x

Sumber ilustrasi: straitstimes.com

Iklan

Mochamad Bayu Ari Sasmita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Oktober 2022

Kamis, 27 Oktober 2022 06:30 WIB

Penggali Kubur

Jika pada suatu malam yang jernih kau melihat cahaya memanjang di langit, percayalah bahwa itu bukan bintang jatuh, melainkan gugurnya seorang kesatria di medan tempur angkasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika pada suatu malam yang jernih kau melihat sebuah cahaya memanjang di langit, percayalah bahwa itu bukan bintang jatuh, melainkan gugurnya seorang kesatria di medan tempur angkasa. Jika dia cukup beruntung, rekan-rekannya akan menemukan jenazahnya dan mengadakan pemakaman yang layak baginya—meskipun hal semacam itu sudah begitu jarang dilakukan hari-hari ini. Tapi, jika nasibnya tidak begitu mujur, dia akan mengambang di angkasa bersama asteroid dan serpihan-serpihan pesawat tempur ruang angkasa yang hancur. Dia akan menjelajahi angkasa luas dalam keheningan. Orang-orang semacam itu tidak pernah masuk radar pekerjaanku. Tugasku hanyalah mengubur—tanpa upacara—mayat-mayat yang lahir dari keganasan perang di permukaan bumi yang sudah tandus.

Kami—pekerjaan ini sejak zaman dahulu tidak pernah dilakukan seorang diri—menggali lubang yang begitu besar dengan mesin pengeruk tanah, kemudian melemparkan begitu saja mayat-mayat itu ke dalamnya, tanpa mendoakannya, tanpa memberikan penghormatan yang layak kepada mereka karena telah bertempur, dan tanpa-tanpa yang lain lagi.

Upacara-upacara pemakaman yang kebanyakan berakar dari agama atau kepercayaan sudah tidak ada lagi, bahkan agama atau kepercayaan itu sendiri sudah tidak ada yang mempercayainya. Kami semua memuja sains, hanya ilmu pengetahuan yang dapat menyelematkan umat manusia dari kehancuran; meskipun karena sains pula, yang disalahgunakan tentunya, yang menewaskan orang-orang yang kami kubur dalam sebuah lubang besar itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kami juga tidak pernah memberikan nisan atau batu peringatan di atasnya. Tidak ada yang mengenal mereka, tidak ada yang akan menziarahi mereka. Mereka, mayat-mayat itu, menghilang begitu saja. Begitu mereka masuk ke liang lahat, tak seorang pun mengingat mereka lagi. Untuk hari-hari ini, melupakan adalah suatu pekerjaan yang terlampau mudah. Melupakan adalah cara paling ampuh untuk menghilangkan kesedihan. Terlalu banyak kesedihan yang lahir di dunia ini, tidak perlu ditambahkan lagi dengan mengingat orang-orang yang sudah tiada.

Pekerjaan yang kujalani memiliki bayaran yang lumayan. Setidaknya, aku bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari istri dan putriku, dan mengajak mereka berpelesir di akhir pekan; biasanya kami berlibur ke sebuah menara yang mencapai langit, yang dalam sebuah kitab suci dihancurkan oleh Tuhan. Tidak seperti di masa lalu—aku mengetahui hal ini dari buku-buku digital—ketika pekerjaan semacam ini hanya dipandang sebelah mata dan tidak mungkin menjadi mata pencaharian utama, pekerjaan mengubur mayat adalah sebuah pekerjaan yang bernilai besar karena hampir setiap hari selalu ada lusinan mayat yang siap dikubur. Mereka perlu dikubur di dalam tanah untuk menjaga agar bumi tetap subur. Dengan sedikit ironis, bisa dibilang bahwa aku diam-diam senantiasa mengharapkan agar perang ini terus berlangsung sehingga aku dan kawan-kawanku tetap bisa bekerja dan mencukupi keluarga masing-masing. Omong-omong, perang ini sudah berlangsung selama kurang lebih satu abad lamanya. Negara-negara yang terlibat pertikaian terus memproduksi senjata paling mutakhir dan kendaraan perang. Paling baru, mereka mengembangkan robot tipe humanoid untuk bertempur. Robot-robot itu mulanya bertempur di daerah gurun tandus, kemudian melebar sampai ke ruang angkasa. Aku tidak pernah tahu tujuan perang ini. Tapi aku tahu dampak-dampak yang diakibatkan olehnya. Yang paling buruk, kami tidak akan pernah bisa melihat bulan purnama lagi. Bulan hampir koyak seluruhnya, menjadi serpihan-serpihan yang mengambang di angkasa, hanya menyisakan satu garis lengkung. Salah satu pihak yang terlibat peperangan menembakkan senjata nuklir yang dilarang untuk menghancurkan pangkalan musuhnya yang berada di belakang bulan. Begitulah, kami hanya dapat melihat bulan sabit setiap malam untuk selama-lamanya.

***

“Apa kau akan bertahan dalam pekerjaan ini untuk waktu yang lama?” tanya kawanku ketika kami sedang beristirahat. Dia lebih tua dariku dua tahun, belum berkeluarga dan tidak menunjukkan tanda-tanda ke arah sana. Tapi itu adalah pilihannya, suatu hal yang tidak bisa kucampuri.

“Aku tidak tahu. Tapi aku tidak sanggup membayangkan diriku bekerja di bidang lain selain ini.”

“Kau menikmati pekerjaan ini?”

“Mana mungkin? Pasti hanya orang tidak waras yang bersenang-senang sambil mengubur orang-orang tanpa batu nisan dan tanpa mendoakan mereka.” Sebenarnya, aku begitu menikmati pekerjaan ini. Uang yang dihasilkan lumayan banyak. Barang siapa yang tidak menikmatinya, dia termasuk golongan orang-orang yang bodoh.

Dia mengerutkan keningnya ketika mendengar kata mendoakan dariku. Kening yang mengerut itu bertahan cukup lama, kira-kira tiga puluh detik, sebelum dia mengangkat gelasnya dan meminum cokelat panasnya secara perlahan. Udara gurun di malam hari begitu dingin. Kami sedang berada di luar tenda, menunggu kendaraan pengangkut mayat sampai kemari. Lokasi mengubur mayat-mayat itu memang selalu dipilih di tempat tak berpenghuni seperti gurun pasir ini. Kudengar, mayat-mayat itu datang dari perkotaan. Pertempuran pun bisa pecah di pusat perekonomian.

***

Entah sejak kapan hal semacam ini bermula. Orang-orang yang berhubungan dengan mayat ketika mayat itu masih hidup tidak pernah menangis lagi ketika mereka telah menjadi mayat. Mereka juga tidak hendak mengambil jenazahnya dan memberikan pemakaman yang layak kepada mereka. Untuk masalah ini, aku pernah bertemu seorang perempuan yang memiliki gagasan yang menyimpang dari kebiasan umum.

Dia mendatangi sebuah lokasi untuk mengubur mayat-mayat itu seorang diri dengan mobil jip. Saat itu, kami telah selesai mengubur mayat-mayat itu dan sedang beristirahat untuk merokok dan minum-minum sampai kemudian dia datang. Dia meminta izin untuk ditunjukkan tempat mengubur mayat-mayat tadi.

“Saya mengenal salah seorang tentara yang gugur itu,” katanya.

“Nona,” kataku, “aku akan dengan senang hati memberitahu Anda lokasinya. Tapi apakah nona sudah tahu bahwa mereka dikubur menjadi satu, tumpang-tindih satu sama lain?”

“Saya sudah tahu akan hal itu.”

“Baiklah. Ikuti aku.”

Aku berjalan ke tempat mengubur mayat-mayat itu tadi, dia berjalan di belakangku. Seorang musafir yang kebetulan melewati tempat ini pasti tidak akan pernah tahu bahwa tanah yang dia lewati adalah sebuah tempat untuk mengubur orang-orang yang gugur dalam peperangan. Jangankan mereka, aku pun yang mengubur mereka juga tidak akan menyadari bahwa itu adalah tempat untuk mengubur mayat-mayat jika suatu hari nanti datang melewati tempat ini lagi. Tidak ada nisan atau batu peringatan. Tidak ada tanda apa pun yang menunjukkan bahwa tempat itu adalah tempat peristirahatan terakhir seorang manusia. Tapi apakah mereka bisa beristirahat, apalagi dengan tenang, jika berdesak-desakan seperti itu? Aku ragu.

Begitu sampai, perempuan itu berjongkok dan menangkupkan kedua tangannya. Dia memejamkan matanya untuk beberapa lama. Aku tetap berdiri sambil mengisap rokokku. Kubiarkan dia menjalankan urusannya. Perlahan, kudengar dia sesenggukan. Ketika kutoleh sejenak, dia memang menangis. Setelah cukup tenang, dia bangkit kembali sambil menyeka air matanya.

“Salah satu yang dikubur di sini adalah tunangan saya. Kami berencana menikah tahun depan.”

“Aku turut berbelasungkawa.”

“Terima kasih.”

“Baru kali ini saya melihat seseorang mengunjungi mayat-mayat ini untuk mendoakan salah satu di antara mereka. Nona tadi mendoakannya, bukan?”

“Ya. Saya mendoakannya. Sebenarnya saya juga ingin menangis sepuasnya untuk meluapkan kesedihan agar saya terbebaskan sepenuhnya setelah meninggalkan tempat ini, tapi saya urungkan. Hari pemakaman adalah hari yang mengizinkanmu untuk menangis sepuas-puasnya.”

Itu adalah hal baru yang kuketahui. Sebelumnya, aku tidak mengerti apa itu hari pemakaman atau apa pun itu.

“Pemakaman yang layak tidak hanya untuk si mayat, tetapi juga untuk yang masih hidup agar bisa menerima kematian orang yang penting bagi mereka. Tapi, sekarang, hal semacam itu mustahil untuk dilakukan. Tidak ada tanah kosong yang digunakan khusus untuk makam.”

Sejak saat itu, aku mencari-cari bacaan tentang upacara kematian di masa lalu, juga tentang kepercayaan terkait kematian. Konon, ada suatu kepercayaan yang meyakini bahwa jiwa yang mati akan terlahir kembali sesuai perbuatan mereka semasa hidup. Mereka bisa terlahir menjadi manusia lagi, mungkin yang berkedudukan lebih tinggi dari sebelumnya atau sebaliknya, mereka juga bisa terlahir kembali di masa yang begitu jauh sejak mereka terakhir mati. Mereka tidak akan mengingat baik itu kebahagiaan atau kesedihan dari kehidupan sebelumnya. Mereka akan menjalani kehidupan mulai dari nol lagi. Jika benar demikian, aku berharap bahwa tentara yang dikunjungi oleh perempuan itu bisa terlahir kembali di masa damai dan perempuan itu sendiri juga akan terlahir kembali di masa yang sama dengannya. Mereka akan bertemu kembali dan melangsungkan pernikahan mereka yang tertunda di kehidupan sebelumnya, memiliki dua anak atau lebih, dan menikmati sebuah masa tanpa desing peluru dan ledakan bom.

Namun harapan hanyalah harapan. Kedamaian bukanlah sesuatu yang bisa kuciptakan. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah mengubur mayat-mayat dari para tentara yang gugur dalam peperangan dan orang-orang sipil yang kebetulan sedang sial terkena dampak langsung dari peperangan. Pekerjaan ini tidak memerlukan emosi. Kau hanya perlu melemparkan mayat-mayat yang telah diangkut sebelumnya ke dalam lubang yang telah digali seperti membuang sampah ke tempat pembuangan akhir. Kau tidak perlu mengecek setiap identitas dari mayat-mayat itu. Mungkin salah satu dari mereka ada yang kaukenal, tapi kau tidak perlu menghiraukannya. Lempar saja mayat-mayat itu, satu per satu, ke dalam lubang yang telah disediakan. Tahap terakhir adalah menguburnya dan membuat tempat itu seolah-olah tidak pernah digunakan untuk hal semacam itu. Tidak perlu ada doa, tidak perlu ada upacara. Tidak perlu ada nisan atau batu peringatan. Semua itu adalah perintah dari atasan. Karena aku seorang pegawai, maka aku harus mematuhi mereka. Hanya itu saja tugasku, tugas kami sebagai tukang gali kubur di abad kedua puluh empat ini.

12 Mei—26 Oktober 2022

Ikuti tulisan menarik Mochamad Bayu Ari Sasmita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu