x

Sumber ilustrasi: wallpaperflare.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 27 Oktober 2022 14:01 WIB

Saat Matahari Terbenam dan Rembulan Terbit

Beno berhenti berjalan dan menjatuhkan ranselnya di pinggir jalan. Dia berbalik untuk melihat kembali ke jalan dua jalur di belakangnya, lalu berbalik lagi dan melihat ke depan ke arah dia berjalan. Aspal datar dan lurus ke kejauhan. Beno mengira dia bisa melihat sepuluh kilometer ke kedua arah, dan tidak ada mobil yang terlihat. Hebat, pikirnya, dan sebentar lagi matahari terbenam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beno berhenti berjalan dan menjatuhkan ranselnya di pinggir jalan. Dia berbalik untuk melihat kembali ke jalan dua jalur di belakangnya, lalu berbalik lagi dan melihat ke depan ke arah dia berjalan. Aspal datar dan lurus ke kejauhan.

Beno mengira dia bisa melihat sepuluh kilometer ke kedua arah, dan tidak ada mobil yang terlihat.

Hebat, pikirnya, dan sebentar lagi matahari terbenam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia membungkuk dan merogoh saku samping ranselnya dan mengeluarkan botol air mineral. Menegakkan tubuh, dia meneguk banyak dari botol lalu menutupnya kembali. Lebih baik simpan saja karena sepertinya sekali lagi dia akan tidur di jalan malam ini.

Sayang sekali. Dia sudah tidak sabar untuk sampai di Kota Lama malam ini. Dia berencana untuk menginap di hotel murah dan kemudian menemukan bar yang lebih murah lagi.

Kesalahannya adalah menebeng pikap pedagang sayur yang keluar dari gerbang jalan tol. Orang tua dengan topi laken itu telah berbelok dari jalan raya ke jalan tanah desa di antah berantah, dan meninggalkan Beno berdiri di bahu jalan raya paling sepi yang pernah dia lihat.

Dia duduk di bawah sinar matahari selama satu jam menunggu kendaraan lain lewat, tapi satu-satunya yang lewat adalah mobil pikap besar yang penuh dengan anak-anak yang membunyikan klakson dan lewat dengan kencang. Akhirnya, dia bosan dan mulai berjalan ke utara, sesekali melirik ke belakang untuk melihat apakah ada orang yang datang ke arahnya.

Cuaca panas dan tali ranselnya menyakiti bahunya.

Waktu berlalu dengan lambat, masih tidak ada lalu lintas di jalan raya. Matahari terbenam di sebelah kirinya, kuning berubah oranye saat tenggelam lebih rendah, dan dia kembali menyandang ranselnya dan terus berjalan, mencari di kedua sisi jalan untuk mencari tempat untuk bermalam.

Begitu hari mulai gelap, dia tahu peluangnya untuk menumpang, bahkan jika sebuah mobil datang, sangat kecil.

Saat dia berjalan, dia melihat pegunungan rendah di timur menjadi lebih gelap, pertama bermandikan cahaya merah hangat, lalu perlahan memudar menjadi ungu. Kemudian, cahaya baru menarik perhatiannya, pertama titik kuning di puncak gunung, kemudian melebar dan memanjang, dan Beno menyadari bulan segera terbit. Besar dan kuning, naik ke langit oranye, merah muda dan ungu. Perlahan tapi pasti.

Langkah Beno melambat, dan kemudian dia berhenti untuk menyaksikan pemandangan yang menakjubkan itu. Dia melihat ke barat dan melihat matahari sekarang berwarna oranye tua, hampir merah, mendekati cakrawala. Dia melihat kembali ke timur dan menyaksikan bulan membebaskan dirinya dari balik pegunungan untuk mendaki penuh ke malam yang mendekat. Kepalanya bolak- berputar seperti penonton pertandingan tenis, kagum pada duel bola cahaya, masing-masing berlomba untuk mendapatkan perhatiannya. Dia tiba-tiba dikelilingi oleh cahaya terindah yang pernah dia lihat dan tertawa terbahak-bahak saat dia menyentakkan matanya ke depan dan ke belakang, mencoba menyerap warna luar biasa di kedua sisi.

Beno merasa kecil dan tidak berarti. Namun dia juga berada di pusat alam semesta, dan membayangkan dirinya  berdiri di atas bola biru dan hijau yang berputar, lalu bola kuning dan merah beredar di sekitar kepalanya, dan bola lain yang lebih jauh berputar di luar itu, dan  di jarak terjauh ada berlian berkilau yang mengambang dalam kegelapan abadi.

Beno lupa tentang kaki dan bahunya yang sakit, dan rencananya untuk kamar hotel dan bar. Bahkan, dia lupa  mengapa dia ada di sini menunggu tumpangan, dari mana dia berasal, ke mana dia berharap untuk pergi .

Sepertinya tidak ada yang lebih penting daripada berdiri di situ diam tanpa gerak, menyerap cahaya surgawi yang indah yang menyelimutinya dari semua sisi.

Kemudian, seolah-olah ada yang menekan tombol sakelar, lampu merah padam dan lampu kuning kehilangan kehangatannya, memudar menjadi putih.

Beno mendapati dirinya berdiri dalam kegelapan di sisi jalan. Dia menyadari suara mesin di sampingnya dan  sebuah mobil tua usang berhenti di sampingnya. Jendelanya turun, seorang lelaki tua beruban mencondongkan tubuh dan menatapnya.

"Apakah kau baik-baik saja, Nak?" lelaki itu bertanya.

Beno hanya mengedipkan matanya. Pria tua itu mengangkat alisnya, “Sebaiknya kau lempar tas itu ke kursi belakang dan naik, Nak. Kurasa kau terlalu banyak terkena sinar matahari. Aku akan memberimu tumpangan ke Kota Lama.”

Beno menelan ludah dan berhasil mengeluarkan suaranya.

"Ya Pak, terima kasih sudah berhenti. Saya rasa Anda benar tentang matahari."

 

Tangsel, 27 Oktober 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler