x

Gambar oleh jodeng dari Pixabay

Iklan

jihan ristiyanti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 April 2022

Rabu, 27 Juli 2022 07:47 WIB

Kilometer

Jarak yang sebenarnya, bukan terletak pada satuan kilometer. Tapi, keraguan yang bersemayam dalam dirimu. Rasa ragu yang menahanmu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagian 6, baca bagian 5.

Hari berjalan dengan lamban, saat kau menunggu sesuatu. Sebaliknya, jika kau berjalan tanpa beban, hari ini, esok atau lusa akan terasa lebih ringan dan cepat berlalu.

Maria masih menunggu kabar laki-laki itu. Hingga suatu siang yang terik, saat ia tengah berada di kantor PMI (Palang Merah Indonesia) untuk melakukan wawancara terkait donor plasma konvalesen. Gawainya berdering, tertulis kontak bernama 'Pak' dengan simbol hati.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maria menghentikan langkahnya saat menaiki anak tangga. Mempersilahkan kawannya naik terlebih dulu. Seorang temam nyeletuk, " Pacar?". Maria hanya membalas senyum, meski ia ingin mengatakan, 'Iya'.

Gadis itu mengangkat gawainya, dari balik telepon terdengar suara Arsyad. 'Pak' adalah panggilan Maria untuk lelaki itu. Tanpa berbasa-basi, Arsyad bertanya, dimana Maria. Ia tak memberi penjelasan, kenapa ia tak ada kabar beberapa hari ini dan kenapa ia tak kembali meneleponnnya malam itu. Maria hanya menjawab ketus, seadanya. Meski, dibenaknya tersimpan ratusan pertanyaan.

Kenapa laki-laki di seberang telepon itu tak ada kabar, bahkan hampir seminggu?

Apa dia memutuskan untuk menjauh?

Apa gadis itu melakukan kesalahan?

Atau barangkali, Arsyad justru merasa semuanya baik-baik saja, karena memang nyatanya mereka tidak terikat hubungan.

Sudahlah, roll kertas printer belanjapun, rasanya tidak akan cukup untuk menulis pertanyaan di benak gadis itu.

"Aku sedang di PMI, ada apa? Jawab Maria ketus.

Arsyad juga menjawab singkat. Ia menutup telepon dan mempersilakan Maria melanjutkan kegiatannya.

Gadis itu, makin kesal.

"Kan lagi marah, kenapa malah dicuekin balik? Nggak dibujuk? Ngeselin! ", ucap Maria di telepon yang sudah terputus.

Baru saja ia akan memasukkan gawainya, telepon kembali berdering. Kali ini, panggilan yang tidak diharapkan, bosnya. hehe. 

" Ada berita bagus apa hari ini,? " Ucap suara di seberang telepon dengan nada perintah sedikit bertanya. Artinya, kita harus punya berita bagus hari ini.

Maria berbicara sebentar dan menutup teleponnya. Ia bergegas naik ke lantai 2 untuk melakukan wawancara. Hari sudah menunjukkan pukul 2, waktu untuk melaporkan lis berita. 3 berita telah Maria susun, tinggal menambahkan beberapa poin ke dalamnya. Yang lainnya, masih berada di benaknya. Berantakan. Seperti perasaannya hari ini.

Sial benar, si bos justru memilih berita yang belum Maria tulis untuk naik cetak. Gadis itu bergegas mencari tempat untuk mengetik berita. Belum selesai ia mengetik di layar ponselnya. Teleponnya kembali berdering. Ia berhenti mengetik dan mengangkat telepon. Di balik layar, seorang laki-laki sedang mengumbar senyum, sekali lagi bertanya dimana Maria. Senyum yang selalu Maria suka, tapi tidak hari ini. Setidaknya, ia  tidak ingin menunjukkannya.

Perasaannya sedang kesal, tapi lelaki itu tak mengerti. Mereka berbicara singkat, lalu mematikan telepon. Maria memandangi  telepon yang sudah terputus itu, tak lain dari Arsyad. Gadis itu menyesal telah berbicara ketus, dan tidak mendengarkan Arsyad.  Ternyata, siang tadi, Arsyad tengah berada di kota tempat Maria. Ia ingin bertemu. Maria juga tak tahu, kenapa ia mengacuhkan laki-laki yang sangat ia rindukan itu. Ia  hanya kesal, lantaran Arsyad tak ada kabar beberapa hari. Ia kesal Arsyad tidak kembali menelponnya, saat ia bilang akan menelpon.

Sepertinya, gadis itu makin sensitif. Pada apa-apa yang berhubungan dengan Arsyad. Suasana hatinya jadi mudah berubah.

Beberapa hari setelahnya, mereka mengambil janji untuk bertemu. Arsyad datang menjemput Maria. Seperti biasa, lelaki itu selalu melontarkan senyum. Tentu saja, Maria tidak membalasanya. Bukan karena ia tak ingin, tapi Maria masih marah. Ia tidak ingin menunjukkan kerinduannya. Berbiacara seperlunya.

Aku ingin memelukmu saat itu, merengek sembari bertanya akan banyak hal. Tapi, kemarahannku, mencegahku.

Tak seperti biasa, pertemuan mereka berlangsung singkat. Maria meminta segera pulang karena satu dan lain hal. Ia hanya ingin menunjukkan, bahwa ia sedang marah. Arsyad sempat bertanya, kenapa dengan sikap gadis itu, mengapa ia jadi mudah marah akan hal-hal kecil.

Maria sendiri tidak tahu, dia selalu acuh pada banyak hal. Tapi tidak tentang Arsyad. Ini pengecualian. Dia tidak bisa mengendalikan perasaannya. Ia marah dan rindu secara bersamaan. Ia hanya menahannya,  karena Maria tahu, Arsyad tak juga memberi kepastian akan hubungan mereka. Sedang gadis itu tak cukup berani menanyakannya. Lucu sekali, sosok yang biasa bertanya tentang banyak hal di lini kehidupannya, mala ciut nyali untuk bertanya, perihal status hubungan mereka.

Sepulang dari pertemuan itu, tiba-tiba Arsyad memberi Maria plastik hitam. Gadis itu bingung, dan bertanya, apa isinya.

"Nggak tahu, dari ibu," tutur Arsyad.

Selepas Arsyad pergi. Gadis itu tertawa kecil sembari senyum-senyum sendiri.

"Dasar pria konyol. Apa kau tahu, jika aku tengah marah. Apa ini sogokan?", Ucap Maria sembari senyum-senyum.

Sebuah tas kecil dengan gantungan boneka bertulis I Love Cony ada dibalik bungkus plastik hitam itu. Maria tidak berhenti tersenyum melihat hadiah dari Arsyad. Ia tertawa karena iya yakin, pasti itu bukan hadiah dari ibu Arsyad. Apalagi, ia belum pernah bertemu dengan sosok yang telah melahirkan lelaki yang ia suka itu.

"Dari ibu, yang benar saja. Pasti bohong. Pasti dari dia." ucap Maria.

Kemarahannya menghilang. Ia suka dengan hadiahnya. Terlebih gantungan kunci yang tergantung di tas. Tapi, Maria lebih suka, jika kalimat yang tertara di gantungan kunci, keluar dari mulut lelaki itu.

Hubungan mereka kembali baik, tapi itu tidak lama. Beberapa hal membuat mereka kembali berselisih. Perselisihan yang bahkan tidak dimengerti Maria. Alangkah baik, jika mereka saling berbicara. Tapi keduanya memilih saling mendiamkan. Kali ini, bahkan mereka tak saling berkabar hampir satu bulan, meski keduanya tetap aktif di lini sosial media masing-masing.

Meski tak saling memberi kabar, Maria selalu memikirkan lelaki itu. Ia hanya menahan diri. Kembali ia bertanya-tanya. Apakah ia membuat kesalahan? Maria tak menemukan jawabannya, hanya menduga-duga. Tapi gadis itu tak berani bertanya. Semuanya serba tiba-tiba. Mereka saling mendiamkan. Maria bahkan melewatkan hari kelulusan Arsyad, meski ia telah mempersiapkan hadiah untuk lelaki itu. Ia mendiamkan hadiah itu di laci kamarnya, melihat lini stori Arsyad tengah memakai toga.

Kenapa ada makhluk sekeras kepala keduanya?

Bersambung.

Ikuti tulisan menarik jihan ristiyanti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler