x

Balai Pustaka adalah tempat dimana buku-buku pada tahun 1920 diterbitkan

Iklan

Erika Dwi Febriyanti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Maret 2022

Senin, 6 Juni 2022 13:26 WIB

Angkatan Balai Pustaka: Sejarah Perkembangan dan Karakteristik salam Periodisasi Sastra Indonesia

Latar belakang berdirinya Balai Pustaka berawal dari pemerintahan Belanda yang membentuk sebuah komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perkembangan sastra Indonesia modern tidak terlepas dari keberadaan Balai Pustaka. Balai Pustaka pada awalnya adalah sebuah Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat atau Commissie voor de Inlandsche School en Volksectuur yang didirikan pada tahun 1908. Komisi tersebut beranggotakan 6 orang, yang diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu. Tujuan pemerintah Belanda pada saat itu adalah untuk meningkatkan cara berpikir rakyat Indonesia, sehingga dapat dijadikan sebagai pegawai pemerintah Belanda yang bisa digaji lebih kecil daripada mengangkat pegawai pemerintah dari Belanda. Karena hal tersebut sebagian rakyat Indonesia bisa baca tulis dan kemudian timbullah rasa kekhawatiran pemerintah Belanda jika rakyat Indonesia nantinya akan bisa melunturkan kesetiaan dan kepercayaan pemerintah karena kepandaiannya. Apalagi jika nanti mereka mendapatkan buku bacaan dari luar yang isinya menghasut, maka perlu dipilah terlebih dahulu buku bacaan yang mereka baca.

Oleh karena itu pada tanggal 22 September 1917 komisi tersebut berubah menjadi Kantoor voor de (Kantor Bacaan Rakyat) yang lebih dikenal dengan sebutan Balai Pustaka. Balai berarti bangunan atau tempat yang luas untuk melakukan sebuah kegiatan dan Pustaka yang berarti buku-buku. Balai Pustaka tersebut berada di jalan Dr. Wahidin, Jakarta Pusat. Adapun usaha yang dilakukan oleh Balai Pustaka dalam memajukan kesusastraan yaitu mengumpulkan cerita dongeng daerah yang dialihkan ke dalam bahasa Melayu, menerjemahkan cerita asing ke dalam bahasa Melayu, menerbitkan majalah dalam bahasa daerah yaitu Kejawen (Jawa), Parahiayangan (Sunda) dan Panji Pustaka (Melayu). Menerbitkan juga buku Almanak Rakyat yang berisi pengetahuan untuk kehidupan rakyat sehari-hari dengan harga murah serta membuka perpustakaan rakyat melalui sekolah yang berada di pelosok tanah air.

Ada nama lain untuk menyebut angkatan ini selain Balai Pustaka yaitu Angkatan Dua Puluhan, karena angkatan ini lahir pada waktu dua puluhan. Dimulainya angkatan ini sejak terbitnya buku Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang terbit di tahun 1920 yang memiliki karya-karya dengan motif yang sama. Kesamaan motif pada waktu tersebut menjadi sadar penamaan angkatan tersebut menjadi Angkatan Dua puluhan. Selain nama-nama tersebut angkatan ini juga disebut dengan Angkatan Situ Nurbaya, karena diambil dari roman karangan yang berjudul Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Hal tersebut didasari oleh populernya tema roman pada waktu itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karakteristik pada periode Angkatan Balai Pustaka dibagi menjadi dua yaitu ciri-ciri struktur estetik dan ciri-ciri ekstra estetik. Dalam ciri-ciri struktur estetik memiliki gaya bahasa yang menggunakan perumpamaan klise, pepatah-pepatah dan peribahasa, tetapi juga menggunakan bahasa percakapan sehari-hari dari bahasa hikayat sastra lama. Alur roman yang digunakan sebagian besar arus lurus namun ada juga yang menggunakan alur sorot balik. Teknik penokohan dan perwatakan lebih banyak menggunakan analisis langsung (direct author analysis). Tokoh-tokohnya memiliki watak datar (flat character), dan settingnya berlatar kedaerahan. Pada pusat pengisahan biasanya menggunakan metode orang ketiga atau diaan, namun terkadang menggunakan orang pertama atau akuan. Terdapat digresi yaitu sisipan yang secara tidak langsung berkaitan dengan cerita. Memiliki sifat didaktis dan bercorak romantis sentimental. Sedangkan pada ciri-ciri ekstra estetik yaitu terjadinya pertentangan antara golongan tua dengan golongan muda tentang adat lama dan kemodernan. Namun tidak mempermasalahkan rasa nasionalisme dan kebangsaannya.

Kebanyakan pengarang-pengarang Balai Pustaka berasal dari wilayah Sumatera, hanya sebagian kecil saja yang berasal dari luar Sumatera. Pengarang yang berasal dari Sumatera ada Abdul Muis, Adinegoro (Djamaluddin), Aman Datuk Madjoindo, Hamidah, Hamka, Marah Rusli, Merari Siregar, Moh. Yamin, Muhammad Kasim, Sa’adah Alim, Nurani, Nur Sutan Iskandar, Rustam Effendi, Selasih, Suman Hs. Dan Tulis Sutan Sati. Sedangkan pengarang yang berasal dari luar Sumatera yaitu H.S.D. Muntu (Sulawesi), I Gusti Nyoman Panji Tisna (Bali), Marius Ramis Dayoh (SSulawesi, L. Wairata (Pulau Seram), Paulus Supit (Sulawesi) dan Sutomo Djauhar Arifin (Jawa).

 

Ikuti tulisan menarik Erika Dwi Febriyanti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu