x

Gambar oleh Sasin Tipchai dari Pixabay

Iklan

Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau)

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Agustus 2020

Jumat, 22 Juli 2022 13:15 WIB

Gagasan Alternatif Paulo Freire: Pendidikan Kemanusiaan

Paulo Freire menawarkan metode pendidikan dialogis antara guru dan murid di ruang kelas untuk mencipta manusia kreatif. Pendidikan timbal balik menempatkan guru dan murid sama-sama belajar. Guru belajar dari murid perihal bagaimana murid berkembang menjawab secara kritis-kreatif masalah yang ada di sekelilingnya. Sebagaimana pernah diungkapkan Ki Hadjar Dewantara bahwa “Setiap orang adalah guru, setiap tempat jadikan sekolah”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gagasan Paulo Freire yang menyejarah akrab dikenal dengan “Pendidikan Kaum Tertindas”. Buah pikirnya telah banyak menyumbang perubahan bagi dunia, khususnya di negaranya, Brazil. Pendidikan yang dimaksud Freire berbeda konsep dengan pendidikan pada umumnya yang dianggap dangkal dan justru menambah persoalan umat manusia.

Baginya, pendidikan mainstream acap kali menghasilkan manusia-manusia yang “tunduk” atas realitas palsu. Keadaan di mana individu tidak mampu membaca akar persoalan lalu mengubahnya. Freire menyebutnya kondisi itu kesadaran “magis” dan “naif”.

Kesadaran magis mengganggap bahwa segala sesuatu yang dialami adalah kehendak Tuhan (takdir), maka tidak perlu ada upaya mengubah. Sementara, kesadaran naif berpandangan bahwa persoalan sosial yang ada hanyalah soal individu lepas individu jadi tidak perlu diambil pusing untuk mengubahnya, cukup mengubah diri sendiri aja. Pada titik itu, kemerdekaan tidak ada di dalam diri mereka, tetapi terkungkung oleh sistem yang menindas tanpa disadari. Itulah yang diamatinya di Brazil.

Meski penelitiannya di Brazil, akan tetapi kondisi serupa terjadi di banyak negara berkembang lain, termasuk di Indonesia. Di mana pendidikan dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan penguasa dan akumulasi kapital. Kita bisa amati sendiri mengapa pendidikan Indonesia terkesan hanya untuk mencari kerja. Bukan untuk menjawab persoalan sosial yang ada di lingkungan sekitar.

Bagi Freire, pendidikan semacam itu mendesain manusia demi kebutuhan roda ekonomi kapitalistik. Individu tidak lagi bisa memilih secara bebas bagaimana ia harus hidup sebab sistem yang berlaku. Manusia dipaksa menjalani hidupnya atas kehendak penindas. ​Berangkat dari analisa tersebut, Freire berkesimpulan penting adanya suatu pendidikan alternatif.

Pendidikan yang mampu merangsang manusia merdeka atas hidupnya. Pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis, agar manusia mampu menjawab persoalan di lingkungannya secara kreatif.

Untuk menciptakan manusia yang kreatif, metode pendidikan yang ditawarkan Freire di ruang kelas adalah dialektika atau hubungan timbal balik antara guru dan murid. Pendidikan timbal balik menempatkan guru dan murid sama-sama belajar. Guru pun perlu belajar dari murid perihal bagaimana murid berkembang menjawab secara kritis-kreatif masalah yang ada di sekelilingnya. Konsep ini dikenal juga dengan “pendidikan hadap-masalah”.

Sebagaimana pernah diungkapkan Ki Hadjar Dewantara “Setiap orang adalah guru, setiap tempat jadikan sekolah”.

Selama ini kita menyaksikan pendidikan yang menempatkan guru sebagai orang yang paham segalanya dan tidak pernah salah. Sementara murid seorang bodoh yang harus menurut apa yang diperintah oleh sang guru. Sifatnya instruktif. Akibatnya para murid terkekang dan menjadi pribadi minim kreativitas. Penurut yang selalu mengikut perintah tanpa mempertanyakan kebenaran dan makna dari sesuatu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berdasarkan hasil penelitian Freire, kondisi pendidikan seperti itu menjadi sumber masalah bangsa; kebodohan, kemiskinan, korupsi, dan lainnya. Sebab tanpa sumber daya manusia yang merdeka, beradab, kritis-kreatif maka kesewenangan kaum penguasa serakah menjadi paripurna melangsungkan aksinya, menindas.

Atas dasar pengamatan itu, Freire, dalam seri tulisannya yang lain, mengagas perlunya “Pendidikan yang Membebaskan”.

​Lalu, bagaimana dengan konteks pendidikan di Indonesia? Kita ketahui bersama, pendidikan masih menjadi persoalan pelik yang tak kunjung terselesaikan. Kebodohan masih membayang-bayangi perjalanan bangsa menuju cita-cita bernegara.

Tak pelak, membuat upaya mewujudkan masyarakat adil makmur sebagaimana tujuan bernegara yang digagas bapak pendiri republik mengalami stagnasi. Begitulah vitalnya peranan pendidikan dalam mencipta manusia berkualitas. Para pemerhati pendidikan mendiagnosa penyebabnya beragam, mulai dari sebab kultur feodalistik hingga sistem kapitalistik.

Perpaduan keduanya mengakibatkan persoalan pendidikan di Indonesia begitu kompleks. Bermacam cara silih berganti diuji coba untuk menjawab persoalan ini. Bahkan, muncul istilah “Berganti rezim pendidikan, berganti pula sistem pendidikannya”. Namun sayangnya, belum tampak hasil memuaskan. Situasi yang membuat kita berpikir perlu jalan alternatif seperti gagasan pendidikan Paulo Freire.

Kajian pemikiran pendidikan Paulo Freire memang berjibun dan menarik perhatian pemerhati pendidikan di Indonesia. Banyak yang sepakat dengan ide pendidikan harus memanusiakan manusia, konsep pendidikan yang membebaskan perlu diterapkan di Indonesia, dan lain sebagainya. Meski begitu, buku pengembangan pendidikan kritis dalam konteks Indonesia terbilang langka. Satu di antaranya adalah buku seorang pemikir muda Mi’raj Dodi Kurniawan berjudul Pembaharuan Pemikiran Pendidikan Paulo Freire.

Buku ini bukan hanya mendedah inti pemikiran pendidikan Paulo Freire, melainkan juga mengurai sistematis sosok Paulo Freire yang melatari pemikirannya. Pembelajaran akan konteks pemikiran tersebut menjadi penting, karena akan mendorong kita berpikir reflektif sesuai kondisi pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, gagasan besar Freire tersebut akan berguna bagi Indonesia.

Gagasannya bukan sebatas mempelajari wacana, melainkan dapat dipraksiskan, baik melalui pendekatan kultur maupun sistem pendidikan. Memaknai pendidikan tidak lagi sebatas melek membaca, menulis dan berhitung (Calistung). Akan tetapi mencipta kesadaran kritis akan hakikat manusia, mampu menganalisa lingkungan sosial dan mengatasinya, serta terpenting memperjuangkan kemanusiaan.

Karya intelektual ini patut diapresiasi. Sebab tanpa wacana yang memadai, sekadar berimajinasi tentang perubahan dunia pendidikan yang kita inginkan pun akan sulit.Lebih-lebih mempraksiskannya, barangkali masih sangat jauh.

Kehadiran buku ini memberi secercah harapan. Semoga para pegiat pendidikan lainnya terpantik untuk turut menulis gagasannya tentang pendidikan kritis yang relevan dengan konteks Indonesia.

Kajian berkualitas dan memadai merupakan prasyarat utama mendorong perubahan pendidikan indonesia secara bertahap maju.

Bak catatan Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia”. Namun itu saja tidak cukup, dengan cermat Paulo Freire menambahkan catatan Mandela tersebut, bahwa “Pendidikan bukan hanya mengubah dunia, tapi pendidikan harus mengubah manusianya dulu, baru kemudian manusia akan mengubah dunia”.

Ikuti tulisan menarik Janwan S R Tarigan (Penggembala Kerbau) lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB

Terkini

Terpopuler

10 Mei 2016

Oleh: Wahyu Kurniawan

Kamis, 2 Mei 2024 08:36 WIB