x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 27 Juni 2022 05:23 WIB

Resensi Buku: Sampar Karya Albert Camus

Sampar adalah sebuah novel yang ditulis pemenang Nobel bidang sastra tahun 1957, Albert Camus. Locus ceritanya di sebuah kota bernama Oran yang dilanda wabah sampar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sampar adalah sebuah novel yang ditulis pemenang Nobel bidang sastra tahun 1957, Albert Camus. Locus ceritanya di sebuah kota bernama Oran yang dilanda wabah sampar (pes).

Oran, yang dalam Bahasa Arab disebut Wahran (وَهْرَانْ), adalah kota di Afrika Utara, menghadap ke laut Meditarrania, yang terletak sekitar 450 km ke arah barat daya dari kota Aljir, ibukota Aljazair.

Sebagai catatan, dalam literasi kolonial Eropa di Afrika Utara, Albert Camus termasuk salah soerang yang dikategorikan Pied-noirs (bahasa Perancis), yang bermakna orang Perancis atau warga dari negara Eropa lainnya, yang lahir di Aljazair selama penjajahan Perancis di Aljazair yang berlangsung 132 tahun (1830-1962).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Novel Sampar yang berjudul asli La Peste (Bahasa Perancis) yang terbit 1947, edisi Bahasa Inggrisnya berjudul The Plague, lalu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh NH. Dini dengan judul Sampar (2005) dengan total 386 hlm dan edisi yang saya baca adalah cetakan kelima (September 2020).

Secara umum, kondisi-tahapan wabah sampar dan suasana kota Aron digambarkan nyaris persis seperti yang dialami oleh hampir semua penduduk kota di bumi ketika mengalami dan saat-saat puncak pandemi Covid-19 pada 2020 hingga 2021. Kecuali mungkin satu hal: dalam kasus wabah sampar di kota Aron, sejumlah warga membakar rumah sendiri dengan asumsi membakar kuman-virus dalam rumah (hlm 207).

Pandemi sampar yang diceritakan Camus, diawali dengan pemandangan yang menjijikkan: banyaknya tikus-tikus yang mati, lalu orang meninggal dunia yang dari hari ke hari jumlah kasus wafatnya terus meningkat; disusul keputusan resmi pemerintah lokal yang mengakui secara resmi adanya pandemi dan pemberlakukan keadaan darurat; kota ditutup atau lebih tepatnya diisolasi; pelarangan kegiatan kerumuman penduduk; karantina para pasien; dan pemberlakuan jam malam, yang digambarkan dengan kalimat: kota membisu bagaikan batu, tenggelam dalam kegelapan total (hlm 210).

Setelah itu, seluruh detailnya adalah kepiluan dan kepedihan dan kesakitan. Juga tentang suasana horor penguburan jenazah korban yang memicu kesedihan, cemas, panik, tangis, bahkan putus asa. Pada tahapan itulah, kota Aron berubah menjadi seperti kamar tunggu: ketika setiap warga kota pasrah menanti giliran meninggal dunia (222).

Dan puncaknya adalah ketika penderitaan tidak lagi mengharukan (hlm 221). Karena banyaknya korban meninggal dunia, prosesi pemakaman menjadi tidak normal: penggunaan peti mayat berkali-kali (kekurangan peti mayat); mayat-mayat akhirnya dikuburkan massal dalam satu lubang; bahkan sebagian mayat digali ulang untuk dibakar (dikremasi) guna menghemat liang lahat; sehingga perbedaan paling nyata antara jenazah manusia dan bangkai anjing hanyalah bahwa kematian manusia dicatat rapi agar bisa diteliti di kemudian hari (hlm 215).

Dan persis ketika periode puncak pandemi covid-19 pada 2020-2021, Camus juga bercerita tentang pandangan keagamaan terhadap Sampar, yang diwakili oleh pidato  pastor (Katholik) bernama Peneloux, yang memposisikan sampar sebagai kutukan langit akibat perbuatan dosa penduduk Oran (112-121). Dan kita tahu, Pastor Peneloux juga akhirnya meninggal meski dalam kartu kematiannya tertulis: kasus meragukan (hlm 288).

Selain pandangan keagamaan, juga muncul pandangan dan sikap klenis, yang memperlakukan wabah sampar dengan takhyul, jimat berupa kalung pelindung. Termasuk ramalan yang coba di-ilmiah-kan melalui utak-atik angka atau mengacu pada karangan Nostradamus (dokter dan astrolog Perancis yang hidup pada 1503-1566) dan Santa Odile.

Novel Sampar ini membawa pembaca untuk menyelami suasana sampar melalui tokoh utama: dokter Bernard Rieux yang pada puncak kelelahannya mengurusi epidemi, dia tiba pada kesimpulan bahwa tugasnya tidak lagi untuk menyembuhkan pasien sampar, tetapi sekedar mendiagnosis, menemukan, melihat, melukiskan, mencatat, lalu memutuskan. Kita kemudian diberitahu di  bagian akhir novel bahwa penutur dan pencerita dalam novel ini adalah Dokter Bernard Rieux sendiri.

Juta tentang Torrow, yang cermat-rajin mencatat setiap kejadian yang dilihat-didengar-dan-dialami sendiri selama periode endemi. Dan Torrow juga akhirnya meninggal dunia justru setelah periode endemi dinyatakan berakhir.

Tentang Rambert, seorang wartawan yang sebenarnya bukan penduduk asli Aron, namun terjebak di Aron akibat peraturan karantina dan isolasi kota. Awalnya bersuaha kabur dari Aron dengan alasan kerinduan kepada pasangannya. Tapi kemudian memutuskan aktif menjadi tenaga sukaralewan yang dikoordinir oleh Dokter Rieux.

Juga tentang dokter Castel yang sibuk di laboratorium untuk menemukan serum yang memiliki epicacy untuk penanggulangan sampar (tapi tidak ada gambaran tentang perusahaan produsen vaksin yang meraup uang triliunan dolar dari penjualan vaksin dalam kasus Covid-19).

Tentang Joseph Grand, yang meskipun peduli dengan sampar tapi tetap asyik dan terus terobsesi ingin menuntaskan naskah novel yang ditulisnya, dan terus sibuk mengutak-atik kalimat pertama yang pas dan eye-catching untuk naskah novelnya.

Tentang Cottard, karyawan honor di kantor kotapraja, yang digambarkan sebagai satu-satunya penduduk kota Oran, yang tampak tidak terganggu secara psikologis oleh bencana sampar. Cottard bahkan digambarkan bersekutu dengan sampar, dengan alasan-alasan personal yang tidak masuk akal.

Secara kronologis, sampar yang meyerang kota Oran, berlangsung sekitar sepuluh bulan. Munculnya tikus-tikus yang setiap hari mati awalnya berjumlah puluhan, lalu ratusan kemudian ribuan, mulai terjadi pada musim semi (sekitar Maret-April) tahun 194... (sekitar tahun 1940-an).

Pada akhir bulan Oktober tahun itu, percobaan serum pertama dilakukan terhadap pasien sampar. Tapi Sampar masih berlangsung hingga perayaan Natal, yang mengakibatkan pesta Natal lebih mirip pesta neraka dibanding pesta surga (hlm 323). Lalu pada 25 Januari, pemerintah lokal mengumumkan endemi berakhir. Disusul pembukaan pintu kota dua pekan kemudian, pada Februari.

Dan pada setiap wabah epidemi ataupun pandemi, yang sebabnya sulit dijelaskan secara rasional, selalu ada orang atau sekelompok orang yang tetap sehat dan tidak terjangkit virus wabah. Mungkin agar tetap ada orang sehat untuk menolong para pasien penderita. Fakta ini kemudian dianalogikan dengan wabah yang sebelumnya pernah melanda Marseille, Perancis. Konon, di antara delapan-puluh-satu biarawan penghuni biara La Mercy di Marseille saat itu, hanya empat orang yang selamat. Dan dari empat ini, tiga orang melarikan diri. Tinggal satu biarawan yang mengurusi tujuh puluh tujuh mayat (hlm 279). Semangat satu biarawan inilahyang coba di

Saya membayangkan dan berharap, dalam dua-tiga tahun ke depan, akan terbit banyak buku atau novel atau sekedar kumpulan catatan kronologis atau apapun bentuknya, yang bercerita tentang pandemi covid-19 di setiap kota dan kampung di Indonesia.

Karena dalam sejarah, alur dan tahapan utama setiap endemi ataupun pandemi relatif sama, serta menyimpan banyak pelajaran, yang mungkin berguna untuk menghadapi jika wabah kembali menyerang di masa yang akan datang.

Syarifuddin Abdullah | Jakarta, 27 Juni 2022/ 27 Dzul-qa’dah 1443H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler