x

Iklan

Evi Safitri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Mei 2022

Rabu, 13 Juli 2022 13:51 WIB

Mengedepankan Kesantunan Berbahasa Politik Bagi Kaum Politikus

Kesantunan berbahasa merupakan perilaku yang disepakati masyarakat sebagai aturan sosial. Tapi dalam politik kesantunan bisa dieksploatasi untuk tujuan di luar kesantunan. Menjadi politisi santun mungkin saja penting. Tapi jauh lebih penting menjadi politisi yang baik yang tidak menyembunyikan kepentingan tertentu. Politisi yang berani mengatakan tidak pada KKN dan teguh memegang kepercayaan rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

   

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kesantunan dan politik adalah dua kata yang menyatu dan kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pentas politik di tanah air. Citra politik seseorang dapat dirancang, dibangun dan diperkuat melalui proses kognitif dan afektif. Semua kegiatannya tentu saja tak berlepas dari media massa. Salah satu bentuk pencitraan yang dilakukan oleh para elit politik adalah “Politik Santun”.

Kesantunan berbahasa merupakan tatacara berprilaku yang disepakati oleh suatu masyarakat sebagai aturan perilaku sosial. Kesantunan tidak hanya dapat dilihat dari sisi penutur saja, tetapi juga harus memperhatikan kesan lawan tutur yang mendengarkan hal yang disampaikan penutur.

Bahasa sangat berperan penting membangun kebudayaan dan peradaban suatu bangsa, sebab bahasa sebagai tonggak sosial yang akan mengiringi masyarakat pemakainya memiliki jati diri dan karakter berlandaskan nilai bahasa yang membentuknya. Semakin baik bahasa yang digunakan, semakin mudah maksud dan pesan yang diterapkan. Sebaliknya, jika tidak terkendali bahasa yang digunakan, maka akan meluas makna yang dimunculkan. 

Sopan santun adalah salah satu anjuran para leluhur yang sudah lama diturun temurunkan sehingga menjadi aturan atau norma sosial yang kita sepakati. Namun norma sosial yang lainnya masih banyak seperti terus terang, jujur, amanah, adil, berani, tegas dan seterusnya. Dalam iklim dan dinamika politik sekarang ini rasanya kita justru lebih butuh politisi yang terbuka, jujur, berani, tegas dan amanah dalam memegang mandat dari rakyat. Jadi menjadi politisi yang santun mungkin saja penting tapi jauh lebih penting adalah politisi yang baik karena tidak menyembunyikan kepentingan tertentu, berani mengatakan tidak pada KKN dan teguh memegang kepercayaan rakyat, mementingkan kepentingan rakyat banyak ketimbang sibuk mengurusi partainya sendiri.

Realita politik yang sesungguhnya adalah ‘pertarungan kepentingan’, meski sama-sama berjuang untuk rakyat, realitanya mereka hanya mengedepankan kepentingan pribadi masing-masing dengan mengkonotasikan sebuah politik yang santun padahal rakyat sering mendengar perkataan polikus yang masihl saling sindir sana-sini dan menjatuhkan lawan satu sama lain . 

Dinamika politik kerap muncul kata-kata kasar, keras dan bahkan saling tunjuk hidung. Benturan-benturan seperti itu dengan sendirinya bisa dikurangi atau dieliminir dengan menonjolkan kesantunan para pelaksana atau pelaku kepemerintahan merumuskan segala sesuatunya dengan jelas, arah mana yang hendak dicapai dan dengan cara apa perjalanan itu ditempuh. Andai itu semua jelas dan terbuka maka kemungkinan munculnya dugaan-dugaan yang bisa dianggap sebagai kecurigaan atau bahkan fitnah tentu saja akan semakin mengecil.

Himbauan untuk berpolitik secara santun biasanya terjadi kalau pemerintah atau partai pemerintah (plus koalisi-nya) diterpa masalah. Sehingga datang serangan dari pihak lainnya. Maka mereka yang berbuat seperti itu, menyerang di kala orang lemah, mengata-ngatai dengan kalimat yang kasar akan dikecam sebagai berpolitik tanpa sopan-santun. Elite politik sering sekali mengkonotasikan sebuah permainan bahasa politik untuk membaguskan realita keadaan saat ini, mereka menyebut bahwa penggangguran menurun, ekonomi baik, dan harga-harga bahan pokok cukup bagus. Padahal, hal tersebut tak sesuai kenyataan.

Contohnya salah satu politikus saling sindir menyindir menjatuhkan lawan.

Seperti Prabowo juga mengkritik pemerintahan Jokowi yang dianggapnya tak mampu membentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Jika dianalogikan sebagai tubuh, Prabowo menyebut SDM Indonesia tak cukup mendapatkan protein.

Sandiaga pun mengkritik kebijakan impor pangan yang dilakukan pemerintahan Jokowi, padahal produksi pertanian melimpah. Tak hanya itu, Sandiaga sempat mengkritik soal harga-harga bahan pokok. Dia menganalogikan tempe setipis kartu ATM serupa kondisi perekonomian yang makin sulit.

Prabowo juga pernah disindir dengan menyatakan, pemimpin tidak boleh mencela dan merendahkan rakyatnya sendiri. Pasalnya, Prabowo pernah mengatakan para pendukungnya sebagai 'tampang Boyolali' yang tak bisa masuk hotel-hotel mahal. Prabowo pun pernah di cibir sebagai pemimpin tak boleh menghina profesi tukang ojek . Menjadi pemimpin itu harus menggelorakan martabat dan kehormatan rakyat apapun profesinya. 

Jokowi sendiri pernah menyindir pemimpin yang mengklaim diri tegas, padahal pemimpin tersebut kerap marah-marah. Menurut Jokowi, Indonesia butuh pemimpin yang mau mendengar rakyat sekaligus tegas. "Tapi tegas itu tidak sama dengan otoriter" 

Hal ini terlihat dari lebih seringnya elite politik mengeksploitasi emosi massa ketimbang mengeksplorasi keunggulan tawaran program mereka.

Mereka belum bisa mendepankan politik bahasa santun dalam ranah kampanye padahal pancasila dasar yang kita menganut lebih mengedepankan Kesantunan berbahasa. 

Sebagaimana dijelaskan kesantunan berbahasa merupakan sebuah istilah yang berkaitan dengan kesopanan, rasa hormat, sikap yang baik, atau perilaku yang pantas. Dalam kehidupan sehari-hari, keterkaitan kesantunan dan perilaku yang pantas mengisyaratkan bahwa kesantunan bukan hanya berkaitan dengan bahasa, melainkan juga dengan perilaku nonverbal. 

Ikuti tulisan menarik Evi Safitri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler