x

Sumber ilustrasi: stock.adobe.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 15 Desember 2022 07:20 WIB

Ketika Suamimu Diborgol

Ketika kamu pertama kali melihat suamimu diborgol di kantor polisi, air matamu mengalir deras. Sepertinya mengisi rongga sinus. Kamu berkedip, tetapi gagal menghentikan bendungan yang jebol. Sebaliknya, tubuhmu tambah gemetar. Tanganmu memegang ujung blus merah marun, dan kamu melilitkan tisu di sekitar jari menyerupai sarung tangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika kamu pertama kali melihat suamimu diborgol di kantor polisi, air matamu mengalir deras. Sepertinya mengisi rongga sinus. Kamu berkedip, tetapi gagal menghentikan bendungan yang jebol. Sebaliknya, tubuhmu tambah gemetar. Tanganmu memegang ujung blus merah marun, dan kamu melilitkan tisu di sekitar jari menyerupai sarung tangan.

Kamu melihat darah mengalir keluar dari luka di atas mata kanannya. Kamu tidak dapat melihat mata itu karena tertutup bengkak, tetapi kalian telah menikah selama lima tahun dan kamu menatap mata itu selama enam tahun sebelumnya, jadi kamu tahu bahwa di balik

kelopak mata, di bawah memar, di bawah darah, warnanya cokelat. Darah meninggalkan garis-garis merah cerah di kulitnya yang pucat, mengalir menuju kaus hitamnya, menghilang ke dalam kegelapan. Kamu ingin menciumnya, mengatakan padanya semua baik-baik saja, tetapi seorang polisi membawanya ke ambulans.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kamu bertanya apa yang terjadi. Suaramu lembut, bisikan yang merdu, karena hanya itu yang bisa kamu atur.

"Saya sangat menyesal, Bu," kata polisi kurus itu, dan wajah serta suaranya lembut, jadi kamu percaya dia bersungguh-sungguh. “Suami Anda dipukul oleh sopir taksi.”

Kamu terkesiap, lalu mengerutkan kening. “Jadi mengapa suami saya ditahan?” kamu bertanya.

"Sopir itu menuduhnya menabrak taksinya," jawab petugas itu sambil mendesah. "Kami melihat beberapa goresan, tapi kami yakin itu terjadi saat taksi mundur ke arahnya."

Kamu tidak akan punya waktu untuk memproses betapa absurdnya hal ini sebelum petugas memalingkan muka darimu ke ubin keramik jelek berwarna coklat dan oranye yang menutupi dinding kantor polisi dan kemudian berkata, “Ini seharusnya tidak terjadi. Saya minta maaf. Tolong ikuti saya ke ambulans. Suami Anda akan membuat pernyataan dan dibebaskan di rumah sakit. Jangan khawatir."

Dan meskipun tidak tahu pernyataan untuk apa, kamu mengangguk karena senang mereka tidak akan memisahkan kamu darinya. Dan ini adalah kesalahan, dan ini akan segera berakhir.

Kamu naik ke ambulans, duduk di samping suamimu di bangku empuk. Kamu menyentuh kakinya dan mencoba untuk tidak meringis melihat darah merah dan memar biru keunguan yang menyembunyikan wajahnya yang tampan. Kamu mencoba untuk tidak menangis, untuk menjadi berani untuknya. Tentu saja, kamu gagal.

Kamu mencium aroma bau badan dan menyadari itu berasal dari ketiakmu. Kamu telah berlari setengah kilometer dari apartemen ketika mereka menelepon untuk memberi tahu bahwa 'Suami Anda ada di kantor polisi, tetapi tidak mengapa, dan bisakah Anda segera datang?'

Kamu telah berlari secepat mungkin melalui udara basah yang lembap di malam bulan Juli yang panas, dan baru sekarang menyadari bahwa blus-mu basah kuyup oleh keringat, padahal sempat mengira itu adalah air mata yang menempel di kepala.

Suamimu menoleh ke arahmu dan bibirnya membentuk senyuman tipis. "Pamanku adalah pensiunan polisi di Medan," katanya kepada petugas. "Kalian hebat." 

Mendengar itu kamu hampir tertawa karena tahu bahwa suamimu sering menggambarkan polisi sebagai preman berseragam, tetapi kini dia bermain satire dengan menjilat. Dia bagus dalam permainan ini. Jauh lebih baik dari kamu. Dia tampaknya tidak khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Meskipun demikian, kamu masih takut dia entah bagaimana akan dikirim ke rutan. Kamu membayangkan sekelompok pria dengan tato mengerubunginya.

Kamu meremas-remas tanganmu di bagian belakang baju dan tersenyum malu-malu pada polisi di ambulans, karena itulah yang dilakukan wanita terhormat. Kamu harus menggunakan rasa takutmu untuk membuat petugas merasa bersalah. Kamu harus memainkan peran juga, untuk melindungi suamimu.

***

Kamu akhirnya bercanda dengan petugas yang ditempatkan di luar kamar suami di UGD, dan dia mengizinkan kamu untuk duduk di kamar, meskipun itu bertentangan dengan prosedur. Meskipun kamu membenci diri sendiri karenanya, kamu hanya memikirkan kapan suami bisa pulang bersamamu, dan apa yang akan terjadi jika kamu adalah orang udik, tidak punya uang atau koneksi dengan pengacara yang akan berteriak pada petugas untuk mengajukan tuntutan atau gugatan. 

Dunia tidak adil dalam banyak hal, kamu hampir mengatakannya. Tapi kamu memilih untuk tidak mengatakannya. 

 

Bandung, 14 Desember 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler