x

Photo by : Septian Alfiansyah

Iklan

Mirza Ghulam

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Mei 2020

Selasa, 31 Januari 2023 19:38 WIB

Kereta Cepat Jakarta–Bandung; Apakah Secepat Balik Modalnya?

Tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka wacana soal Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang kala itu proses pengkajiannya dilakukan oleh Japan International Cooperation Agency (JIPA). Sayangnya, di masa kepemimpinan SBY, proyek ini belum berhasil dijalankan. Pada Maret 2015, Presiden Jokowi menyetujui proyek KCJB dalam rapat terbatas. Namun, pada September 2015, pemerintah menolak proposal KCJB karena mengharuskan penggunaan APBN. Tidak lama berselang, Oktober 2015, Menteri BUMN waktu itu, Rini Soemarno mengubah keputusan dan melanjutkan perizinan KCJB dengan China sebagai mitra pembangunan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Semakin cepat laju kereta, apakah semakin cepat ruginya? balik modalnya?”

  1. Awalan Singkat

Dasar hukum berjalanya proyek kereta cepat Jakarta – Bandung adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2015 Tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta Dan Bandung. Dimana isi dari Perpres tersebut mengatur berdirinya konsorsium Indonesia, perijinan proyek, pendanaan, arahan untuk mentri hingga kepala daerah terkait serta peraturan penunjang lainya.

Kemudian pada tahun 2021 Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 93 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. KCJB adalah nama proyek kereta api cepat Jakarta – Bandung secara keseluruhan, sedangkan KCIC adalah perusahaan yang berdiri pada tahun 2015 sebagai perusahaan pelaksana proyek KCJB yang didirikan oleh konsorsium Indonesia dengan saham 60% dipegang oleh PT. PSBI dan konsorsium China dengan saham 40% dipegang oleh Beijing Yawan HSR Co. Ltd. Kereta Cepat Jakarta-Bandung dikerjakan dengan mekanisme B2B (bussiness to business).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dirjen Perkeretaapian Hermanto Dwiatmoko saat itu mengungkapkan KCIC meminta adanya jaminan tanggungjawab pemerintah jika proyek itu gagal. KCIC meminta pemerintah mengambilalih atau melelang proyek itu, karena besar kemungkinan pemerintah mengeluarkan koceknya, jika proyek itu tak laku dilelang. Hal lain adalah permintaan hak eksklusif KCIC agar tak ada jalur kereta api yang selintas dengan kereta cepat Jakarta-Bandung. Hal itu tak mungkin dipenuhi karena bertentangan dengan UU tentang Perkeretaapian yang menyebutkan tak ada yang boleh memonopoli. Atas permintaan-permintaan yang tak disepakati itu akhirnya Kementerian Perhubungan belum menerbitkan izin usaha penyelengaraan prasarana perkeretaapian umum kepada KCIC.

Pada 21 Januari 2016 Peletakan batu pertama (ground breaking) oleh Presiden Joko Widodo di kebun teh Mandalasari, Maswati, Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat yang menandai dimulainya proyek kereta cepat Jakarta - Bandung. Kementrian Perhubungan akhirnya mengeluarkan izin pembangunan  dan konsesi pada 18 Maret 2016, masa konsesi berlangsung selama 50 tahun sejak 31 Mei 2019. Perjanjian kerja sama itu ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Direktur utama KCIC, Hanggoro Budi Wiryawan di kantor Kementerian Perhubungan.

  1. Konsorsium Indonesia

PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) adalah perusahaan yang terdiri atas konsorsium perusahaan Indonesia dan China, konsorsium Indonesia dipegang oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dengan anggota PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Wijaya Karya (WIKA), PT Jasa Marga (JM) dan PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII). PSBI memiliki saham KCIC 60%.  Melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 93 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung, saat ini PT KAI menjadi pemimpin konsorsium PSBI dengan kepemilikan saham 51,37%, posisi kedua ditepati WIKA 39,12%, posisi ketiga ditepati JM 8,30% dan terakhir PTPN VIII 1,21%.

  1. Konsorsium China

Konsorsium China dipegang oleh perusahaan Beijing Yawan HSR Co. Ltd terdiri dari 5 perusahaan diataranya CRIC (China Railway International Co. Ltd) dengan kepemilikan saham 5%, CREC (China Railway Engineering Corporation) dengan kepemilikan saham 42,88%, CRRC (China Railway Rollingstock Corporation) dengan kepemilikan saham 12%, CRSC (China Railway Signal and Communication Co. Ltd) dengan kepemilikan saham sebesar 10,12%, dan Sinohydro dengan kepemilikan saham 30%. Beijing Yawan memiliki saham KCIC 40%.

<--more-->

  1. Total Pendanaan & Cost overrun KCJB 2022

Total pembiayaan proyek KCJB sebesar USD 6,07 milyar, pembiayaan proyek 25% dari konsorsium sebesar USD 1,52 milyar dibagi menjadi USD 913 juta untuk konsorsium Indonesia dan USD 608 juta untuk konsorsium China. Dan 75% sisanya didapat dari pinjaman ke China Development Bank (CDB) sebesar USD 4,55 milyar yang telah disetujui pada 14 Mei 2017. Secara Government total pembiayaan dari China 85% (USD 5,16 milyar) dan total pembiayaan dari Indonesia 15% (USD 913 juta). Cost overrun atau pembengkakan nilai proyek KCJB hasil review Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar USD 1,5 milyar atau dalam rupiah setara 21,4 Triliun. Cost overrun ini terjadi karena adanya beberapa kendala dianataranya pembebasan lahan, relokasi fasilitas umum terdampak, pandemi covid-19, kendala geologis, perubahan desain, perpajakan, serta kendala cashflow dan budgeting. Konsorsium Indonesia dalam hal ini PSBI sebagai pemegang saham 60% di KCIC, seharusnya menanggung 60% dari cost overrun sekitar 13 Triliun namun hal ini tidak terjadi karena keterbatasan dana yang dimiliki PSBI.

Pendanaan cost overrun dilakukan dengan skema 25% ekuitas dalam hal ini KCIC dan sisanya 75% dari pinjaman CDB, hal ini dilakukan atas kesepakatan dengan National Development and Reform Commission (NDRC) atau Badan Pembangunan Nasional China. Nilai cost overrun 25% dari ekuitas sekitar 5,3 Triliun, porsi konsorsium Indonesia sekitar 3,2 Triliun atau setara dari 60% kepemilikan saham KCIC dan porsi konsorsium China sekitar 2,1 Triliun atau setara 40% dari kepemilikan saham KCIC. Sementara nilai cost overrun 75% sekitar 16 Triliun akan dipenuhi dari pinjaman CDB. Nilai 3,2 Triliun itulah yang dikejar KAI sebagai pimpinan konsorsium Indonesia kepada pemerintah untuk memenuhi cost overrun 2022 lewat dana penyertaan modal negara (PMN).

Hal ini menjadikan KAI memiliki beban kerja yang berat dalam proyek KCJB ini terutama dari sektor pendanaan, belum lagi ditambah penugasan dari negara untuk mengelola beberapa sektor perkeretaapian lain seperti LRT Palembang, LRT Jabodebek dan kedepanya KAI juga akan mengelola jaringan perkeretaapian di Sulawesi.  Banyak pihak khawatir dan mengasumsikan nasib KAI sama dengan Garuda apabila pemerintah tidak memberikan perhatian khusus dan suntikan dana dari APBN untuk membantu KAI menyelesaikan penugasan yang dijalankanya. Dalam konteks KCJB, KAI mendapat PMN di tahun 2021 sebesar 6,9 Triliun dimana 2,6 Triliun digunakan untuk cost overrun LRT Jabodebek dan 4,3 Triliun yang digunakan untuk pemenuhan penyertaan modal KCJB.  PMN ini dibutuhkan karena KAI dan perusahaan sponsor konsorium Indonesia terdampak pandemi sehingga tidak bisa memenuhi penyertaan modal ke KCIC. Penyertaan modal ke KCIC ini perlu dipenuhi agar dana dari CDB dapat dicairkan sehingga pembangunanproyek KCJB dapat tetap berjalan.

Pada tahun 2022 ini, KAI meminta pemerintah untuk segera mencairkan PMN 3,2 trilun selambat-lambatnya bulan Desember. Kondisi cashflow KCIC yang menipis, pemenuhan porsi 25% ekuitas pihak Indonesia atau cost overrun proyek KCJB, menjaga cashflow para kontraktor agar proyek tidak molor, dan KAI masih dalam proses recovery dari dampak pandemi menjadi landasan kuat KAI meminta pemerintah segera mencairkan PMN 3,2 triliun. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2022 KAI menerima PMN 3,2 trilliun sebagai biaya cost overrun tahun 2022.

  1. Pro dan Kontra

Dari sisi kontra, masyarakat yang pesimis dan tidak mendukung proyek ini adalah mereka yang melihat dari sisi ekonomi dan dampak buruk pembangunan. Mengingat mentri BUMN saat itu Rini Soemarno pada tahun 2016 sesumbar mengatakan KCIC hanya meminta jaminan kepastian investasi agar proyek berjalan sesuai rencana. Rini menegaskan, proyek ini merupakan hubungan bisnis atau business to business, sehingga tak menggunakan anggaran negara dari APBN. Hal ini tentu mendapat sanggahan dari banyak pihak, mengingat tidak ada urgensinya proyek ini dan masih banyak kepentingan nasional yang harus diprioritaskan daripada hanya membangun KCJB. Realitas yang terjadi saat ini KCJB memerlukan suntikan APBN dan banyak yang beranggapan KCJB sudah tidak murni business to business tapi government to government. Pendapat kontra lainya muncul karena  tidak melibatkan PT INKA dalam konsorsium Indonesia dan sebagian masyarakat masih memiliki sentiment negatif terhadap China dan mempertanyakan mengapa Indonesia lebih memilih China daripada Jepang untuk proyek KCJB. Adanya wacana penambahan konsesi lahan yang sebelumnya 50 tahun menjadi 80 tahun juga mendapat pandangan kontra dari mastarakat.

Dari sisi pro, masyarakat yang optimis dan mendukung proyek ini adalah mereka yang melihat dari sisi teknologi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Jika proyek KCBJ telah selesai dan sudah beroperasional kita dapat berbangga karena Indonesia menjadi negara pertama yang memiliki High Speed Train (HST) di antara negara ASEAN. Branding yang dijalankan KCIC pada showcase uji coba kereta cepat dalam rangka G20 yang disaksikan langsung oleh Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden China Xi Jin Ping membuat kita takjub dan bangga serta lupa dengan pendapat kontra yang masih terus bergulir hingga saat ini. KCJB diharapkan menjadi lompatan teknologi khususnya untuk perekeretaapian Indonesia dan Jakarta – Bandung adalah awal dari kereta cepat melaju menjangkau lebih luas daerah – daerah di  tanah Jawa.

  1. Jadi, Kapan Balik Modal?

Ekonom senior Indonesia Faisal Basri memiliki beberapa skema balik modal KCJB. Skema yang diutarakan ini hanya menghitung dari operasional kereta cepat dan tidak menghitung revenue yang didapat KCIC dari pengembangan kawasan transit oriented development (TOD).

Skema pertama, jika nilai investasi sekitar 114 triliun, dengan okupansi 50% dengan jumlah perjalanan 30x sehari dan harga tiket 250 ribu, kereta cepat baru balik modal 139 tahun, skema tersebut adalah perhitungan terburuk untuk operasional KCJB. Dengan nilai investasi yang sama, namun tingkat okupansi sebesar 60% jumlah trip lebih banyak menjadi 35x perjalanan dengan harga tiket lebih mahal senilai 350 ribu, Faisal mengatakan proyek itu akan boleh modal lebih cepat menjadi 83 tahun.

Skema kedua, Faisal menghitung jika kereta cepat diisi oleh penumpang sebanyak 80% dengan jumlah perjalanan 30x sehari dengan harga tiket 350 ribu. Pada kondisi ini, lama balik modal adalah 62 tahun.

Skema ketiga adalah skenario paling optimistis, dengan nilai investasi yang sama namun tingkat okupansi mencapai 100% dan jumlah perjalanan 39x sehari, modal KCJB bisa kembali selama 33 tahun dengan harga tiket sebesar 400 ribu.

Skema keempat apabila kereta cepat beroperasi mengangkut penumpang dengan kapasitas 100% sepanjang tahun dan jumlah rangkaian yang melayani perjalanan mencapai 36x sehari, proyek tersebut akan balik modal dalam waktu 45,6 tahun dengan harga tiket yang dipatok mesti Rp 300 ribu.

Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, Jakarta, Rabu (9/11/2022) Direktur KAI Didiek Hartntyo menjelaskan sesuai perhitungan Feasibility Study (FS), KCIC akan balik modal dalam waktu 38 tahun, sementara itu, Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi juga memberikan penjelasan estimasi itu belum memperhitungkan pendapatan dari pengembangan Kawasan TOD.

Ikuti tulisan menarik Mirza Ghulam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler