x

Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) memantau pergerakan persenjataan berat di Ukraina Timur, 4 Maret 2015. Wikipedia

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Jumat, 30 Desember 2022 18:46 WIB

Bob Dylan, John Lennon dan Vladimir Putin

Kegelisahan adalah kebingungan yang tak kunjung menemukan jawab. Bob Dylan dan John Lennon merasakannya, Vladimir Putin tidak. Bisa jadi karena ia memang tidak pernah kebingungan, atau bisa jadi karena ia memang tidak berperasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kegelisahan adalah kebingungan yang tak kunjung menemukan jawab. Bob Dylan dan John Lennon merasakannya, Vladimir Putin tidak. Bisa jadi karena ia memang tidak pernah kebingungan, atau bisa jadi karena ia memang tidak berperasaan.

Vladimir Vladimirovich Putin, lahir di Leningrad, Uni Soviet –sekarang St. Petersburg, Rusia pada 7 Oktober 1952 ketika Eropa dilanda musim dingin yang menusuk. Tujuh puluh tahun setelah itu, dalam operasi militer khusus pada suatu pagi tanggal 24 Februari 2022, Presiden Rusia itu menabuh genderang perang dengan Ukraina. Perang yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali sebuah tragedi kemanusiaan.

Putin menganggap hilangnya nyawa ribuan manusia di Ukraina sebagai bagian dari upaya bersejarah melawan apa yang dia katakan sebagai pengaruh Barat yang berlebihan. Baginya yang mempunyai latar belakang intelijen, negara Rusia selalu diposisikan dalam keadaan genting dan terancam. Keberadaan Barat adalah salah satu ancamannya. Keadaan itu membuat sang presiden gelisah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun 1962, Bob Dylan juga gelisah. Ia gelisah tidak terhadap ancaman tapi terhadap kekejaman. Lirik lagunya dalam ‘Blowin in The Wind’ yang dirilis tahun 1963 mengandung banyak sekali pertanyaan yang ia sendiri tidak menemukan jawabannya. Ia bertanya: 

 

Yes, and how many times must a man look up

Before he can see the sky?

And how many ears must one man have

Before he can hear people cry?

Yes, and how many deaths will it take 'til he knows

That too many people have died?

The answer, my friend, is blowin' in the wind

The answer is blowin' in the wind

 

Saya kira Putin juga tidak mampu menjawabnya. Karena bagi sang presiden, keamanan negara adalah sesuatu yang mutlak perlu dipertahankan sekalipun mempertaruhkan nyawa dan masa depan. Demi keutuhan negaranya ia mengabaikan tangisan dan melazimkan kematian. Ia meyakini bahwa negara adalah segala-galanya. Tapi tidak bagi John Lennon. Bagi vokalis The Beatles itu, negara bukanlah hal sakral yang tidak dapat dinegasikan, ditiadakan. Dalam penggalan lirik Imagine:

 

Imagine there's no countries

It isn't hard to do

Nothing to kill or die for

And no religion, too

 

Terdengar atheis memang, tapi saya ingin sekali memaknai “religion” yang John Lennon maksud sebagai kekakuan agama yang terorganisir (organized-religion) yang hanya berisi dogma yang tidak boleh dibantah dan peraturan yang tidak boleh dilanggar. Saya memaknai demikian karena semangat dari ‘Imagine’ adalah mendobrak keteraturan. Toh sekalipun saya keliru, imajinasi mempunyai dunianya sendiri yang tidak dapat dipersalahkan oleh hukum apapun. Tubuh tidak dapat dihukum atas apa yang kepala pikirkan. Logika inilah yang mendasari lahirnya hak untuk kebebasan berpendapat.

Seperti Lennon, menurut saya Putin perlu memejamkan mata dan membayangkan apabila tidak ada negara, tidak ada yang perlu dibunuh dan mati, dan sekaligus tidak ada agama. Ia sepertinya akan terkejut ketika membuka mata, realita yang terjadi adalah kekacauan dunia ini berakar dari perselisihan antar negara - antar agama. Karena saat ini, dalam peperangan Rusia-Ukraina orang mati karena negara. Di waktu yang sama, jauh di Timur Tengah sana, di sebuah negara yang bernama Iran, orang kehilangan nyawa karena (kekakuan) agama.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler