x

ilustr: Editorial Verbum

Iklan

sapar doang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 April 2020

Jumat, 8 Juli 2022 12:57 WIB

Politik Peres di Pilpres

”Etikabilitas” politik bagi elite adalah kebutuhan vital yang menutrisi ide dan misi mereka dalam memperjuangkan marwah demokrasi dan melindungi kesejahteraan rakyat. Tapi arena Pilpres, meminjam istilah gaul, bakal menjadi ajang peres bagi politisi. Peres berarti palsu atau bohong. Para politikus kelak menjadi tukang gombal yang membungkus manuver politiknya dengan dalih: demi kepentingan rakyat, untuk persatuan bangsa, menjaga NKRI, dan sebagainya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: SAPARUDDIN, Sekum KAHMI Pasaman 2022-2027

MEMBACA (perilaku) politik elite menjelang Pilpres 2024, seperti kata novelis, penulis, dan pengajar berkebangsaan Amerika Mark Twain, seorang tahu politik, tapi tak seorang pun benar-benar memahami politik. Politik sejatinya bak cuaca yang sulit diprediksi.

Apa yang dilihat publik tak sejalan yang ada di pikiran politisi. Hari ini bilang A, tapi kelakuannya B. Di panggung depan elite seolah dekat dengan idealisme dan pikiran rakyat, namun di panggung belakang tak seperti itu. Panggung politik pun nyaris menjadi labirin yang sulit ditebak ke mana kata dan perilaku politisi bermuara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meminjam istilah gaul, arena pilpres bakal menjadi ajang peres bagi politisi. Peres dalam bahasa gaul berarti palsu atau bohong. Kerap digunakan untuk mengomentari ekspresi atau perkataan seseorang yang terkesan tidak tulus atau sekadar terucap di bibir saja. Para politikus kelak menjadi tukang gombal yang membungkus manuver politiknya dengan dalih: ”demi kepentingan rakyat”, ”untuk persatuan bangsa”, ”menjaga NKRI”, dan sebagainya.

Semuanya agar terdengar populer dan membuktikan sikap politik empatik mereka kepada rakyat. Padahal, Emanuel Adler (1986) mengatakan, politik memang tak lebih dari sekadar panggung di mana semua pihak bersaing untuk mengeruk berbagai sumber di arena publik untuk kepentingan diri/kelompok.

Beberapa waktu lalu, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri atas Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menandatangani nota kesepahaman pembentukan koalisi pada Sabtu (4/6/2022). Ketua partai salah satu anggota koalisi mengatakan, kehadiran KIB untuk menghentikan perpecahan bangsa dan mengawal kerja pemerintahan sampai 2024. Pertanyaannya, kenapa harus ada koalisi (baru) dalam koalisi (Indonesia Maju) jika tak ada agenda politik 2024 yang hendak dirajut?

Di babak lain, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, perombakan atau reshuffle kabinet oleh Presiden Joko Widodo (Rabu, 15/6) kemarin untuk memperkuat kabinet agar bisa bekerja lincah demi mengatasi persoalan pangan dan inflasi. Namun, jika memang begitu, mestinya beberapa menteri di bidang ekonomi yang minim prestasi langsung dicopot. Lalu apa makna kemarahan presiden terhadap menterinya selama ini soal ruwetnya birokrasi yang menyebabkan minimnya investasi dan gemar impor, kelangkaan minyak goreng, kenaikan harga BBM, hingga BUMN yang merugi?

Kekhawatiran

Pada saat bersamaan muncul kekhawatiran, ada pengabaian kolosal akan sikap kritis terhadap esensi politik yang dilakoni elite di panggung politik saat ini. Misalnya dari kongko dan bibir politisi yang bermanuver, belum terdengar seperti apa solusi terhadap pergumulan futuris Indonesia setelah 2024. Termasuk soal ketidakpastian ekonomi global, mengatasi potensi lonjakan Covid-19, tantangan mewujudkan ecocracy di tengah masifnya antroposen yang mengancam kelestarian lingkungan, eliminasi kemiskinan dan korupsi, upaya menjaga NKRI dalam semangat pluralisme, dan sebagainya.

Narasi mayor politisi masih soal sosok siapa yang dicalonkan menurut lembaga survei. Siapa mendukung siapa. Ambisi menjaring –sekaligus mengunci– koalisi termasuk mempertahankan dominasi kekuasaan parpol di pemerintahan. Soal unholy alliance parpol dengan kelompok sosial atau partai ”tangkap semua” (catch all) yang ”dimaklumi” sebagai bagian dari trik perluasan basis elektoral untuk pilpres dan sebagainya.

Kita melihat derasnya gelombang pasang praktik politik konvensional (berorientasi popularitas, kuasa, dan materi) para elite yang mengapitalisasi sumber daya publik (termasuk jabatan) demi mengukuhkan posisi tawar politik menjelang 2024. Beberapa elite parpol yang merangkap menteri mulai ogah berpikir tentang politik kemaslahatan, etika, moralitas, selain elektabilitas. Mereka asyik menggelinjang dalam kenikmatan vibrasi prematur perburuan elektabilitas lewat pencitraan di ruang publik dengan menggunakan jabatan yang semestinya diwakafkan untuk kepentingan masyarakat.

Bagi mereka, kontrak politik untuk mengawal dan memperkuat kinerja pemerintahan hingga berakhir di 2024 bukan panduan sakral. Namun justru dianggap menyandera syahwat dan pragmatisme kekuasaan. Itu sebabnya, ada opsi etis sebagian kalangan kepada mereka agar sebaiknya mengundurkan diri saja dari kursi menteri sehingga tidak menggembosi kerja penadbiran dan pelayanan publik. Opsi tersebut sejatinya sebuah penetrasi moral kepada para elite agar marwah dan fungsi sosial-humanis kekuasaan tidak didegradasi ke dalam ceruk urusan ”periuk nasi” para elite.

Elite dan Rakyat

Merujuk pada Karl Manheim (dalam Mufti, 2012), elite merupakan sosok sentral yang mengabdi pada kepentingan kolektivitas –bukan pada motif individu yang lapar kekuasaan–karena merekalah yang paling banyak mendapatkan kehormatan, pendapatan, dan keamanan. Di dalam kesentralan sosok seperti itulah elite (politik) kemudian menjadikan rakyat dan seluruh harapannya sebagai objek tanggung jawab dan pusat gravitasi dari keseluruhan orientasi, sikap, dan tindak tanduknya.

Dalam lingkungan demokrasi yang substantif, pertautan elite dan rakyat adalah basis utama yang menentukan perkembangan dan masa depan politik dan demokrasi Indonesia. Terkait dengannya, Pilpres 2024 seyogianya menjadi momentum bagi para elite politik melembagakan eksistensi rakyat dalam peta konkurensi, termasuk manuver politiknya. Agenda memperkuat kedaulatan rakyat, khususnya di tengah masifnya demokrasi padat modal, harus menjadi prioritas politik jangka panjang parpol.

Karena itu, kesuksesan Pilpres 2024 untuk mewujudkan narasi besar keindonesiaan yang adil, berdaulat, dan sejahtera salah satunya ditentukan oleh kemauan politik dan kematangan moral elite (khususnya dalam kabinet) saat ini dalam memikul tanggung jawab sebagai pelayan publik ketimbang pelayan diri dan kepentingan kelompok. Begitu pun, parpol harus bisa memberikan edukasi politik yang cerdas kepada masyarakat, menjaring calon pemimpin bangsa seluas mungkin di seluruh segmen masyarakat, dengan mengampanyekan pentingnya politik gagasan dan ”etikabilitas” di atas politik elektabilitas dan identitas.

Ikuti tulisan menarik sapar doang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu