x

SUmber ilustrasi: istockphoto.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 3 November 2022 06:42 WIB

Warung Kafkina

Setelah makan malam, karena di luar tidak terlalu panas dan angin tidak bertiup, Alini membuat sendiri kopinya, keluar dari biliknya di belakang warung, dan berjalan ke tempat parkir depan yang kosong. Tentu saja. Warung telah ditutup selama bertahun-tahun sejak jalan tol diresmikan. Aspal ditutupi dengan kerikil dan pasir yang terhempas dari bukit-bukit di seberang jalan raya. Kosong, kecuali salah satu kursi dari kafe, yang dibawanya keluar dan diletakkan di dinding bata bangunan, tepat di bawah tanda pudar yang dilukis di atas batu bata.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah makan malam, karena di luar tidak terlalu panas dan angin tidak bertiup, Alini membuat sendiri kopinya, keluar dari biliknya di belakang warung, dan berjalan ke tempat parkir depan yang kosong.

Tentu saja. Warung telah ditutup selama bertahun-tahun sejak jalan tol diresmikan. Aspal ditutupi dengan kerikil dan pasir yang terhempas dari bukit-bukit di seberang jalan raya. Kosong, kecuali salah satu kursi dari kafe, yang dibawanya keluar dan diletakkan di dinding bata bangunan, tepat di bawah tanda pudar yang dilukis di atas batu bata.

‘Warung Kafkina’, bunyinya. Dan dia mengangkat cangkir memberi hormat sebelum duduk di kursi. Kafkina adalah nama ibunya yang sudah lama meninggal, dan Alini belum pernah bertemu orang lain dengan nama itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia berharap sempat bertanya kepada ibunya apa artinya, dan sekarang sudah terlambat. Dia mengira itu tidak terlalu penting, tidak ada yang peduli selain dia, dan sekarang hanya nama yang memudar di dinding yang hampir tidak dilihat orang saat mereka terbang di jalan raya.

Alini menggoyangkan pantatnya, mencoba duduk dengan benar di kursi. Itu sangat tidak nyaman, dan dia sepenuhnya sadar bahwa karena dia membiarkan pantatnya menjadi begitu besar sehingga menggantung di kedua sisi. Dia benar-benar harus berhenti makan banyak.  Semakin sulit untuk berjalan saja. Tapi apa lagi yang bisa dilakukan di sini sendirian di jalan lintas tengah yang sepi? Dia menyesap kopinya dan mencoba mengabaikan bagian belakang kursi yang menggali gulungan lemak di punggungnya.

Alini melihat ke selatan dan utara jalan raya. Warung berada di ketinggian. Dia bisa melihat berkilo-kilometer di kedua arah. Tidak ada kendaraan yang terlihat...

Tunggu dulu, ada pantulan sinar matahari yang menimpa logam jauh di selatan. Dia tidak tahu apakah itu akan datang atau pergi. Dia melihat sekeliling tempat parkir. Selain lapisan pasir dan ilalang, tenpat itu dipenuhi dengan potongan-potongan kecil sampah dan puing-puing yang entah diterbangkan dari gundukan bukit atau dibuang dari mobil yang lewat.

Dia pikir dia harus membawa sapu ke sini dan membersihkannya sedikit. Akan menjadi semacam oplah raga. Mungkin membantunya mengatasi masalah pantatnya.

Dia ingat ketika masih kecil ibunya membuka warung. Tempat parkir pada masa itu bersih, disapu bersih setiap pagi  yang merupakan tugas Alini di akhir pekan. Itu dulu ketika jalan tol belum ada dan warung makan bisnis yang sedang booming. Truk pickup di depan, ruang makan yang penuh dengan orang-orang besar dengan selera makan yang lebih besar.

Dia tersenyum, memikirkan bagaimana pria-pria itu menggoda kuncir rambutnya dan kemudian, ketika dia mulai menumbuhkan payudara dan lekuk tubuhnya, menggodanya dan berbicara tentang bagaimana mereka akan kembali dan menikahinya suatu hari nanti ketika dia dewasa.

Dia menyesap lagi kopinya dan bertanya-tanya untuk kesekian kalinya, akan seperti apa hidupnya jika dia benar menikah. Tapi tentu saja tidak seperti itu. Ibunya jatuh sakit, dan sejak ayahnya meninggalkan mereka ketika dia masih bayi, dan karena tidak ada saudara lain, Alini harus putus sekolah untuk menjalankan warung

Dia tidak punya waktu untuk laki-laki atau banyak hal lain selama bertahun-tahun, dan kemudian jalan tol di sisi bukit diresmikan, dan ibunya meninggal tidak lama kemudian ... sepertinya dua hal itu ditakdirkan berbarengan.

Ibunya memiliki polis asuransi jiwa dan sedikit tabungan, jadi Alini punya cukup uang untuk bertahan hidup. Namun meskipun demikian, dia berusaha untuk mempertahankan warung itu selama setahun. Bisnis yang sia-sia di sini, di antah berantah.

Akhirnya, dia mendapati dirinya tinggal sendirian di bilik belakang, tidak ada yang bisa dilakukan selain makan dan membiarkan dirinya menjadi gemuk, dan berjalan-jalan di sini ke tempat parkir sesering mungkin untuk melihat grafiti baru apa yang muncul di depan warung. Untuk menyaksikan mobil-mobil yang semakin jarang lewat di jalan raya.

Omong-omong, dia bisa mendengar sebuah mobil mendekat dari selatan. Dia berbalik dan melihat sebuah pickup besar menderu ke atas bukit ke arahnya. Saat semakin dekat, fantasi sekilas memasuki kepalanya. Mungkin truk itu dikemudikan oleh salah satu pria yang singgah di warung bertahun-tahun yang lalu. Seorang pria kekar yang tidak pernah bisa melupakan gadis remaja yang mengelola Warung Kafkina.

Mungkin truk itu akan menepi dan pria itu keluar, tidak peduli bahwa dia telah menjadi sebesar rumah, dan dia akan memeluknya dan, dengan begitu, hidupnya akan mulai bergerak maju lagi. Tapi tentu saja pengemudi truk itu meluncur melewati warungnya tanpa mengangkat kakinya dari pedal gas atau sekadar membunyikan klakson.

Alini menghabiskan isi cangkirnya dan berdiri perlahan. Sudah waktunya untuk kembali ke bilik belakang dan membuat minuman lagi. Mungkin besok dia akan datang ke sini dan membersihkan tempat parkir sedikit.

Jika cuaca tidak terlalu panas dan jika angin tidak bertiup terlalu kencang menaburkan debu.

 

Bandung, 2 November 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler