhirnya berhasil menangkap Kartosuwiryo. Taktik tersebut dilakukan dengan lebih banyak menggunakan cara-cara persuasif.

Sejak kepulangannya di Jawa Barat, personel-personel Siliwangi tidak serta-merta kendor dari berbagai tugas operasi. Mereka terus berangkat lagi dan lagi ke berbagai penjuru tanah air.

Sebagai patriot nyali dan keyakinannya tidak pernah surut, tidak pernah gentar sama sekali. Mereka sempurna melakukan hijrah melintasi tapal batas. Dan mereka kembali untuk terus mempertahankan nasib kemerdekaan yang sudah diyakininya.

Patriotismenya tidak tergoyahkan oleh pengaruh-pengaruh apapun. Mereka yang hijrah dan longmarch ini hanyalah orang-orang biasa. Namun mereka mau berada di garis terdepan menanggung air mata dan tumpahan darah. Betapa tak terperikan luka kecewa yang mereka rasakan apabila kedaulatan Republik ini sampai dikorupsi, diselewengkan, apalagi dikhianati.

Ikuti tulisan menarik Bayu W |kuatbaca lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler