x

Sumber ilustrasi: change.org

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 21 November 2022 08:18 WIB

Pilih Epilogmu Sendiri

Dia menyelinap keluar dari istana saat sang putri sedang tidur, memimpikan orang lain. Berjalan jauh ke kota sehingga kakinya nyeri dan lecet-lecet, tetapi malam itu udara hangat dan dia bisa membaca rasi bintang untuk menemukan jalannya. Lagi pula, ini bukan pengembaraan pertamanya ke tempat yang belum diketahui oleh manusia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

1.

Dia menyelinap keluar dari istana saat sang putri sedang tidur, memimpikan orang lain.

Berjalan jauh ke kota sehingga kakinya nyeri dan lecet-lecet, tetapi malam itu udara hangat dan dia bisa membaca rasi bintang untuk menemukan jalannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lagi pula, ini bukan pengembaraan pertamanya ke tempat yang belum diketahui oleh manusia.

 

2.

Saat makan siang, dia duduk di bangku taman.

Gadis-gadis yang lewat mengibaskan rambut panjang mereka sambil bergandengan tangan. Dia meneguk kesedihan.

Namun air mata segera mengering oleh cuaca panas. Musim kemarau menguapkannya bagai air pasang. Lonceng jalur kereta komuter berdentang dan bunga-bunga berhamburan, mengingatkan masa muda, merindukan semua ini dari kejauhan.

Dia diberitahu bahwa butuh cinta untuk menumbuhkan jiwa. Masuk akal, kalau begitu. Tapi tidak di sini, tidak di tempat semuanya tumbuh hanya karena hidup di bawah sinar matahari.

 

3.

Dia mendapatkan pekerjaan sebagai hidroterapis di spa mewah.

Pasiennya kaku, mengambang tak berdaya di permukaan kolam. Bergerak sedikit di dalam air dapat membuat ototnya menjerit, tetapi mereka membutuhkannya untuk meredakan rasa sakit yang lebih parah. Salah satu yang dirasakan di rumah, dalam lingkungan sendiri, hingga rasa sakit itu terusir pergi.

Dia tidak banyak bicara, tetapi pasiennya menyukainya.

 

4.

"Pasien Anda berikutnya ada di sini," kata resepsionis. "Oh, ini baru datang tadi."

Sebuah undangan pernikahan. Nama-nama tercetak dengan tinta berkilauan di atas kertas gading retak, seperti bilah pisau yang menangkap cahaya.

Dia melemparkannya ke atas meja, memantul hingga ke ambang jendela.

Hampir tak merasakan angin sepoi-sepoi yang mengangkat dan membawanya pergi, jauh dari kota ke laut, dan kemudian jatuh ke dalam ombak dan larut menjadi buih.

 

Bandung, 21 November 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler