Mengembalikan Pilkada Serentak pada Khittahnya

Selasa, 14 Mei 2024 06:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pilkada harus dikembalikan pada khittahnya. Yakni sebagai jalan untuk mengejewantahkan hakikat kedaulatan rakyat, memilih para pemimpin daerah yang genuine dan berkarakter unggul, sekaligus mengonsolidasikan demokrasi substantif di tingkat lokal dengan cara-cara yang berintegritas, menjunjung tinggi etika dan berkeadaban.

Secara teoritik perhelatan Pilkada langsung adalah tuntutan yang tidak bisa dihihdari dalam kerangka mengonsolidasikan demokrasi substantif di aras lokal. Model pemilihan popular vote ini menjadi mekanisme kongkrit dalam mewujudkan hakikat demokrasi sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Melalui Pilkada langsung rakyat sebagai pemilik suara dan kedaulatan mengartikulasikan pilihan politiknya dengan tidak mewakilkannya lagi kepada anggota DPRD. Suatu mekanisme jadul yang kerap mendistorsi dan mereduksi suara-suara rakyat.

Namun dalam praktiknya, berbagai gejala distorsif hampir selalu terjadi dalam setiap perhelatan Pilkada di berbagai daerah. Gejala-gejala distorsif ini menjadi sisi gelap dari jalan terang menuju demokrasi yang sesungguhnya yang disediakan oleh Pilkada langsung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diantara gejala-gejala distorsif itu adalah praktik Mahar Politik dan Politik Uang yang lazim terjadi sepanjang fase kandidasi, kampanye, masa tenang, serta pemungutan dan penghitungan suara. Dan fenomena Politik Dinasti, Roving Bandits, dan Shadow State yang kerap terjadi pasca Pilkada digelar dan Paslon terpilih dilantik.

Khusus terkait isu Dinasti Politik. Temuan banyak riset di berbagai daerah, gejala ini biasanya bahkan sudah berlangsung di fase pra-kandidasi hingga Pilkada usai, dan pemerintahan daerah baru terbentuk. Lalu berlanjut secara siklis dari periode ke periode Pilkada dan pemerintahan berikutnya.

 

Potensi Terulangnya Kembali Berbagai Distorsi

Tahapan dan jadwal Pilkada serentak 2024 sudah dilaunching oleh KPU RI akhir Maret lalu. Pertanyaan krusial saat ini, mungkinkah berbagai gejala distorsif sebagaimana telah dibahas pada tiga artikel sebelumnya masih akan terulang kembali pada Pilkada serentak 2024 dan setelahnya?

Tanpa bermaksud menyebar virus pesimisme politik, potensi terjadinya kembali distorsi demokrasi elektoral itu jelas sangat terbuka. Terutama berkenaan dengan isu mahar politik, politik uang dan revivalisme politik dinasti. Ketiga isu ini tidak akan mudah dihalangi kemunculannya karena beberapa argument berikut.

Pertama, watak pragmatis dan oportunis elit partai politik yang semakin mengeras. Kita tahu, proses kandidasi Pilkada sangat didominasi oleh kewenangan dan peran sentral partai politik. Para elit partailah yang akhirnya bakal menentukan figur-figur calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Baik di Provinsi maupun Kabupaten dan Kota. Dan pertimbangan kunci proses seleksi kandidasi itu adalah seberapa besar kesanggupan para bakal calon menyediakan political cost.

Bagi para elit partai, kesiapan para bakal calon menyediakan ongkos politik itu nampkanya akan dinilai jauh lebih berguna dalam kontestasi Pilkada ketimbang modalitas yang serba abstrak seperti kepribadian dan integritas, kompetensi, atau gagasan-gagasan otentik dari figur-figur potensial kepemimpinan di daerah.  

Kedua, sikap permisif sekaligus juga watak pragmatis masyarakat (pemilih) sendiri dalam memaknai proses kontestasi Pilkada. Mayoritas masyarakat pada umumnya menganggap praktik mahar politik dan politik uang serta kehadiran politik dinasti sebagai hal yang sudah normal dan wajar. 

Sikap permisif itu semakin menjadi-jadi ketika masyarakat dihadapkan pada praktik-praktik kontestasi elektoral yang secara materil dianggap “menguntungkan.” Politik uang adalah bentuk paling kongkretnya. Dalam koneks ini watak pragmatis para elit dan figur-figur calon yang ditawarkan bersitemu dengan watak pragmatis yang sama dari masyarakat (pemilih).

Pada sebagian yang lain mungkin bukan permisif, melainkan lebih ke sikap apatis, masa bodoh karena menganggap siapapun paslon terpilih tidak akan membawa perubahan berarti bagi kehidupan pribadi dan keluarganya.

Ketiga, khusus terkait isu kebangkitan (revivalisme) politik dinasti, pada Pilkada serentak 2024 ini nampaknya bakal kian marak dan menguat di berbagai daerah. Selain karena sudah banyak contoh pendahuluan dan berlangsung dalam beberapa kali Pilkada sebelumnya sejak digelar pertama kali tahun 2005 silam.

Fakta majunya Gibran, putra Presiden Jokowi yang masih aktif, sebagai Cawapres dan kemudian terpilih dalam perhelatan Pilpres kemarin nampaknya akan menjadi semacam alasan “pembenar” bagi para petahana untuk tidak ragu-ragu lagi saling mendorong dan mempromosikan anggota keluarga atau kerabatnya maju melanjutkan kekuasaan di daerah masing-masing.

 

Ikhtiar yang Dapat Dilakukan

Pertanyaan berikutnya, lantas bagaimana dan upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk meluruskan berbagai gejala distorsif itu supaya jalan terang demokrasi tidak terus menerus digelapi oleh penyimpangan-penyimpangan demokrasi elektoral, baik sebelum dan saat pelaksanaan atau sesudah perhelatan Pilkada berakhir?

Hemat saya, sedikitnya ada tiga pendekatan atau upaya yang bisa dilakukan. Mungkin tidak akan cukup efektif mengingat berbagai distorsi itu, seumpama penyakit, sudah sedemikian akut dan menahun. Tetapi sebagai upaya hal ini tetap perlu ditempuh untuk memastikan bahwa bangsa ini tidak menyerah pada keadaan. Ketiga pendekatan dimaksud adalah sebagai berikut.  

Pertama, pendidikan politik Pemilih atau secara lebih spesifik penguatan literasi Pilkada. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan dan memperkuat kesadaran kritis Pemilih. Melalui langkah ini para pemilih diharapkan menjadi lebih aware dan kritis secara politik sekaligus lebih rasional dan cerdas secara elektoral.

Dengan kesadaran politik yang memadai sekaligus literasi Pilkada yang kuat, para pemilih diharapkan memiliki otonomi dan keberanian untuk secara kritis dan rasional memberikan suaranya kepada figur-figur pasangan calon yang relatif steril dari praktik-praktik busuk mahar politik dan politik uang, serta berani membebaskan diri dari kecenderungan menjatuhkan pilihan pada figur-figur pasangan calon yang berasal dari jejaring politik dinasti.    

Pendidikan politik atau penguatan literasi Pilkada ini dapat dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat sipil yang potensial memiliki sumberdaya yang memadai. Mulai dari kampus, para pegiat Pemilu independen, organisasi masyarakat non-partisan, dan lain-lain.

Kedua, penguatan dan konsolidasi elemen-elemen civil society (masyarakat sipil) sekaligus mendorong mereka (baik orang perorang maupun kolektif melalui berbagai organisasi atau asosiasi) untuk secara assertif menyuarakan dan mengkampanyekan pentingnya praktik-praktik tidak sehat dalam Pilkada diakhiri. Langkah ini dilakukan secara simultan dengan ikhtiar memperkuat kesadaran politik masyarakat dan penguatan literasi Pilkada di kalangan para pemilih.

Ketiga, jika masih percaya, membangunkan kesadaran para elit partai dari “tidur panjang” menganggap praktik-praktik mahar politik, politik uang dan politik dinasti sebagai dinamika yang normal dan tidak berimplikasi buruk terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik di daerahnya.

Selain itu juga penting untuk mendesak mereka agar bersedia membangun komitmen bersama dengan berbagai stakeholder Pilkada (penyelenggara terutama Bawaslu yang akan mengawasi seluruh tahapan kegiatan Pilkada, antar partai dan internal partai masing-masing, tokoh-tokoh yang berniat maju ke arena kontestasi, dan masyarakat sipil) untuk mengawal dengan sungguh-sungguh dan memastikan praktik-praktik distorsif demokrasi elektoral diakhiri.

Sudah saatnya perhelatan demokrasi elektoral di aras lokal (Pilkada) dikembalikan pada khittohnya. Yakni sebagai jalan untuk mengejewantahkan hakikat kedaulatan rakyat, memilih para pemimpin genuine dan berkarakter unggul, sekaligus mengonsolidasikan demokrasi substantif di tingkat lokal dengan cara-cara yang berintegritas, menjunjung tinggi etika dan berkeadaban.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler