Bukan Sebatas Kemenangan: Memaknai Hari Raya Idul Fitri Sebagai Tantangan Baru

Rabu, 4 Mei 2022 06:42 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari Raya Idul Fitri adalah hari kemenangan bagi umat Islam. Benarkah kemenangan itu sudah kita lakukan dengan melanjutkan kebiasaan baik di bulan Ramadhan?

Pada kesempatan kali ini, izinkan saya yang berlumur dosa mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriah kepada seluruh umat muslim dan selamat menikmati nuansa lebaran bagi saudara beragama lain. Terlepas dari proses yang dilewati baik puasa penuh atau tidak dan kegiatan peribadatan lainnya, akan tetapi momen ini layak untuk dirasakan bagi semua kalangan. Bagaimanapun perayaan Hari Raya Idul Fitri menjadi salah satu momen besar dalam agama Islam yang dinanti setiap tahun. Pada hari perayaan tersebut, kita dapat menjumpai berbagai bentuk tradisi maupun pernak-pernik untuk merayakan hari kemenangan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mengingat perayaan raya akan dirasakan langsung oleh lebih dari 200 juga umat Islam di tanah air.

Salah satu tradisi yang identik dengan hari raya yaitu adanya tradisi mudik. Para perantau di luar kota berbondong-bondong pulang ke kampung halaman untuk dapat berkumpul dengan keluarga besar dan bersilaturahmi dengan sanak saudara. Seperti kata Farah Nabilla dalam tulisannya di suara.com, bahwa mudik bagi sebagian besar orang sudah dijadikan kewajiban yang harus dilakukan oleh perantau untuk berkunjung ke tanah kelahiran. Perayaan hari raya di berbagai daerah juga turut dimeriahkan dengan cara melakukan takbir keliling. Di Daerah Yogyakarta banyak masyarakat yang melakukan takbir keliling di jalan raya dengan cara berjalan kaki. Biasanya untuk memeriahkan acara takbir keliling, acara tersebut dibalut dalam bentuk perlombaan antar desa atau masjid. Sehingga peserta yang sebagian besar anak-anak begitu antusias mengikuti kegiatan takbir keliling. Salah satu takbir keliling tahun 2022 kali ini juga dilakukan oleh jamaah Masjid At-Taufiq, Ngaran, Sleman, Yogyakarta sebanyak 400 orang.

Namun demikian euforia dalam menyambut dan merayakan Hari Raya Idul Fitri, perlahan waktu membawa kita untuk berjalan meninggalkan bulan Ramadhan yang telah menemani dalam melakukan pertapaan diri. Bulan yang mampu menuntun umat Islam untuk menempa diri dengan menahan rasa lapar, mengurangi perbuatan yang bersifat merugikan, memperbanyak ibadah, dan melakukan kewajiban zakat.  Bulan Ramadhan diyakini sebagai bulan yang diberikan kelimpahan pahala dan keberkahan bari Allas S.W.T kepada umat islam. Bahkan secara khusus di dalam Alquran Surat Al-Qadar ayat 1-5 dijelaskan terdapat malam di bulan Ramadhan yang lebih mulia dari seribu bulan yaitu Lailatul Qadar. Adapun arti pada ayat tersebut; Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al Qadar ayat 1-5) dikutip dari noble Al-quran.

Atas dasar keutamaan-keutamaan yang diberikan pada bulan Ramadhan inilah, umat islam menggebu-gebu menunjukkan kekhusukan dalam beribadah. Tidak mengherankan apabila setiap hari di berbagai penjuru daerah terdengar lantunan bacaan Alquran di masjid, banyak orang yang berusaha meramaikan masjid sekedar I’tikaf atau melakukan ibadah Sholat maupun aktivitas lainnya. Serta muncul bentukan komunitas sosial yang berkegiatan berbagi kepada saudara yang kurang mampu. Aktivitas selama satu bulan tersebut nyatanya mampu memberikan hikmah bagi siapapun yang melakukan. Secara eksplisit, Tirto.id menyebutkan sekurang-kurangnya terdapat lima hikmah dari pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan di Islam antara lain; 1. Meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, 2. Ibadah penghapus dosa, 3. Puasa menyehatkan tubuh, 4. Menumbuhkan empati kepada fakir dan miskin, 5. Menambah rasa syukur.

Jika mengaca lebih jauh terkait hikmah selama beribadah di bulan Ramadhan, tentulah arti Hari Raya sebagai sebuah kemenangan adalah hasil atas rutinitas ritus-ritus yang telah dijalankan selama satu bulan penuh. Akan tetapi kemenangan ini justru menjadi kemenangan semu yang dimaknai oleh sebagian besar orang. Pasalnya sebagian besar umat Islam merasa Hari Raya Idul Fitri menjadi babak baru atas kebebasan yang akhirnya di dapatkan kembali. Apabila pada bulan sebelumnya diwajibkan untuk berpuasa, maka pada kemenangan yang dimaknai pada hari raya tersebut karena tidak lagi memiliki kewajiban berpuasa, kecuali hutang puasa. Begitu juga pada bulan puasa terdapat larangan untuk mengumpat, menggunjing, atau pikiran dan perilaku negatif lainnya. Hal ini seolah tidak lagi berlaku di hari pertama hari raya. Sering kita jumpai pada hari pertama perayaan tersebut selain saling memberi maaf, pada hari tersebut tidak luput dari agenda untuk mengumpat, menggunjing, dan menunjukkan rasa iri dengan dalih bentuk penasaran atau tidak percaya atas hasil maupun perilaku yang dilakukan oleh sanak saudaranya.

Sudah sepatutnya hari raya tidak sekedar merayakan kemenangan atas kegiatan selama bulan Ramadhan. Lebih lanjut dimaknai sebagai tantangan baru dalam meneruskan kebiasaan baik yang telah ditumbuhkan selama bulan suci Ramadhan. Tentu tantangan ini lebih berat dikarenakan pada bulan berikutnya tidak ada slogan yang sama seperti bulan Ramadhan sebagai bulan penuh keberkahan, penuh pengampunan, dan lain-lain. Bulan Ramadhan lebih tepat sebagai zona waktu bagi umat Islam dalam melaksanakan pendidikan kembali perihal ibadah. Pada tataran yang lebih sederhana, kita dapat memahami bulan Ramadhan selayaknya sekolah. Tempat dimana setiap murid menimba ilmu, berbagi dalam informasi pengetahuan, melakukan praktek atas sebuah teori, mengerjakan tugas akhir, dan di akhiri dengan kelulusan. Para murid kemudian melanjutkan hidupnya dengan bekal ilmu yang telah dimilikinya selama sekolah. Berdasarkan analogi ini, pentingnya menjadikan bulan Ramadhan sebagai zona sekolah kembali dikarenakan kelulusan pada pendidikan tersebut mampu memberikan output dalam bentuk ilmu agama dan kebiasaan ibadahnya untuk diaplikasikan dalam melanjutkan hidupnya kembali.

Satu hal yang perlu diingat, bahwa sampai saat ini Janji surga dan pengampunan adalah bentuk manifestasi yang dipercaya penuh oleh umat Islam. Sebagian besar umat Islam lebih meyakini seberapa besar pahala yang di dapat, bukan pembelajaran tentang agama yang digali selama bulan Ramadhan. Sehingga tidak mengherankan apabila bulan Ramadhan semua umat Islam bersorak ria menyambutnya. Mereka lebih tertarik untuk berlomba mencari poin pahala yang digadang-gadang akan membawanya pada kebahagiaan, bukan menjadikannya sebagai ruang dalam melakukan pendidikan ramadhan. Akan tetapi cara demikian memiliki konsekuensi tidak adanya peningkatan diri setiap tahunnya. Artinya makna bulan Ramadhan direduksi sebatas zona dalam melakukan kompetisi sesama umat Islam. Wajar saja jika setelah bulan Ramadhan usai, kemenangan yang dimaksud bebas dari rasa yang telah menahan diri sebulan lamanya. Selayaknya hewan yang dilepaskan ke hutan setelah terpenjara di dalam jeruji besi.

Bulan Ramadhan menurut saya justru ditempatkan sebagai role model dalam proses beribadah di bulan-bulan berikutnya. Sehingga hari kemenangan tersebut diilhami sebagai hari dalam menyongsong ritus yang telah terbangun selama bulan Ramadhan. Jika pada bulan Ramadhan sesama umat Islam dapat saling meramaikan masjid dengan mengaji atau sholat, maka sepatutnya pada bulan berikutnya rutinitas tersebut dapat terjaga. Apabila di bulan Ramadhan mampu berpuasa penuh setiap hari, tentu mudah bagi umat Islam untuk meneruskan kebiasaan tersebut dengan melakukan puasa sunah di hari-hari biasa. Hal demikian juga berlaku pada bentuk ibadah lainnya. Tentu dampak yang dirasakan hadirnya ketenangan, kedamaian, maupun ketentraman baik secara individu maupun secara bersosial sesama umat Islam dan pemeluk agama lain.

Dampak yang dirasakan ketika mampu mengamalkan pendidikan Ramadhan di bulan berikutnya ialah adanya kesejahteraan bersama sesama umat. Empati sesama umat Islam dapat terbentuk dan tidak diam jika melihat saudara seagamanya tidak mampu untuk sekedar mencicipi nasi putih. Dengan ramainya masjid sepanjang bulan, proses siar agama juga dapat berjalan lebih mudah tanpa harus dipaksakan dengan ada kewajiban tertentu. Begitupun dengan upaya kontrol diri. Output pendidikan Ramadhan mampu melanjutkan kebiasaannya dengan tidak mengeluarkan ucapan yang menyakitkan dan perilaku yang menimbulkan kerugian. Sehingganya hidup akan bejalan dengan damai bersama. Pada akhirnya akan kembali pada muara nilai keislaman. Seperti arti kata Islam yang berarti selamat, Menyelamatkan diri dengan memanfaatkan ilmu-ilmu yang telah didapat selama “Sekolah Ramadhan”. Jika semua umat Islam mampu meneruskan rutinitas tersebut, maka kemenangan yang didapat adalah kemenangan hakiki. Kemenangan yang kekal karena tumbuh atas rutinitas tersebut dan dapat dirasakan di setiap hari, tidak terbatas atas hasil dari bulan Ramadhan.

 

 

Sumber:

Detiknews. 01 Mei 2022. Semarak Takbir Keliling dan Pawai Obor di Yogyakarta. Puis Erlangga.

Id.noblealquran. org/quran/surah-al-qadr/

INews.id. 30 Maret 2022. Bulan Ramadhan Adalah Bulan Diwajibkannya Puasa, Penuh Ampunan dan Rahmat Allah. Hikmah.

Suara.com. 02 Mei 2022. Indonesia Banget!10 Tradisi Unik Menyambut Hari Raya Idul Fitri di Tanah Air. Farah Nabilla.

Tirto.Id. 01 Mei 2022. Daftar Hikmah Puasa Ramadhan dalam Islam. Syamsul Dwi Ma’arif.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rofi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler