x

Ilustrasi pencarian kebenaran. Gambar dari Pixabay.

Iklan

Fancy Ballo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Sabtu, 28 Mei 2022 23:59 WIB

Di Manakah Saudaramu: Suatu Upaya Pembebasan

Pertanyaan di atas adalah refleksi teologis yang sudah tidak asing bagi Gereja universal, juga secara partikular terhadap posisi Gereja di Flores. Di manakah saudaramu? Pertanyaan ini saya ambil secara metaforis dari kisah Kain dan Habel dalam Kitab Perjanjian Lama. Ketika Habel mati dibunuh oleh Kain, Firman Tuhan datang kepada Kain. “Di mana Habel, adikmu itu?” 

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pertanyaan di atas adalah refleksi teologis yang sudah tidak asing bagi gereja universal, juga secara partikular terhadap posisi gereja di Flores. Di manakah saudaramu? Pertanyaan ini saya ambil secara metaforis dari kisah Kain dan Habel dalam Kitab Perjanjian Lama. Ketika Habel mati dibunuh oleh Kain, Firman Tuhan datang kepada Kain. “Di mana Habel, adikmu itu?” 

Pertanyaan ini sejatinya mengandung suatu tanggung jawab sosial yang besar. Bagaimana saya terlibat secara nyata untuk menyelesaikan masalah-masalah ‘yang kurang’ di dunia sekitar saya? Pertanyaan eksistensial ini yang kemudian menjadi bahan refleksi bagi gereja-gereja di Flores. Bagaimana praksis nyata gereja dalam menyelesaikan masalah-masalah ekonomi-politik-sosial-budaya di Flores? Dan praksis gereja ini sangat diharapkan masuk sampai pada taraf pembebasan.

Gustavo Gutiérrez, adalah seorang tokoh penting jika gereja hendak berbicara tentang pembebasan terhadap realitas kemiskinan dan ketidakadilan dalam kehidupan ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Teologi Pembebasan adalah salah satu karyanya yang termasyur dan menjadi pedoman bagi para aktifis dan pemerhati sosial lainnya di dunia perjuangan mereka. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gutiérrez dilahirkan di Monserat, sebuah kawasan kumuh di Lima, Peru, pada tanggal 8 juni 1928. Teologi Pembebasan adalah teologi khas Amerika Latin sebagai gerakan iman yang radikal (gerakan akar rumput) yang dihidupi oleh kelompok-kelompok gerejawi sebagai reaksi atas situasi kemiskinan dan pemiskinan dan menuntut adanya pembebasan dari situasi itu.

Salah satu indikator pembebasan dalam teologi ini, ialah menuntut agar gereja mesti membebaskan diri dari konsep teologi tradisional dan teologi Dominan (Barat). Teologi tradisional berkaitan erat dengan dunia feodal. Gereja hadir untuk konteks manusia yang belum mengenal Tuhan; sehingga orientasi teologi dan misi gereja adalah membuat agar manusia percaya kepada Tuhan dengan memperkenalkan Sabda Tuhan. Mereka yang percaya dibaptis dan masuk gereja.

Lalu teologi dominan (teologi barat), hadir untuk konteks dunia sekuler (orang-orang yang tidak mau lagi terikat dengan agama) masa ini dikenal dengan masa pencerahan budi atau enlightment yang mana manusia merasa dirinya adalah satu-satunya tuhan di dunia ini, liberalisme, kesuksesan sains, ateisme, menjadi ancaman bagi eksistensi agama (gereja). Otonomi diri manusia begitu tinggi, bahwa segala hidup manusia bisa dijelaskan dalam terang ilmu pengetahuan oleh akal budi. Sehingga orientasi misi Gereja ialah melawan pengaruh sekularisme ini. Gereja mesti menghimpun kembali orang-orang yang sudah mulai meninggalkan gereja dan teologi ditantang untuk menjelaskan bahwa Allah tetap bereksistensi.

Saat ini, di Flores sejak masih bayi kita sudah dimeteraikan sebagai anggota gereja, dan bahkan di keluarga orangtua memperkenalkan kepada kita tentang iman akan Allah sebagai Bapa, Yesus sebagai saudara kita, dan Maria bunda yang mengerti kita dengan cinta. Dengan kata lain, kita sudah Katolik sejak lahir, bahkan sejak dalam kandungan ketika orangtua sudah mulai mengandai-andai "nama" yang akan diberikan jika kita lahir. Jadi, untuk konsep teologi tradisional, misi gereja feodal tradisional, kita bisa katakan sudah tidak relevan. 

Fenomena perhatian teologi kedua, soal sekularisme. Bisa saja kita katakan ada saat ini di Flores. Tetapi sekularisme yang model mana yang masyarakat atau umat kita hidupi? Apakah karena mereka sudah merasa diri luar biasa hebat sampai tidak anggap Tuhan lagi atau gereja dan mau meninggalkan gereja? Sekularisme di sini untuk konteks kita, mesti kita baca secara baru, sebagai bentuk autokritik gereja ke dalam. Jangan sampai umat meninggalkan gereja karena, wajah gereja yang diwartakan dari kitab suci tantang KASIH sebagai dasar segala sesuatu itu tidak sungguh dirasakan umat.

Yesus yang datang membebaskan perempuan yang kedapatan berzinah dari kutukan hukum sosial-budaya, Zakeus dari dosa politik sebagai pemungut pajak yang korup. Dan semua kisah pembebasan manusia oleh Tuhan yang datang dan hidup dengan kita di dunia dalam sejarah itu, apakah sudah sungguh dihidupi gereja sebagai Gereja Kristus? Atau mungkin gereja apatis dan tidak mengambil pilihan sikap apa pun sehingga umat merasa jauh dari Gereja. Iman komunio lebih banyak memilih beralih ke urusan privat karena terlalu sering merasa gerah.  

Mereka adalah orang-orang hilang, dalam konteks sekularisme kita. Sejalan dengan pemahaman sekularisme konteks saat ini, ala kita. Maka teologi pembebasan menawarkan suatu cara baru untuk berteologi, suatu cara baru untuk praksis pastoral gereja. Konteks misi gereja kita di sini bukan lagi orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Bukan juga untuk umat kita yang mau meninggalkan Gereja. Misi gereja kita hari ini ialah situasi dunia yang kaos; yang merusak semua tata hidup manusia dan membuat manusia menderita, sehingga mereka tidak mengalami kedamaian dan keadilan di dalam iman, di dalam Tuhan dan Kerajaan-Nya. 

Konteks yang menjadi medan berteologi bagi misi gereja kita saat ini adalah dunia yang dilandai dengan kemiskinan di mana-mana, penindasan dan pemerasan secara tidak manusiawi, perampasan hak-hak orang lain, korupsi sudah tidak ada rasa malu, dll. yang perlu didekati dengan analisis-analisis ilmu sosial, supaya pewartaan gereja itu benar-benar membebaskan dan mengangkat martabat manusia dari situasi-situasi semacam itu. Dasar tindakan kita adalah tindakan Kristus, dan inti solidaritas kita adalah Citra Allah yang terpatri pada setiap nurani manusia. Manusia sebagai Citra Allah. 

Posisi misi gereja di Flores bila dibaca dalam kaca pandang teologi pembebasan tentu adalah suatu keharusan. Kemiskinan dan ketidakadilan dalam kehidupan ekonomi-sosial-politik di Flores yang sudah berabad lamanya ini tentu mesti menjadi medan teologi pembebasan oleh gereja. Gereja mesti terlibat, mencari dan menemukan, memberi makan, merawat, menyediakan tempat tinggal bagi saudara-saudara yang ‘kehilangan’. Membebaskan belenggu kemiskinan dan ketertindasan secara ekonomi, sosial dan politik bagi masyarakat Flores. Gereja mesti memiliki iman ini. Dan "iman tanpa perbuatan adalah mati".

Jika gereja tidak mampu membebaskan diri dari konsep misi lama dan feodal, maka apa yang dituduhkan Marx "Agama sebagai candu (opium) masyarakat" dalam beberapa kasus adalah benar. Gereja tertidur di dalam mimpi-mimpi eskatologis. Kamu miskin saja, kamu tertindas saja, kamu menangis saja, nanti kamu akan mendapat bagian di surga. Paus Fransiskus sangat jelas menolak konsep misi gereja yang model ini. "Tanggalkan kasut dan jubah kemewahan kepausan, turun ke jalan-jalan menjumpai orang miskin, beri mereka makan". Keadilan di dalam Allah adalah kebahagiaan dan kesejahteraan manusia saat ini di sini, tidak melulu soal akhir jaman. Di sisi lain esensi gereja yang ditahbiskan sebagai pelayan, malah lebih menuntut untuk dilayani. Sehingga, malah gereja menjadi kelas elit baru di dalam struktur kemasyarakatan.

Ada beberapa pokok pikiran berkaitan dengan upaya pembebasan bagi gereja di Flores untuk menjawab soal kemiskinan dan ketidakadilan dalam kehidupan ekonomi-sosial-politik.-budaya, dan krisis lingkungan.

Di manakah saudaramu? 

Pertama, di manakah saudaramu adalah suatu tuntutan praksis untuk segera berbuat. Mencari. Pergi. Gereja mesti mampu ada bersama orang-orang miskin. Pergi menjumpai mereka yang bahkan tidak mampu memberi lima ratus rupiah pun sebagai derma. Pergilah kepada mereka yang bahkan tidak berani untuk meminta mengadakan perayaan pemakaman atau berbagai bentuk syukuran iman lainnya. Gereja mesti ingat, bahwa antara Kristus dan kemiskinan terdapat hubungan yang sangat mendalam.

Kedua, keterlibatan gereja di Flores mesti mampu menyebrangi batas pewartaan di atas mimbar. Turun dari altar dan pergi berjuang bersama orang-orang miskin dan beri mereka makan. Gereja mesti mampu membawa masyarakat ke dalam transformasi sosial. Kehadiran gereja mesti berubah dari pola misi lama. Pola misi yang berorientasi untuk memasukan sebanyak mungkin orang ke dalam gereja melalui sakramen-Sakramen mesti diubah. Gereja mesti pertama-tama hadir untuk memperjuangkan kemanusiaan. Memanusiakan manusia. Gereja mestinya tidak lagi hadir untuk menjadikan orang beragama.

Ketiga, teologi pembebasan mesti mendapat tanggapan positif bagi eksistensi gereja di Flores. Kehadiran gereja yang jaya dalam pembangunan terhadap seluruh lingkup hidup masyarakat di masa lalu, mesti dihidupkan kembali. Kita tentu bersyukur bahwa sejarah kemajuan peradaban manusia di Flores adalah bagian dari misi gereja yang paling sukses dalam upaya pembebasan (Baca: Frans Cornelissen. Lima Puluh Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor, dan Bali. Ende: Percetakan Arnoldus Nusa Indah, 1978). Sungguh miris bila masyarakat (umat) hingga saat ini, hanya mengangguk bangga pada nostalgia misi pembebasan gereja di masa lalu dan lebih banyak mengerut dahi pada praktik hidup gereja kini.

Keempat, kemiskinan dan ketertindasan masyarakat Flores kini mesti dibaca gereja dengan jeli melalui pendekatan ekonomi politik (ekopol). Gereja harus berani menggali dan menemukan sebab-sebab fundamentalnya dan membongkar bebaskan segala struktur ekonomi dan politik yang membelenggu kehidupan masyarakat Flores. Di samping itu gereja juga secara ke dalam mesti berefleksi, prihal praktik-praktik yang mengatasnamakan misi dan iman, yang secara tidak langsung menindas masyarakat.

Dengan demikian, Kain yang hilang dibunuh oleh ketidakadilan strukrut sosial, ekonomi, dan politik perlu kita tolong. Mencari dan membebaskannya, agar kita bisa kembali dan menjawab Tuhan. Inilah saudaraku. Merdeka dan bebas dari kemiskinan.

 

Ikuti tulisan menarik Fancy Ballo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu