Perundungan Akankah Menjadi Sebuah Lelucon Belaka?
Jumat, 11 November 2022 22:16 WIBPerundungan di lingkungan sekolah menjadi sebuah bahan lelucon bagi pelajar yang memberikan keleluasaan bagi pelakunya untuk melakukan kekerasan dalam frekensi yang sering. Sekolah idealnya menjadi pengayom korban perundungan untuk melakukan sangsi tegas agar perundungan tidak menjadi barang legal di lingkungan sekolah.
“Susah untuk menghindar”, itulah sepenggal ungkapan yang sering diucapkan oleh korban perundungan. Kita tidak pernah menyadari bahwa dalam lingkungan sekolah pun bisa jadi merupakan lokasi yang memungkinkan terjadinya perundungan. Dikucilkan, dihina, dipukul bahkan difitnah sebenarnya merupakan hal-hal yang mengusik ketenangan korban perundungan.
Sebagian kecil pelajar terkadang beranggapan bahwa perilaku tersebut sudah menjadi bumbu dalam pergaulan mereka. Pertanyaannya adalah bagaimana suatu perilaku di sekolah diidentikkan dengan hal-hal berbau perundungan. (Muliani & Pereira, 2018) yang mengatakan bahwa perundungan merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang berkelanjutan dalam suatu hubungan, melalui perilaku verbal, fisik, dan/atau sosial yang berulang yang menyebabkan kerugian fisik dan/atau psikologis. Secara garis besar, perundungan merupakan perilaku yang membuat seseorang tidak nyaman, terluka, dan tertekan, baik oleh individu maupun kelompok, baik secara verbal, fisik, maupun sosial, baik di dunia nyata maupun online.
Perundungan menjadi benih dari maraknya tawuran, intimidasi, pengeroyokan, pembunuhan dan lain sebagainya. Perundungan jelas tidak bisa terhindarkan. Andaikata sulit untuk dihindari, korban sebisa mungkin tenang dan mengabaikan pelaku perundungan. Cara korban melawan dengan lantang bisa menjadi opsi jitu untuk untuk menghentikan perundungan tersebut.
Gangguan pelaku perundungan yang semakin meresahkan bisa diatasi dengan melaporkan mereka kepada pihak yang berwajib. Pelaporan ke guru yang bisa dipercaya dan peduli menjadi kunci dalam memberantas perilaku perundungan pada level lingkungan sekolah. Investigasi objektif untuk menelusuri rangkaian peristiwa perundungan di sekolah bisa dibantu oleh guru Bimbingan Karier atau pun Kepala Sekolah sebagai pihak otoritas sekolah tersebut. Penyelidikan yang berakhir pada pemanggilan orang tua pelaku menjadi ekor dari upaya sekolah untuk mengontrol pelaku perundungan di sekolah.
Jawaban menjadi semakin komplek jika kita melihat sendiri dengan kasat mata orang lain yang sedang mengalami perundungan. Interupsi dengan netral dan pengalihan perhatian pelaku perundungan menjadi titik temu pemecahan masalahnya. Selain itu, kita juga bisa mendorong korban untuk keluar dari lingkaran perundungan dengan mencari lokasi yang lebih aman. Selanjutnya, kita bisa membuat laporan secara anonim ke pihak yang lebih berwenang melalui bukti observasi peristiwa dan catatan kejadiannya.
Perundungan seharusnya bukan merupakan sebuah lelucon yang perlu diviralkan. Perundungan identik dengan perilaku yang berbahaya bagi pelaku dan korbannya. Orang- orang yang mengalami perundungan dapat membawa luka batin dan emosional seumur hidupnya, walaupun perilaku perundungan tersebut tidak nampak ada kontak fisik antara pelaku dengan korbannya. Oleh karenanya, guru sebagai pengayom korban perundungan harus mampu menindak tegas para pelaku perundungan di sekolah.
Peraturan Mendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan juga memberikan titik terang bahwa perundungan di lingkungan sekolah tidak akan pernah dilegalkan di sekolah. Jangan pernah ada lagi sebuah ungkapan sindiran, status negatif di media sosial bahkan hinaan antar para peserta didik menjadi bahan gurauan semata. Semoga.
Referensi:
Muliani, H., & Pereira, R. (2018). Why Children Bully. PT. Grasindo
Peraturan Mendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Perundungan Akankah Menjadi Sebuah Lelucon Belaka?
Jumat, 11 November 2022 22:16 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler