x

Iklan

Mochamad Bayu Ari Sasmita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Oktober 2022

Senin, 10 Oktober 2022 06:23 WIB

Cerita Mimpi Ke-114

Sebuah cerpen yang saya susun kembali dari salah satu mimpi saya yang berhasil tercatat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Begitu sadar, kamu tiba-tiba berada di suatu padang pasir tandus yang begitu luas dan berangin. Kamu melihat ke sekeliling, tapi tak melihat satu pun bangunan-bangunan tinggi menjulang ke langit yang telah dibangun umat manusia untuk menunjukkan kehebatan-kehebatan mereka. Kamu tiba-tiba teringat Adam yang menurut kitab suci adalah manusia pertama yang sempat tinggal di surga kemudian menjadi makhluk terusir setelah diperdaya oleh iblis. Kamu merasa bahwa dirimu serupa Adam yang terkucil seorang diri tapi bukan di surga melainkan di sebuah hamparan padang pasir tandus yang begitu luas. Kamu mulai bangkit, melangkah, meninggalkan titik tempatmu berdiri, sambil berpikir tentang kemungkinan adanya Hawa dan Azazel di depan sana.

Setelah berjalan beberapa langkah, kamu berhenti dan hatimu tergerak untuk menunduk sebentar, untuk memastikan kondisi penglihatanmu. Kamu ragu dengan yang kamu lihat, kamu merasa bahwa pandanganmu telah mengelabuhimu. Tapi tidak sama sekali. Kamu memang melihat seorang perempuan berambut panjang dan berwarna keemasan terbaring di atas pasir. Kamu dekatkan jari telunjukmu ke dekat lubang hidungnya untuk memastikan apakah dia masih hidup atau sudah mati. Ada udara yang keluar dari sana meskipun begitu tipis. Kamu coba bangunkan perempuan itu dengan kata perintah, “Bangunlah! Bangunlah!” Tidak ada respons. Dia tetap berbaring dalam kondisi tak sadarkan diri. Kamu ulangi perkataanmu, “Bangunlah! Bangunlah!” Perempuan itu tidak bereaksi sama sekali, bahkan setelah kamu panggil dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.

Akhirnya kamu hanya duduk di sampingnya, mungkin beberapa saat lagi perempuan itu akan bangun dan bisa saja kamu mendapatkan informasi tentang yang terjadi di dunia ini. Sekali lagi, kamu mengenang kisah Adam yang diceritakan guru agama di sekolah. Menurutnya, Adam sedang tertidur pulas di taman surga ketika Tuhan datang kepadanya dan mencabut satu tulang rusuknya untuk menciptakan Hawa. Begitu bangun, manusia pertama itu terkejut karena melihat ada orang lain di sekitarnya, tentu dia tidak menganggapnya sebagai neraka sebagaimana yang dimaksud salah satu filsuf yang sedikit kamu kenal dari kelas-kelas yang diampu seorang profesor yang kamu kagumi. Kamu tergelitik dengan gagasanmu sendiri, “Apakah cerita akan berputar seratus delapan puluh derajat? Ketika dia bangun, mungkin dia akan terkejut mendapatiku ada di sisinya.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi kamu bukan Adam. Ayahmu memberikan nama Abel untukmu, manusia pertama yang terbunuh oleh saudaranya sendiri dan kelak akan ditemukan bahwa begitu banyak kisah perselisihan antarsaudara di berbagai tempat di muka bumi. Darah lebih kental daripada air, begitu kata mereka yang pernah kamu dengar beberapa kali sepanjang hidupmu sebelum secara tiba-tiba berada di padang pasir tandus itu. Ayahmu tidak memberitahu alasan pemberian nama itu. Bahkan ketika kamu bertanya, dia tidak memberimu jawaban yang memuaskan. Dia menjawabnya dengan sedikit bergurau, “Persembahan Abel diterima Tuhan, sementara persembahan Kain tidak.” Ketika kamu protes bahwa Abel mengalami akhir yang mengenaskan, ayahmu menjawab, “Karena takdir tragis yang dialami Abel, manusia jadi tahu cara mengurus tubuh manusia yang tidak bernyawa lagi.” Jawaban itu tidak pernah memuaskanmu.

Kemudian kamu mendengar sebuah bisikan yang entah dari mana, mungkin dari Azazel yang menjelma ular tak kasat mata, “Seperti dalam cerita dongeng, ciumlah dan perempuan itu akan tersadar dari ketidaksadarannya.”

Kamu menganggap hal itu mungkin saja terjadi, tapi mungkin juga tidak. Terlebih bagimu kehidupan tidak sama dengan dunia dongeng meskipun ada pelajaran yang dapat diambil darinya. Kamu menolak gagasan itu dan memilih untuk membangunkannya sebagaimana cara ibumu membangunkanmu agar tidak terlambat untuk pergi ke sekolah di masa lalu. Kamu memegang kedua pundak perempuan itu dan mengguncang-guncangkannya sambil berkata, “Bangunlah! Bangunlah jika kau masih hidup!” Kamu terus mengulanginya tanpa menghitungnya sampai kemudian kamu berhenti melakukannya setelah melihat secara perlahan kedua mata perempuan itu terbuka. Bola matanya berwarna biru, berbeda dengan bola matamu yang kecokelatan. Bibirnya juga perlahan terbuka dan berkecap-kecap, sepertinya dia baru saja meninggalkan sebuah mimpi yang menyenangkan, yakni mimpi ketika dia memakan sepotong kue tar yang disajikan oleh ahli kue terkemuka atau hadiah ulang tahun dari kekasihnya. Seperti ketika kamu baru saja tersadar, dia juga melihat ke sekelilingnya dan mendapati bahwa hanya ada hamparan pasir di segala penjuru.

Perempuan itu kemudian melihat kepadamu dengan kebingungan dan bertanya dengan suara yang lemah lembut, seperti orang yang sudah tiga hari tiga malam tidak mengisi perutnya dengan makanan sedikit pun, “Siapa kamu?”

“Dan,” katanya lagi, tetap dengan suara yang lemah lembut, “di mana ini?”

“Aku hanya bisa menjawab soal yang pertama,” katamu, “tapi tidak dengan yang kedua karena aku juga tidak tahu. Namaku Abel,” katamu. “Siapa namamu?”

“Aclima. Namaku Aclima.”

Mendengar nama perempuan itu, kamu mengusap punggung lehermu. Teman terdekatmu pernah mengatakan kepadamu bahwa itu adalah kebiasanmu ketika kamu merasakan sebuah kegelisahan.

“Kau bisa bangkit?” Kamu mengulurkan tangan, Aclima meraihnya. Kamu menariknya untuk duduk.

Aclima kemudian menepuk-nepuk celananya, membersihkannya dari butiran-butiran pasir yang begitu lancang hinggap di atasnya. Setelah itu dia mendekap tubuhnya, kemudian memandangimu sambil menyipitkan matanya.

“Aku bukan orang semacam itu,” katamu dengan dongkol.

Sepertinya suaramu terlalu keras bagi Aclima sehingga perempuan itu bergetar sebentar dan mengencangkan dekapannya pada tubuhnya sendiri.

“Maaf,” katamu buru-buru.

“Aku yang harus minta maaf.”

“Lupakan saja soal ini, ada yang lebih penting, bukan?”

“Tentu, di mana kita?”

Kamu dan Aclima kemudian berdiri dan melihat ke sekeliling sekali lagi dan tidak ada satu pun yang berubah, tetap padang pasir tandus yang membentang sampai ke kejauhan yang seolah tidak bertepi. Di atas kalian, langit biru membentang tanpa awan. Hari sedang cerah, matahari juga bersinar tepat di atas kepala kalian. Kamu mengira bahwa mungkin sekarang tengah hari. Tapi kemudian tergelitik oleh khayalan tentang kemungkinan bumi yang berhenti bergerak sehingga matahari tetap berada di atas sana.

“Kita harus berjalan,” katamu kemudian.

“Ke mana?”

“Entah. Kurasa, berjalan lebih baik daripada tetap berdiam diri.”

“Baik.”

Kalian mulai berjalan beriringan tanpa berkata apa pun. Setelah berjalan cukup jauh tanpa melihat satu hal pun selain bentangan padang pasir di sekitar, kalian mendapati sebuah permukiman yang tampak hening dan agaknya telah ditinggalkan oleh penghuninya. Permukiman itu berupa jajaran rumah yang terbuat dari batu bata. Sebagian atapnya telah menghilang, sebagian lain masih terdapat sedikit jejak untuk dapat mengetahui rupa atap rumah-rumah di permukiman itu. Biasanya, setidaknya yang kamu lihat di film-film, di reruntuhan semacam itu akan terlihat seekor anjing yang berlarian atau binatang buas lain yang akan menatap curiga pendatang seperti kalian, mereka menganggap setiap pendatang memiliki maksud jahat, yakni merebut tempat tinggal penghuni sebelumnya. Tapi tidak ada satu pun hewan yang berkeliaran. Kamu coba memasuki salah satu bangunan dengan hati-hati. Perabotan seperti meja dan kursi berada dalam posisi yang tidak semestinya. Begitu berantakan. Tidak ada jaring laba-laba di sana, nyamuk juga tidak ada. Mungkin ada semut, tapi kamu tidak bisa melihat mereka yang begitu kecil, tapi mungkin juga tidak ada sama sekali semut di sana. Kamu keluar lagi dan di sana Aclima menunggumu. Ketika melihatmu, dia bergegas berlari ke arahmu kemudian berkata bahwa ada seseorang yang memakai jubah di kejauhan. Kalian pun bergegas keluar dari area permukiman. Setelah berada di luar, sosok berjubah itu terlihat dengan begitu jelas, kedua kakinya menapak pada padang pasir. Kamu berpikir bahwa dia bukanlah hantu atau sesuatu semacam itu. Ketika kalian telah dekat dengannya dan baru saja akan bertanya kepadanya, dia sudah menunjuk suatu arah dan berkata, “Barat. Carilah Aras. Jangan tinggalkan arah Barat.” Setelah berkata seperti itu, dia pergi. Kamu coba menghentikannya, tetapi tidak berhasil. Dia seolah tidak terkejar meski kamu sudah berlari sekuat tenaga sampai terjatuh ke hamparan pasir. Aclima kemudian menghampirimu dan membantumu berdiri.

“Apa yang akan kita lakukan?” tanyanya.

“Kita akan coba mengikuti petunjuknya.”

“Tapi apakah itu hal yang benar?”

“Kita tidak punya pilihan.”

Kalian akhirnya berjalan ke barat. Kamu merasa tidak asing dengan arah barat, dulu seorang biksu bersama tiga muridnya yang berwujud siluman pergi ke barat untuk mengambil kitab suci agar orang-orang di timur terhindar dari penderitaan. Tapi kamu tidak pernah tahu sesuatu yang menanti di depan sana, di arah barat yang sebenarnya fana karena bumi itu bulat. Lagi pula kamu tidak benar-benar tahu tentang yang dimaksud aras. Dalam kamus, kata itu memiliki beberapa arti. Bisa saja itu berarti Takhta Tuhan, mungkin juga kondisi raja yang dalam bahaya pada permainan catur, bisa juga verba yang berarti sampai (ke), dan menurut bahasa salah satu suku bangsa di negerimu, kata itu berarti bagian yang dangkal, tetapi deras, pada sungai. Kamu tidak tahu mana dari salah satu arti itu yang dimaksud oleh sosok berjubah tadi. Sampai kemudian kalian berhenti pada sebuah danau yang begitu luas dan jernih. Tidak ada jembatan atau perahu.

“Kita harus memutar,” kata Aclima.

“Tidak. Ingat, kita tidak boleh meninggalkan arah barat.”

“Apa kau akan berenang di danau yang luas ini?”

“Aku hanya mencoba untuk mematuhi petunjuknya.”

“Aku akan mencari jalan memutar,” kata Aclima kemudian berbalik ke kanan dan berjalan menjauh.

Kamu tidak menghentikannya, hanya mengikutinya selama beberapa saat dengan pandanganmu. Lalu, kamu menatap danau yang luas dan jernih itu. Kamu bisa melihat dasar danau itu, sebuah tanah dengan tetumbuhan air yang tidak kamu ketahui namanya. Tidak terlihat ikan atau binatang yang hidup di air lainnya. Setelah mengamati dasar sungai lebih teliti lagi, kamu menemukan sebuah jalan batu yang hanya bisa dilalui oleh satu orang, tidak bisa dilalui dengan berjalan beriringan.

Perlahan kamu membungkuk dan menyentuh air, terasa begitu dingin dan segar. Benar-benar sebuah oasis. Kamu mengambil setangkup air dengan kedua tanganmu yang kamu rekatkan kedua sisinya yang berlawanan seperti ketika kamu berdoa kepada Tuhan. Kamu dekatkan setangkup air itu ke mulutmu dan kamu mencecapnya, tenggorokanmu terasa begitu segar. Setelah itu, kamu perlahan menurunkan kakimu ke danau. Kamu terperosok dan tenggelam secara perlahan untuk sampai ke dasar.

Pertama kali masuk ke air, kamu merasa bahwa kamu akan kehabisan napas sehingga kamu tidak berani bernapas dengan hidungmu dan menutup mulutmu rapat-rapat. Kamu coba berenang ke atas, tapi tidak berhasil. Akhirnya, kamu pasrah. Kamu buka mulutu dan kamu menghirup air dengan lubang hidung dan mulutmu. Kamu terkejut, rupanya kamu dapat bernapas dalam air. Ketika sudah menapaki jalan berbatu di dasar danau, kamu mendongakkan kepala. Di atas sana berbagai kelebat peristiwa tersaji dengan begitu cepat dan tumpang tindih: tank-tank yang masuk ke kota dan menembakkan amunisi dari moncongnya, pesawat tempur yang menabrak gedung, jerit segenap manusia yang berlarian tunggang langgang, kota yang terbakar, bendera-bendera yang berkibaran ditiup angin yang bercampur dengan bubuk mesiu dan abu dan yang membawa terbang aroma bangkai manusia, dan sebagainya. Kelebatan peristiwa itu terus kamu perhatikan dan seolah tiada habisnya.

Alam Mimpi, 23 Juli 2021—Mojokerto 9 Oktober 2022

Ikuti tulisan menarik Mochamad Bayu Ari Sasmita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler