x

SUmber ilustrasi: pixabay.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 28 Oktober 2022 16:21 WIB

Akar dari Mimpi


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku menendang Robbie dan detik itu juga menyesalinya. Yang menjatuhkan ember aku, bukan dia. Tapi amarah tak memandang apa dan siapa. Intinya, aku menendangnya.

Dia menatapku dengan mata sayu dan berkata, "Kurasa aku akan mengambil lebih banyak air lagi."

Aku duduk di sana dan berharap aku tahu bagaimana meminta maaf.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Robbie adalah makhluk yang sempurna di sini, di lahan kering kerontang. Dia adalah teman yang ceria yang selalu melakukan lebih dari tugasnya tanpa pernah mengeluh.

Tentu saja, dia robot.

Seperti semua robot lainnya, dia hidup seperti manusia. Diproduksi atau dilahirkan, tidak dapat dibedakan kecuali bahwa beberapa manusia masih memberi perintah dan robot melayani. Robot memasak, membersihkan, berperang, melakukan operasi otak: segala sesuatu yang berguna. Manusia telah menjadi malas.

Kita berpikir karena telah membuat robot maka kita bisa menjadi lebih manusiawi. Ternyata tidak seperti itu, jika kamu bertanya padaku.

Tentu saja, aku manusia.

Kami melakukan hal-hal yang berbeda di sini, di perkebunanku di dataran tinggi Gayo Lues, tiga puluh kilo meter dari mana-mana.

Aku dan Robbie telah bekerja di peternakan ini berdampingan dan membesarkan putraku Awang sejak istriku meninggal. Roobie pernah membalut luka di lutut Awang yang kapalan dan mengeringkan air matanya.

Kami telah mengajari Awang bahwa jiwa seorang lelaki adalah bekerja: bekerja di perkebunan dan membantu tetangga kami. Kami telah menghabiskan waktu kami untuk memberikan layanan gratis kepada siapa pun yang membutuhkannya, setidaknya sampai orang-orang mulai melihat layanan dari manusia lain bukanlah standar manusia dan tidak mau menerima bantuan apa pun dari kami lagi. Dan kemudian gerakan “Manusia yang Menentukan” muncul dan mengesahkan undang-undang yang menjadikan seorang manusia yang bekerja adalah kejahatan.

Tapi itu tidak menghentikan kami, di sini. Kami bertiga adalah mitra yang hampir setara. Hampir. Tapi Robbie adalah perwujudan dari pelayanan tanpa pamrih yang sempurna, dan itulah mengapa aku marah padanya hari ini. Kami telah membawa air ke satu pohon yang kami miliki.

Dua puluh tahun lalu, aku dan Robbie menanam bibit pohon yang kami pikir adalah pohon apel dari kebun hijau milik teman. Kami pikir jika kami merawatnya setiap hari, kami akan memiliki pohon apel, satu-satunya yang hijau di seluruh tanah cokelat milikku. Ketika pohon itu bertunas, terenyata menjadi pohon kersen. Kebanyakan orang menyebutnya pohon sampah dan akan membuangnya karena tidak menghasilkan buah.

Di perkebunanku, kami menghargai hal-hal yang tumbuh. Jadi kami memelihara pohon itu, dan masih memiliki satu titik hijau, hanya saja bukan di tempat yang kami inginkan.

Orang harus berhati-hati dengan harapan di luar sini, di mana jumlah batu cokelat melebihi jumlah pohon dan langit membentang selamanya. Pemandangan yang aneh, mencolok dan indah.

Setelah kami selesai menyiram, aku berjalan kembali ke dapur. Aku membuat secangkir kopi untuk diriku sendiri dan satu untuk Robbie. Itu yang saya bisa kulakukan sebagai permintaan maaf hari ini.

Awang masuk. Mata hijau ibunya yang mengejutkan menatapku saat dia mengambil cangkir terakhir. Ketika dia menoleh ke arah Robbie, aku bisa melihat barcode yang ditato Awang di sisi lehernya minggu lalu. Barcode yang sama yang telah dicetak di leher Robbie selama pembuatannya.

 “Jadi, kamu pikir sekarang kamu adalah seorang manusia—” Suaraku tercekat. "Kamu akan membuang semua yang kami bangun untukmu di sini?"

“Membuang semua kenyamanan seorang manusia hanya untuk menjadi lelaki di dunia yang lupa bahwa itu membutuhkan manusia yang melayani?” Dia tertawa pendek, tawa pahit.

Aku bertanya-tanya berapa banyak tawa yang dia tinggalkan dan ke mana dia pergi.

“Kurasa memang begitu. Manusia yang paling kusayangi memberiku kenyamanan tetapi mengajariku bahwa esensi seorang mansuia adalah pelayanan.”

Aku mengerti. Bahkan jika aku tidak ingin mengerti.

“Jadi, untuk menjadi seorang mansuia, kamu berpura-pura menjadi robot, sehingga orang akan membiarkanmu melayani. Tidak bisakah kamu melayani dan tetap menikmati kenyamanan yang kami buat untukmu, Nak?”

“Jangan berpikir seperti, Yah. Aku akan pergi untuk membantu orang sekarang. Mereka bersikeras memaksaku untuk duduk di teras sementara robot bekerja. Aku tidak mengerjakan apa-apa selama berbulan-bulan.”

Aku juga melihatnya. Tapi aku juga melihat sisi lainnya. “Kamu mungkin tidak akan pernah kembali. Hal buruk terjadi pada robot. Banyak orang akan melihat tato itu dan memperlakukanmu seperti sepotong daging buatan pabrik, sesuatu yang bisa mereka buang dan ganti dengan mesin cuci.”

Dia mengangguk. “Ayah tidak membesarkanku untuk tidak berpikir. Mungkin aku harus melakukan ini karena cara kita membangun dunia. Mungkin begitulah dunia seharusnya. Tetapi Ayah mengatakan kepadaku bahwa kamu harus melakukan panggilan hati nurani, terlepas dari apakah orang lain melihatnya atau tidak.”

 

Aku melihat keluar jendela untuk waktu yang lama. Ini adalah pemandangan yang aneh di sini. Ketika kamu berpikir kamu membutuhkan hujan, kamu mendapatkan kemarau panjang. Saat kamu menanam pohon apel, kamu mendapatkan kersen.

Dunia berputar sangat lambat sehingga kamu tidak melihat hal-hal berubah, dan kemudian berputar sangat cepat sehingga kamu hampir tidak bisa bertahan.

Manum impian kami berakar di sini, dan tumbuh menjadi hal-hal yang lebih menakjubkan dan mengerikan daripada yang dapat kita bayangkan atau pahami.

Kami berjalan ke teras, meneteskan air mata manusia terakhir, dan Awang berjalan pergi ke kehidupan yang tanpa sadar telah kusiapkan untuknya. Tapi aku tidak pernah mempersiapkan diri untuk saat ini.

Aku mengejarnya dqan berteriak, "Aku manusia yang bangga hari ini."

Seperti robot, Awang terus berjalan.

Aku melihat anakku menghilang dan sepenuhnya menjadi seorang manusia.

“Seharusnya aku bilang bahwa aku mencintainya,” kataku.

Robbie berkata, "Bukannya sudah?"

Aku memandang pohon kersen, benda tertinggi dan paling membanggakan yang tersisa di perkebunan ini. Kemudian aku berdoa, tetapi aku tidak tahu apakah aku sedang berdoa untuk diriku sendiri atau untuk Awang. Untuk manusia atau untuk hal-hal yang telah kita ciptakan.

 

Tangsel, 28 Oktober 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler