Tirta duduk menyepi dekat jendela bus Trans Jakarta yang terseok-seok menyodok jalur, terhambat mobil mewah anak jenderal yang tak gentar menghardik polantas.
Sisi lain jalan padat merayap kendaraan mengangkut pulang manusia-manusia urban onderdil suku cadang pembangunan ekonomi yang lelah menuju batas.
Halte busway Menara Media Lima titik perhentian melangkah turun melintas atrium menumpang lift serasa melayang dalam alunan Serenade for Orchestra No. 6 in D major K. 239 tinggi ke atas.
Tiwi kecil tenggelam diapit Bayu dan Geni yang menjulang di lain lift meluncur turun berkicau ceria tentang proyek terbaru tanpa menyadari kata-katanya tak berbalas.
Bayu diam mematung bergeming bak patung marmer Yunani tak sadar sepasang mata selalu mencuri melirik resah mereka-reka fragmen yang amat membekas.
Mata jelita bintang kejora Geni empunya tersaput nuansa cerita lama seorang gadis kecil memendam puja yang meski telah dicoba kali berkali gagal tumpas.
Di pelataran parkir Bagas menyisirkan jari ke kusut rambut gondrongnya lepaskan kacamata gelap menangkap cahaya menuju lift tertinggal bayang Tirta yang dulu bergegas.
Nyaris mengejar ingat bahwa gawai tertinggal di dashboard Wrangler Rubicon turangga tunggangan berbalik kembali ke pelataran parkir luas.
Maka meskipun telah bergegas akhirnya Bagas menjadi yang terakhir, sebagai juru kunci peserta yang memasuki ruang strategi Media Lima yang berada di lantai sembilan belas.
Tirta cerdas, Geni ayu, Tiwi yang tegas, Bayu tenang dan Bagas perkasa telah menempati kursi ergonomis di sekeliling meja oval bertabur layar datar dan beberapa kristal gelas.
Di ruangan dingin udara buatan di lantai sembilan belas menara tertinggi rimba metropolitan, lima jiwa berhimpun agar sejarah bersaksi lahirnya maha kreasi seni pentas.
Ketika Tiwi mengatup jemari tersenyum bersandi: "kita BEBAS!"
BERSAMBUNG
Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.