x

Ilustrasi pedagang pakayan bekas impor. Foto- Getty Images.

Iklan

djohan chan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2019

Senin, 26 September 2022 17:16 WIB

Pro dan Kontra Penjualan Pakaian Bekas Impor

Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen Kementrian perdagangan (Kemendag) melakukan razia atas Niaga Pakaian bekas, hasil impor yang diperdagangkan di sejumlah pangsa pasar Indonesia. Selain ilegal, bisnis ini dianggap mempengaruhi nilai penjualan pakayan jadi (Garmen) industri dalam negri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen Kementrian perdagangan (Kemendag) melakukan razia pakaian bekas impor yang diperdagangkan di sejumlah pasar Indonesia. Selain ilegal, bisnis ini dianggap mempengaruhi nilai penjualan pakaian jadi (garmen) industri dalam negeri.  

Menurut Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan razia dan penangkapan pakaian impor bekas itu dilakukan oleh Perlindungan Konsumen Kemendag, karena ilegal. Sebagaimana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014, dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/M-DAG/PER/ 7/ 2015, tentang larangan impor pakaian bekas, dan jika sudah masuk ke Indonesia harus dimusnahkan. 

Penangkapan itu dilakukan di digudang penyimpanan pakaian impor bekas milik para pedagang, diluar wilayah areal Kepabeanan Bea dan Cukai. Setelah penangkapan, barang tersebut dimusnahkan, dengan cara dibakar. Hal ini dilakukan, untuk menjaga stabilitas produksi dan industri garmen dalam negri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pakaian bekas dari luar negeri yang dijual pada sejumlah tempat dan wilayah di Indonesia itu, nilainya cukup murah. Contoh celana panjang jin, merek Levi’s kalau di toko harganya  sekitar Rp 300.000-an. Kalau di kedai penjualan pakaian bekas harga jualnya bekisar Rp 75.000 hingga Rp 125.000. Demikian juga baju jin dengan merek luar negeri, kalau di tempat penjualan pakaian bekas harganya Rp 50.000 – 75.000. Celana pendek jin a. Rp 30.000 – 50.000.

Dengan demikian kecendrungan masyarakat papan bawah untuk membeli pakaian bekas impor lebih tinggi, karena faktor keterbatasan ekonomi. Para pedagang pakaian bekas berharap agar Permen Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021, sebagaimana telah diubah dengan Permen Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022, tentang larang impor Pakayan bekas, lebih ditekankan pada pelaku impor untuk membayar pajak kepada negara.

Menurut para pedagang kecil mereka berjualan pakaian bekas untuk kehidupan keluarganya dan membiayai anak yang masih sekolah. Adapun pakaian bekas yang mereka jual itu dari hasil membeli dari agen yang ada hubungannya dengan pelaku impor. “Sesuai kemampuan pakaian bekas itu paling banyak bisa kami beli 5 hingga 10 bal saja. Dalam satu bal pakaian bekas itu hanya berisikan 100 – 300 potong pakaian campuran,” kata sumber.

Kemendag juga mengklaim larangan tersebut dilakukan dengan alasan kesehatan. “Berdasarkan tes laboratorium menunjukkan pakaian bekas itu mengandung jamur berbahaya untuk kesehatan kulit manusia, ” kata Zulkifli Hasan.

Adinda Tenriangke Muchtar dari The Indonesian Institute (TII) menolak larangan impor pakayan bekas tersebut. Menurut dia penjualan pakaian bekas itu merupakan salah satu solusi usaha untuk hidup dan kehidupan pengusaha ekonomi lemah. Penjualan pakaian bekas itu tidak mungkin menimbulkan dampak pada industri tekstil Indonesia. Karena yang membeli pakaian bekas itu dari kalangan papan bawah, yang ekonominya terbatas. Untuk itu, selayaknya Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan juga mendukung Usaha Kecel Menengah (UKM).

“Usaha penjualan atau toko barang bekas (Thrift Shop) sudah tumbuh dan berkembang sejak lama. Dengan demikian penjualan pakaian bekas impor tersebut bisa dibilang bukanlah pasar gelap. Sebagian besar dikelolah oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang sudah beroperasi sejak 30-an tahun yang lalu, dan memiliki pangsa pasarnya sendiri. Sedangkan Kemendag hanya melarang impornya saja,” kata Adinda.  

Menurut Adinda, pasar penjualan baju impor bekas seharusnya tetap ada tanpa intervensi pemerintah. Yang terpenting melakukan penegakan hukum terhadap pelaku impor pakaian bekas, misalnya melalui pengecekan di bea cukai dan dengan menuntut tanggung jawab penjual untuk menanggulangi persoalan isu kesehatan, membayar pajak. Demikian halnya dengan pedagang, ketika dia menerima barang bekas, seyogyanya ikut mencuci pakaian itu, sebelum dijual. 

Menurut Adinda pemerintah tidak boleh membatasi kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya. Karena, tidak semua masyarakat Indonesia berkantong tebal untuk membali baju baru dari toko yang harganya cukup tinggi. Dengan demikian ada baiknya pasar tetap dibiarkan, dengan memberikan edukasi ke konsumen, membeli baju bekas impor, dengan harga terjangkau.

Sementara itu Hasran dari Center for Indonesian Policy Studies berpandapat, “Pelarangan impor pakaian bekas ini diperlukan karena industri tekstil dalam negeri akan kalah bersaing. Mengingat, harga pakaian bekas yang impor ini tentunya lebih murah. Memang ini akan sangat berdampak bagi usaha industri tekstil tanah air, jika impornya tidak diatur,” kata Hasran.

Kementerian Perdagangan beberpa bulan terakhir gencar menyita pakaian bekas impor bernilai miliaran rupiah. Demikian-halnya Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai ikut melakukan penangkapan dan menyita serta musnahkan pakayan bekas impor tersebut. Contoh semisalnya yang terjadi beberapa waktu lalu. 222 bal pakaian bekas impor yang dikirim lewat jalur laut Pontianak, Kalimantan Barat, berhasil ditangkap di terminal domestik Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, kata Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Semarang, Sucipto, di Semarang, Rabu.

Selain itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga memusnahkan pakaian bekas impor senilai Rp 9 miliar di wilayah Karawang, Jawa Barat, dengan cara dibakar. Penangkapan dan penyitaan pakayan bekas impor yang dilakukan Kementerian Perdagangan itu dari gudang pengecer, tapi bukan dari wilayah Bea dan Cukai.

Penangkapan dan penyitaan pakaian bekas impor dari gudang para penjual pakayan bekas tersebut membawa dilema tersendiri bagi pedagang sebagai pengusaha kecil. Pedagang pakaian bekas berharap agar DPR dapat membela rakyat, dengan cara merefisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014, Peraturan Permendag Nomor 51/M-DAG/PER/ 7/ 2015, yang telah diubah dngan Permendag Nomor 18 Tahun 2021, sebagaimana telah diubah dengan Permen Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022, tentang larang impor Pakaian bekas.***

Ikuti tulisan menarik djohan chan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler