x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Senin, 23 Januari 2023 09:33 WIB

Percakapan Imajiner (39)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Semesta seluas ruang kerja 

 

Wangi tembakau. Serupa api, bicara menyala-nyala. Asapnya penuhi dada. Sedikit menyesakkan. Tetapi sepertinya ini hanya sebuah usaha, agar ia lebih banyak bicara dalam diam. Dalam kepulan asap-asap, lalu menghilang di telan anomali musim. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suatu waktu percakapan jatuh di pagi yang mendung. Koran-koran melempar kabar. Segala fakta dan gosip tumpang tindih. Orang-orang saling berdebat. Sebagian mencemaskan hujan yang tak sudah-sudah, sebagian memaki hidup yang semakin susah, sebagian meributkan cinta yang hanya menimbun resah, sebagian yang lain meratapi diri sendiri dan menyalahkan tetangga kanan kiri. Dan aku memandang mereka dengan secangkir kopi, beberapa batang rokok, juga lagu Pamit—Tulus yang kuputar berulang-ulang entah berapa puluh kali. 

Di luar mendungnya semakin, angin ikut-ikutan menebar dingin. Entahlah Selasa pagi macam apa ini. Lima belas menit berlalu, sebuah pesan bernyanyi, "Kabarmu?" 

Seharusnya aku bahagia, sebab aku menyukainya, sangat. Laki-laki pemilik sunyi yang menghabiskan hari-harinya dengan tenggelam di dunia yang ia ciptakan sendiri. Tapi tak tahu mengapa aku sesedih ini. Kata-kata lahir dari teduh matanya, dari percakapan-percakapan sederhana kami.. 

Rimbun rindu, berharap kau memetiknya sebelum layu. Kaki-kakiku berjalan lebih cepat dari biasanya, mengejar jejakmu. Menggapai terang cahaya, serupa wajahmu.

Dan begitulah aku mencintaimu, membiarkan segala mengalir dalam sungai waktu. Memandangmu dari balik jendela yang setengah terbuka. Menghidupkanmu dalam pejam mata.

Engkau, lembaran sayang yang diselipkan Tuhan pada suatu masa. Dan aku—puisi sepi yang berkelana dari rindu ke rindu. 

Kembali kuhirup wangi tembakau untuk kesekian kali. Kepalaku pun tak henti-hentinya menggambarkanmu, dan debar dadaku menghidupkannya.

 

 

 

*** 

 

 

 

Kita (1)

 

Nampaknya malam adalah waktu terbaik untuk menghitung sebanyak apa rindu yang kita miliki. Seperti katamu, kita ini luka-luka yang dibiaskan senyuman, kita ini dua yang didekap satu penantian. Kita ini dua bintang yang sama, sama-sama ingin melupakan tumpahan kata. 

Kau ingat? Saat duka tiba-tiba menerobos sekat-sekat yang sudah dibangun dengan susah payah. Udara seakan berhenti, membuat paru-paru pucat pasi. 

Beberapa malam lalu saat rembulan bulat sempurna, kau bilang, "Cukup sayang, hentikan segala amarah yang mengendalikanmu. Lepaskan segalanya, sebab, kita tak akan menjadi Ares hanya karena mengingat seseorang di waktu lalu. Jadilah serupa Eleos sebagai alasanmu untuk terus membunuh kebencian dan menyuburkan kasih sayang."  

Kini percakapan kita tersimpan, mungkin ia akan kembali datang saat keresahanku mengganggu. Kupikir ini cara Tuhan mengingatkanku tentang lapang dada, tentang ikhlas dan melepaskan namun tanpa melupakan. Dan jika suatu malam nanti aku kehilanganmu, sayang, aku akan tetap menjadi aku yang Sirius. Kau, kasih-Nya yang mengaliri ladang cintaku. 

 

300616

 

 

 

*** 

 

 

 

Kita (2)

 

Kita sekarang sedang tidak ingin beranjak ke mana-mana. Hanya duduk-duduk di beranda menikmati perjalanan garis tangan yang merambat pelan. Menyelinap di antara senyap senyumanmu yang jatuh di mataku dan buku-buku yang kubaca. 

Kita tidak sedang diburu waktu, meski mungkin ada hal-hal yang terlambat. Dan sebelum semakin banyak yang terlambat, aku akan mengajakmu berkemas, bergegas meninggalkan bayang-bayang yang hanya menawarkan lebam. 

Kelak kita akan beranjak pergi. Kamu pergi bersama ingatanmu, aku dengan angan inginku. Bisa jadi nanti kita berpisah di pagi yang berkabut, yang menggigilkan jendela rumah tempat kita singgah. Lalu sebelum hilang dari pandangan kau berpesan, "Hati-hati, Dien, aku akan merindukanmu. Jika semesta membawa kita pada kedatangan sekali lagi, bawakan aku remah kasih yang ada di saku bajumu." Lalu aku seperti biasa, hanya diam dan mengangguk. Membiarkan kelokan membawa tegap punggungmu. Menyerahkan sepi pada dirinya sendiri.   

Kau ingat ini senja keberapa sejak pertemuan terakhir kita? Kau pasti tahu aku merindukanmu, apa kau juga begitu? Tapi sudahlah, lupakan itu. Kamu tak pernah berjanji kembali. Aku pun tak pernah berjanji menunggu. Sebab kita hanya mencoba memahami, sekuat apapun menggenggam kita tak akan saling memiliki. 

Suatu waktu saat aku mengingatmu lagi, akan aku katakan pada sunyi bahwa kita hanyalah sepasang kebetulan yang direncanakan langit. Duduk bersisihan saling berbagi mimpi, narasi-narasi, redup cahaya, ucapan selamat pagi, sketsa bulat purnama dan jejak kaki sepanjang pantai. Kita sesekali dengan sekuat tenaga akan mengakali kosong agar tetap terasa isi. Hingga saat menuju pulang yang entah ke mana, kepada siapa, kehilangan tak akan terasa menyakitkan. 

Kita sekarang sedang tidak ingin beranjak ke mana-mana dan membiarkan angka-angka dalam kalender menyimpan kita untuk sementara.   

 

080517

 

 

 

*** 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB