x

Gambar: Google, Ilustrasi: Canva

Iklan

Regina Nikijuluw

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Rabu, 8 Juni 2022 14:10 WIB

Aku Memilih Sendiri (Bagian 2)

Pikiranku melayang, terlempar pada kunjungan pertama aku ke rumah Vero. Hujan deras membasahi bumi disertai gelegar petir yang memekakkan telinga. Motor bebek, hasilku mengajar, aku tandaskan di halaman rumah Vero. Badanku menggigil seraya angin dingin yang terus menampar tubuhku yang kecil. Jas hujan tipis masih bertengger di badanku dan jariku mengetuk pintu jati besar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika Dia Hadir

Aku melewati dunia sekolah dasar dan menengah pertama tanpa aral melintang. Kelebihan aku dalam matematika dan ilmu sains terus menjadi penyokong keluarga bahkan juga untuk Hermana. Kemampuanku menyeret banyak teman-temanku bergantung padaku. Status ekonomi, sosial dan rumah petak berdinding gedek tidak tertancap padaku. Aku menjelma menjadi andalan banyak temanku, kaya dan miskin.

“Jangan lupa nanti siang di rumahku, Helaha,” Veronica, murid terkaya, di sekolah tingkat atas. Undangan Vero, nama panggilnya, dengan sigap aku jawab dengan anggukan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengurus dan para guru sangat menghormat ayah Vero. Dia seorang Amerika asli dan penyokong utama sekolah. Setiap hari Selasa memang sudah menjadi waktu tetap aku membantu Vero dalam pelajaran matematika dan fisika. Aku duduk d bangku kelas satu dan sekelas dengan Vero.

Pikiranku melayang, terlempar pada kunjungan pertama aku ke rumah Vero. Hujan deras membasahi bumi disertai gelegar petir yang memekakkan telinga. Motor bebek, hasilku mengajar, aku tandaskan di halaman rumah Vero. Badanku menggigil seraya angin dingin yang terus menampar tubuhku yang kecil. Jas hujan tipis masih bertengger di badanku dan jariku mengetuk pintu jati besar.

“Selamat sore! Kamu pasti Helaha kan?” suara tegas dari seorang pria tinggi gagah, berkulit terang dan rambut ikal pendek, serta hidung mancung dengan matanya yang biru cerah. Suara yang membuat aku gugup dan tidak bisa menjawab. Wajah yang menghantam langsung ke dada dan membuat aku menganga tak kuasa menjawab.

Kegugupan yang cukup kentara olehnya sehingga dia melanjutkan, “Saya Victor, kakak Vero. Mari masuk, saya panggil Vero sekalian bilang supaya dia bawa baju ganti untuk kamu.”

Tangannya menggapai, menyambut aku untuk melangkah. Lantai rumah, dari marmer sehingga sangat licin, membuatnya membantu aku melangkah ke dalam karena sepatuku basah. Aku memegang tangannya dan akhirnya mengeluarkan kata dari mulutku, “Terima kasih banyak Kak Victor.”

“Silakan duduk dulu ya,” sambutnya lebih lanjut dengan senyum tipis tersungging di bibirnya. Pesona yang ditampilkan membuat aku hanya bisa menganggukkan kepala sambil membuka sepatuku yang basah.

Victor melangkah masuk dan menghilang di balik tembok ruang makan. Aku mendengar suara langkahnya menaiki tangga dan menyerukan nama Vero. Aku, duduk di ruang tamu, masih mengatur debar jantungku yang tidak beraturan.

Aku memaki diriku sendiri, “Jangan lengah! Ingat apa yang kakek dan ayahmu lakukan.” Aku menunduk memandangi lantai marmer yang memancarkan wajah penuh peluh kelelahan dari nenek dan ibu.

Pertemuan pertama itu sangat membekas di hatiku. Kunjungan ke rumah Vero rasanya ingin aku hentikan tetapi aku membutuhkan pemasukan untuk membantu nenek dan ibu. Sedikit penyesalan mencuat karena aku menerima permintaan Vero untuk membantunya. Namun aku terus melawan semua itu di kepala dengan semangat bahwa aku hanya ingin membantu Vero.

Tetapi, pertempuran antara logika dan jiwa terus bergolak sejak saat itu. Perang batin terus terjadi. Logika yang selalu luruh ketika pintu terkuak dan wajah Victor muncul. Senyum dan sapanya menyambutku. Logikaku tidak kuasa melawan kuasa jiwa yang terus merongrong. Logika yang runtuh karena senyum dan mata Victor terus membayangi langkahku dan masuk ke dalam ruang mimpiku.

“Kalau saya ikut belajar bersama boleh Helaha? Nanti kita bayar tambah,” pintanya di satu sore yang tidak mungkin aku tolak. Walaupun aku agak bingung karena Victor sudah kelas tiga.

Aku menyenangkan diri dengan bayangan, “Ah mungkin karena teori pelajaran ini pada dasarnya sama dan dia akan menghadapi ujian akhir.

Tetapi, permintaan itu menambah keras pertikaian logika dan jiwa di dalam diri. Pertanyaan itu membuat semangat di dalam diriku untuk datang ke rumah Vero. Tanpa aku sadari pemenang dari perang yang aku jalani sudah terjawab. Logikaku ambruk, hancur lebur termakan kuasa jiwa.

Sore itu hatiku berbunga-bunga. Gelora untuk ke rumah Vero selalu membuat senyum cerahku muncul di pagi hari. Gairah untuk bertemu dengan Victor membangunkan semua kuncup-kuncup yang selama ini tidak tumbuh karena aku tidak menyiraminya. Perjumpaan itu yang selalu mengindahkan jiwa yang aku simpan jauh di dalam lubuk diri.

Sesampainya di rumah Vero, Bu Neneng, asisten rumah tangga berumur setengah baya, membuka pintu seraya menyambutku, “Selamat sore Nak Helaha! Nak Vero sedang keluar dengan Ibu, Nak Victor ada di atas. Sebentar saya panggilkan.” Bu Neneng selalu memanggil kami semua dengan sebutan “Nak” di depan nama kami.

Kabar yang menyenangkan bagiku. Akhirnya aku bisa mendapat kesempatan berdua dengan Victor, tanpa ada Vero dan ibunya. Aku merebahkan badanku di sofa keluarga dan membayangkan Victor mendatangiku dengan senyumnya.

Ketika langkah kaki menuruni tangga sayup terdengar, aku berjuang melawan debar di dada yang terus menderu. Mataku memandang ke arah suara kaki dan tidak lama wajah Victor, bangun tidur dengan mata setengah merah, mencuat.

Bangun tidur-pun dia enak dipandang” tanpa sadar suara jiwaku muncul.

Mengayunkan langkah bangun tidurnya, Victor dengan senyumnya menyambutku, “Maaf ya Helaha, saya tertidur. Tadi malam mempersiapkan diri untuk test fisika hari ini. Thanks to you saya bisa mengerjakan semua.”

Badanku seraya melayang dengan pujian yang keluar dari mulutnya. Kembali, jiwaku terlena dan logikaku tenggelam. “Dengan senang hati, Kak,” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

“Vero sedang pergi dengan Ibu. Kita santai-santai dulu di sini ya,” sembari menghempaskan badannya di sofa, di sampingku, Victor menyampaikan pesan yang sama dengan Bu Neneng.

“Kamu agak rahasia dengan hidupmu. Apa saya boleh tahu sedikit-sedikit?” Sambil membalikkan badannya ke arahku dengan mata tajam menusuk, dia mulai mengorek aku. Suara yang sangat merdu mendayu di telingaku dan semakin membawa aku terbang jauh ditelan awan putih cerah hari itu.

Kekalahan pada logikaku dan membumbungnya jiwaku membuat aku membuka rahasia hidupku sampai ke telinga Victor. Pandangan matanya menyihir logikaku dan mengeluarkan semua hasrat jiwa yang selama ini aku simpan rapi di dalam laci diri. Aku kalah dalam pertempuranku.

Satu per satu kata, bongkahan cerita mengalir keluar dari mulutku. Tanpa aku sadari, aku mengeluarkan tekanan diri kepadanya. Secara perlahan, air mengalir ke pipiku. Air yang selama ini aku sembunyikan.

Gejolak emosi yang membawa aku pada pelukan Victor. Dekapan halus yang menghangatkan jiwaku, meleburkan logikaku. Semuanya menjadi berbalik. Pertahanan yang selama ini aku bangun, benteng yang berdiri teguh hancur lebur rata ditelan bumi.

Aku jatuh dalam dadanya dan terbuai dalam kecupan yang tiba-tiba mendarat di bibirku. Pesona yang tiba-tiba terhenti karena aku mendengar suara mobil berhenti di depan pintu rumah.

“Ah, maaaf Kak… maaf sebesarnya… mungkin kelas hari ini kita tiadakan dulu. Kita buat minggu depan saja,” aku setengah berlari menuju pintu dan berpapasan dengan Vero yang masuk ke dalam rumah.

“Maaf Helaha, aku tadi menemani ibu jadi agak lama,” Vero menyambutku.

Wajahku masih terasa panas dan dengan suara terbata akibat dadaku masih berdegup keras aku membalas sambil melangkah cepat menuju motorku, “Ah tidaak apa-apa… kitaa belajar minggu depan yaaa… Saya janji mau menemani ibu.”

Semua selalu ada awal. Hari itu adalah permulaan segalanya. Victor dan aku menjadi dekat dan duniaku menjadi berubah. Di saat aku tidak ada kegiatan mengajar dan Victor tidak sibuk dengan urusan menjelang ujian akhir, kami selalu bersama. Lembuna menjadi tempat kesukaan bersama. Duduk memandang keindahan alam di bawahnya. Bersenggama dan bercerita menjadi bagian dari kegiatan kami.

Victor memeluk aku erat dan menempelkan aku pada dadanya yang bidang, “Sebenarnya aku sudah jatuh sejak pertama kita bertemu. Ingin rasanya aku memelukmu ketika melihat kamu basah kuyup dan badanmu menggigil.” Tangannya membelai lembut rambut ikalku dan aku semakin menekan badanku pada dadanya. Aku tidak mau semua ini berakhir.

Seandainya aku punya kuasa menghentikan waktu,” jiwaku berharap.

“Makanya aku lalu minta ikut belajar dengan kamu supaya aku bisa menikmati wajah, suara dan tawamu,” lanjutnya sambil tertawa lebar. Aku membalasnya dengan cubitan lembut di pinggangnya. Victor menggeliat kegelian.

“Tapi aku memang ingin belajar, Helaha. Aku tidak mau mendapat nilai tidak baik dalam ujian akhir,” lanjutnya seakan mengoreksi pernyataan awalnya.

Satu keheranan mendera dalam diri yang sudah lama aku simpan. Sambil memandang dalam ke matanya, aku bertanya, “Kak, kenapa kita seakan-akan bersembunyi dari ibu, bapak dan Vero?” Kecurigaan yang mendesak logikaku.

“Tidak sembunyi Helaha. Saya hanya berhati-hati karena ibu dan bapak tidak mau saya mempunyai hubungan sebelum lulus. Ada saatnya saya pasti akan sampaikan kepada mereka tentang kita.”

Penjelasan yang masuk akal bagiku sehingga aku memarahi logikaku, “kamu terlalu banyak curiga. Tidak semua orang jahat seperti ayah dan kakek.

Perubahan aku, tidak luput dari pandangan nenek, ibu dan Hermana. Kegiatan aku tidak lagi aku ceritakan kepada mereka. Aku jarang terlihat di rumah. Ketegaranku, kegagahanku dan sikap acuh tak acuhku berganti dengan senyum ceria. Aku sering melamun, mengkhayal dan melambungkan pikiranku ke dunia lain. Dunia yang penuh bunga dan menjanjikan keindahan.

“Kamu sekarang banyak berubah Helaha. Mukamu tidak sekeras dulu, kamu menjadi banyak senyum sendiri dan melamun,” nenek akhirnya mengungkapkan perubahan aku pada satu makan malam.

“Tidak apa-apa Nek. Aku senang banyak teman yang minta diajar. Jadi aku merasa nyaman dan senang bisa membantu keluarga,” jawaban yang aku berikan walaupun aku yakin tidak memuaskan nenek.

Tetapi aku tidak mungkin menceritakan Victor kepada mereka. Perbedaan status kami terlalu jauh. Aku yakin nenek dan ibu tidak setuju dengan hubungan kami. Namun bagiku, hidup ini untuk Victor dan aku yakin Victor juga merasakan hal yang sama.

Hermana, masih teman sekamarku, merasakan perubahan besar dari aku, ikut menimpali pembicaraan, “Kakak saya lihat seperti orang jatuh cinta.”

Pernyataan yang membuat aku membelalakkan mataku kepadanya, “Ah kamu jangan bicara sembarang. Anak kecil tahu apa tentang cinta.” Suara emosi jiwa mencuat keluar dariku.

“Maaf saya sudah selesai dan duluan berdiri,” aku mengangkat badanku menuju dapur tanpa menunggu ijin dari nenek dan ibu. Aku tidak mau pembicaraan ini terus berlanjut. Cerita aku dan Victor belum waktunya didengar oleh mereka. Kisah kita, saat ini, hanya dilukiskan untuk kita berdua.

Ujian akhir kelas tiga sudah di depan pintu. Victor tenggelam dengan persiapan yang bertubi-tubi. Namun, Jumat itu, minggu terakhir sebelum ujian, Victor mengajak aku ke vila ayahnya di Gunung Putri. Sekolah libur karena persiapan ujian dan kami berangkat pagi-pagi karena rencana akan kembali sore hari. Aku sampaikan ke nenek dan ibu ada permintaan belajar bersama dari teman satu kelasku.

Di luar perkiraan aku, vila itu sederhana bentuknya dan tidak ada yang menjaga. Hanya satu tingkat, tiga kamar di dalamnya, dua kamar mandi dan satu ruang keluarga besar yang gabung dengan dapur.

Di belakang vila, teras yang luas dengan beberapa sofa santai. Pemandangan hamparan hijau alam Gunung Pulatri menjadi lukisan dari teras belakang. Nuansa yang mendamaikan hati dan melapangkan dada.

Pemandangan yang mengajakku untuk melupakan segala kepenatan membantu nenek dan ibu. Suasana yang menarik aku untuk menyerahkan segala yang aku miliki ke Victor. Aku menyerahkan satu-satunya milikku yang paling berharga.

“Jangan khawatir, kamu akan jadi istriku nanti,” Victor mencium lembut pipiku yang penuh dengan air mata.

Aku sendiri bimbang apakah aku menangis bahagia atau aku galau dengan segala yang aku lakukan. Aku tidak yakin apa yang aku lakukan karena logikaku atau karena jiwa yang menuntut. Namun, satu keyakinanku yaitu janji Victor. Dia adalah suamiku pada saatnya nanti.

Selasa pertama setelah ujian akhir selesai, jadwal mengajar di rumah Vero. Aku langsung mengepak semua isi tasku seusai jam sekolah. Anehnya, Vero, tidak hadir di kelas sejak hari Senin. Tapi aku tidak peduli karena di kepalaku hanya ada Victor. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu walaupun dia sudah tidak ikut belajar bersama Vero. Wajahnya selalu memenuhi mimpiku setiap malam dan mengikuti setiap langkahku sejak kejadian di vila.

Bu Neneng membuka pintu jati dan wajahnya penuh keheranan, “Eh Nak Helaha. Semua tidak ada Neng, pergi ke Jakarta. Neng Vero tidak sampaikan?”

Dadaku tiba-tiba berhenti berdenyut. Berusaha menenangkan diri, aku bertanya, “Ke Jakarta untuk apa Bu?”

“Mereka mengantar Nak Victor untuk sekolah di luar negeri. Katanya ke Amerika tempat keluarga bapak.”

Pandangan nanar, tubuh gontai melangkah lesu,

Bunga berkembang indah, belum waktunya layu,

Jiwa tidak percaya, begitu mudah hidup menipu,

Logika kembali mengingatkan, kehidupan yang lalu,

Namun semua terlambat, tinta emas sudah menulis kisah.

 

(Bagian 3: Menjaga Benteng)

*****

Ikuti tulisan menarik Regina Nikijuluw lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu