x

Sumber ilustrasi: suara.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 16 November 2022 06:13 WIB

Semalam di Karawang


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seharusnya tidak seperti ini. Sebelum menyeberang,a ku mampir di Karawang tadi malam mencari tuak dan perempuan. Aku menemukan keduanya, tetapi setelah itu entah bagaimana berakhir dalam judi ceki sepanjang malam yang tidak sesuai dengan keinginanku. Lembaran uang sudah lama hilang dari dompetku, dan sejauh ini, utangku sudah melebihi kekalahanku, dua bulan bonus gaji.

Untuk menyelesaikannya, yang harus kulakukan hanyalah membawa ‘paket’ yang isinya entah apa melewati pelabuhan, dikirim ke alamat di Metro. Hari ini. Itu saja.

“Hei, Jagoan. Kalau barangnya nggak sampai, kamu pasti bisa ditemukan sama saya. di sini atau di seberang pulau juga. Nggak masalah,” ancam si ceking yang mengisap rokok lintingan, Asep. Atau Usep. Entahlah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia adalah orang nomor dua ketika atasannya, yang mereka sebut Kang Sirna, tidak ada. Bosnya mendapat nama itu karena orang-orang yang berselisih dengannya mendadak hilang. Seperti sihir.

Diapit oleh dua rekannya yang berotak siamang yang mengalahku dengan curang selama beberapa putaran. Aku beruntung mereka tidak menarik belati mereka, yang dengan sengaja ditonjolkan dari balik ikat pinggang.

Hari sudah sore ketika aku tiba di pelabuhan. Matahari masih enggan terbenam. Gelap malam masih harus menanti sebelum mengkudeta.
Antrean panjang mobil  diawaki oleh pengemudi yang cepat marah yang ingin melewati pintu pemeriksaan. Udara panas tersumbat oleh knalpot. Aku masih sangat jauh di belakang bahkan gerbang pelabuhan belum terlihat.

Bahkan, di posisiku yang jauh, ramai pedagang asongan.

“Kacang, kacang, kacang! Tahu?”

Aku menatap langit biru yang cerah. "Tidak, terima kasih."

Dia terus berjalan di antara mobil tanpa tersinggung oleh penolakan.

Seorang lelaki lain lewat.

"Cuci kaca jendela?"

"Tidak."

Banyak hal lain yang kubutuhkan dalam hidup, tetapi bukan kacang, tahu, kaca jendela depan yang bersih, atau apa pun yang ditawarkan di sini. Yang kubutuhkan adalah menyeberangi selat dan keluar dari wilayah ini.

Antrean mobil beringsut perlahan, sepanjang satu mobil satu waktu, saat kami terus menuju area inspeksi. Di belakangku, terselip dengan cerdik di celah bagasi bungkusan paket.

Asep berkata melalui asap rokok lintingnya yang selalu ada dan terus menyala, "Kami meletakkannya di sana sehingga tidak ada wereng cokelat yang akan menemukannya."

Aku harus mengakui bahwa mereka memang yang hebat. Jelas saya bukan orang pertama yang mereka perdaya untuk melakukan ini. Turis biasa bisa melewati pemeriksaan dengan mudah. Hanya beberapa pertanyaan untuk dijawab dan wuuus, selesai.

Tapi aku bukan turis biasa dan aku tahu itu. Lebih buruk lagi, petugas akan mengetahuinya juga.

Mobilku adalah VW Pak Camat yang berderak dan berkarat. Aku dapat mendengar suara mesin meraung setiap kali aku menginjak pedal menuju gerbang. Dengan panas, suara mesin, dan ketakutan yang merongrong jiwa, aku sudah tak tahan lagi. Berada di lajur paling kanan, aku melihat celah pembatas jalan. Aku dapat berbalik dan dengan cepat berbaur dengan mobil yang menuju ke Ibu kota. Aku tahu petugas pasti ingin menghentikanku, tetapi kalau aku berhasil kembali melewati Karawang, mungkin akan baik-baik saja.

Entah bagaimana, aku berhasil memutar kembali, tetapi pada titik ini aku tahu mereka sudah melihat mobilku.

Aku membuang bungkusan itu ke tempat sampah dengan pikiran lebih baik tidak tertangkap. Kemudian mulai mencari jalan untuk bisa bersembunyi untuk sementara waktu.

Bahan bakar menipis. Aku memilih bermalam di sebuah hotel murah yang suram. Setengah dari lampu neonnya berkedip karena rusak, bagai kode Morse dalam warna pink dan biru terang.

Kotak kayu pertama sebuah ruangan membuatku ingin mencari kutu. Tapak sepatuku menginjak karpet kaku. Udara pengap oleh peninggalan bau setiap penghuni yang tinggal di ruangan ini selama sebulan terakhir merangkak masuk dan keluar dari setiap rongga. Aku merasa seperti dibekap dengan bantal usang.

Lampu depan sebuah mobil melintas kaca jendela. Suara mesin berhenti dan tiga pintu mobil terbuka dan tertutup. Beberapa letusan keras diikuti dengan desisan berarti ban mobilku tinggal sejarah.

Tirai jendela compang-camping dan tipis, dan melalui tirai itu aku bisa melihat lampu depan perlahan menjauh.

Aku menembuskan napas panjang.

Tetapi beberapa saat kemudian, kembali terdengar suara mobil lain berhenti menembus jendela kamar mandi di bagian belakang.

Siluet neon yang berkedip membentuk sosok di tirai. Aku bisa mendengar Asep melalui jendela yang terbuka berbisik kepada rekan-rekannya dalam bahasa yang kukira bahasa Sunda.

Lalu akhirnya, “Hai Jagoan! Sudah dibilang sama saya, jika Anda mengacau, Anda akan diketemukan oleh saya! Ya, Anda sudah ditemukan oleh saya!”

Bagaimana bisa—? Tidak masalah.

Lubang Jendela kamar mandi cukup besar untuk meloloskan tubuhku. Aku mungkin bisa memanjat keluar dan merebut mobil Asep dari sopir dan pergi. Atau mengejutkan salah satu siamang dan merebut senjatanya. Itu mungkin cukup untuk menakuti Asep.

Bau tembakau lintingan Asep menembus celah pintu aku dan mendengar suara tawanya yang menyebalkan. Gagang pintu digoyang pelan.

Jantungku nyaris berdebar kencang saat aku berdiri memikirkan apa pilihanku di antara dua kemungkinan.

Tapi apapun yang kulakukan, ini malam terakhirku di Karawang.

 

Bandung, 15 November 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler