x

SUmber ilustrasi: mbizmarket.co.id

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 8 November 2022 08:33 WIB

Kantor Pos


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari itu aku ke kantor pos untuk mengirimkan dua paket. Hanya ada satu petugas pos di belakang meja melayani pelanggan, dan dua pelanggan lain mengantre.

Saat aku maju, perempuan di depanku menoleh dan berkata, “Coba kutebak, membayar sewa peo boks, kan?”

Dia bilang ‘peo’, bukan ‘pe-o’, dan reaksiku adalah menjadi orang yang sok pintar, ingin menjawab, "Ya, itu dia! Saya membawa dua kotak besar ini karena iseng."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi tidak. Sebaliknya, aku hanya tersenyum dan berkata, “Tidak.”

Dia masih belum memperhatikan barang bawaanku. "Oh, kamu pasti salah satu dari orang-orang pintar yang membayar setahun sekali."

Tubuhnya kurus dengan rambut panjang. Sedikit beruban, mengenakan celana jins kotor dan jaket tebal bernoda berminyak. Awalnya aku menebak usianya akhir empat puluhan, tetapi ketika memperhatikan lebih jelas, aku menyadari bahwa dia pasti lebih muda, mungkin awal tiga puluhan. Ada pepatah yang muncul di benakku, salah satu yang suka digunakan ayahku, ‘layu sebelum berkembang’.

Aku menjawab, “Sebenarnya, saya tidak punya kotak PO, saya di sini hanya untuk mengirimkan paket-paket ini.”

Dia berbalik sepenuhnya menghadapku. “Aku tak tahu mengapa aku menyewa peo boks, hanya pemborosan uang saja. Uang yang Tuhan tahu aku tidak pernah benar-benar miliki. Padahal aku punya alamat rumah dan kantor yang bisa ku gunakan, yang akan membuat segalanya menjadi lebih baik. Jauh lebih mudah, terutama pada hari-hari seperti hari hujan seperti ini, dan dengan pilek ini. Mungkin hanya alergi. Sulit untuk sembuh dari batuk begini. Dan harus naik angkot. Tidak punya kendaraan. Sebetulnya punya, sih. Tapi mogok. STNK mati. Lagi pula SIM-ku juga sudah kedaluwarsa, sudah berapa kali kena tilang. Masalahnya, aku tidak tahu tanggal sidang tilang di pengadilan. Tidak pernah mendapat pemberitahuan melalui pos atau apa pun. Hujan begini, aku berharap diriku adalah pawang hujan yang bisa mengusap langit dan menyingkirkan hujan ini, meskipun mungkin membutuhkan beberapa orang lain, atau mungkin sepuluh, untuk menjadi asistenku, karena itu akan menjadi pemindahan awan besar-besaran. Begitu menurutku…. ”

Aku bersumpah, petugas pos di meja itu bekerja dalam gerakan lambat. Dia baru saja selesai dengan pelanggan pertama dan sekarang dengan malas memanggil pelanggan berikutnya.

Perlu diketahui, aku benci pergi ke kantor pos. Apapun akan kulakukan untuk menghindarinya. Aku membeli prangko tiga gulung sekaligus, dan kemudian mencoba membayar tagihan sebanyak mungkin secara otomatis via rekening bank sehingga tidak menyia-nyiakan prangko.

Kalau harus mengirimkan surat, aku menggunakan kotak surat pinggir jalan sesering mungkin untuk menghindar memasuki lobi kantor pos, karena sepertinya setiap kali aku masuk ke sana, aku bertemu dengan orang gila dan kesepian, atau sebaliknya: jiwa-jiwa yang kehilangan haknya dan hilang dari kota kecil kami, yang tampaknya selalu berusaha untuk membuat perjalanan mereka ke kantor pos menjadi acara sosial terpenting mingguan mereka.

Contoh kasus: penderita gangguan jiwa yang kini disebut ADHD kurus yang mengantre di depanku, masih terus bermonolog, “Benar-benar tak punya uang untuk peo boks bodoh ini, terutama karena aku anakku kembali ke sini minggu lalu. Dia baru saja keluar dari penjara anak-anak, dan mereka membiarkannya keluar hanya dengan pakaian yang melekat di badan., Kamu bisa percaya orang-orang itu? Tuhan tahu aku tidak mampu membelikannya apa pun, dan bapaknya tidak bisa pulang kerja membawa gaji yang cukup untuk membayar semua pakaian bekas yang kubeli, tujuh puluh empat ribu ... dan aku, aku kedinginan, Tuhan, aku berharap kita bisa mendapatkan matahari hari ini. Kamu tahu, tidak? Aku baru tahu ada Vitamin D dalam sinar matahari! Tentu saja, orang-orang  bilang mengatakan terlalu banyak sinar matahari tidak baik untukmu. Siapa yang tahu mana yang benar? Yang aku tahu adalah dulu aku jauh lebih hitam, tetapi kemudian aku pindah ke sini. Hujan setiap hari dan sekarang aku jadi pucat, kehilangan warna kulit alami ... "

Akhirnya, petugas pos lain keluar dan duduk di mejanya, membersihkan slilit di gusinya dengan tusuk gigi, selesai dengan rehat kopi yang diamanatkan pemerintah atau apa pun yang menjauhkannya dari tugasnya di meja.

Dia melambai pada perempuan cerewet di depanku, dan tanpa menarik napas, dia mengalihkan perhatian dan serangan verbalnya kepadanya.

 Petugas lain sekarang melihatku dengan penuh harap dan aku melangkah ke konter, dengan cepat melakukan transaksi, mengirimkan paketku ... tidak, terima kasih, aku tak perlu asuransi atau pelacakan. Aku hanya perlu keluar dari sini segera.

Sempat terpikir untuk membeli gulungan perangko tambahan, lalu aku menuju pintu keluar di tengah hujan lebat, mendengar suara perempuan kurus itu memudar di belakangku.

Aku hanya merasakan sedikit bersalah ketika masuk ke dalam mobilku yang kering dan berfungsi penuh, memikirkan dia segera berdiri di  halte bus, basah kuyup, bersiap-siap untuk berbagi monolog pada sopir angkot.

 

Bandung, 8 November 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini