x

Iklan

Indŕato Sumantoro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Juli 2020

Jumat, 17 Februari 2023 12:06 WIB

Tantangan untuk Pak Jokowi: Mendirikan Perusahaan Aspal Negara

Perusahaan Aspal Negara ini tugas utamanya memproduksi aspal Buton full ekstraksi untuk mensubstitusi aspal impor 1,5 juta ton per tahun. Ini bisa menghemat devisa negara sebesar US$ 900 juta per tahun .

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada tanggal 27 September 2022 yang lalu Bapak Presiden Joko Widodo telah datang berkunjung ke Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Pak Jokowi mengetahui bahwa deposit aspal alam di Pulau Buton sangat melimpah. Di sisi lain Indonesia sudah 40 tahun lebih mengimpor aspal dalam jumlah besar. Maka Pak Jokowi bertanya-tanya kepada dirinya sendiri: Kalau deposit aspal alam di Pulau Buton sangat melimpah, mengapa selama ini Indonesia mengimpor aspal dalam jumlah besar? Seharusnya pertanyaan itu dijawab oleh Pak Jokowi sendiri. Karena beliau adalah Presiden Republik Indonesia.

Agar Pak Jokowi mampu menjawab pertanyaannya sendiri ini, maka Pak Jokowi harus tahu terlebih dahulu mengenai sejarah aspal Buton. Mengutip berita dari suarakendari.com, sejarah aspal Buton dimulai sejak era Belanda menjajah Nusantara pada 1924. Aspal Buton pertama kali ditemukan seorang geolog Belanda bernama W.H. Hetzel. Dalam perjalanan waktu, penguasaan konsesi kawasan penambangan aspal Buton selama 30 tahun diberikan kepada seorang pengusaha Belanda bernama A. Volker di bawah bendera perusahaan  N.V. Mijnbouw en Cultuur Maschappij Buton.

Berakhirnya Perang Pasifik membuat Belanda meninggalkan Indonesia. Praktis penguasaan konsesi pertambangan aspal Buton ikut ditinggalkan. Saat peralihan ke pendudukan Jepang sama sekali tidak tercatat adanya kegiatan penambangan batuan aspal Buton. Barulah setelah Indonesia merdeka aspal Buton mulai dikelola negara. Itu terjadi setelah perusahaan Belanda dinasionalisasi menjadi Jawatan Jalan-jalan dan Jembatan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, dan aspal Buton kala itu lebih dikenal dengan sebutan Butas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selanjutnya, pada 1961 dibentuk Perusahaan Aspal Negara untuk pengelolaan aspal Buton. Pada tanggal 30 Januari 1984, Perusahaan Aspal Negara berubah menjadi PT Sarana Karya (Persero). Perubahan ini diduga dilatar belakangi kabar menipisnya jumlah deposit dengan kandungan bitumen tinggi, sehingga diperlukan cara-cara baru untuk memproduksinya. Kadar aspal yang rendah menjadikan upaya pemanfaatan deposit aspal Buton tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang standar. Berbagai metode pemanfaatan aspal Buton seperti Latasir, Latasbun, asbuton curah, asbunton micro, Buton Mastic Aspal mulai ditinggalkan.

Kebijakan pemerintah Orde Baru benar-benar tidak menguntungkan negara dan membuat aspal Buton semakin ditinggalkan orang.  Dampak kebijakan ini pula membuat banyak kontraktor-kontraktor jalan kala itu beralih pilihan dan cenderung lebih menyukai menggunakan aspal minyak, karena metode produksi hotmixnya lebih efisien dan praktis.

Pada tahun 2004, seiring dengan kenaikan harga minyak bumi yang harganya mencapai kisaran US$ 100 per barel, menjadikan harga aspal minyak juga ikut naik dengan sangat tajam. Hal ini memicu upaya-upaya untuk memanfaatkan kembali aspal alam dari Pulau Buton. Namun karena belum tersedianya teknologi pengolahan dan pemanfaatan yang handal dan ekonomis, akibatnya aspal Buton masih belum mampu bersaing dengan aspal minyak impor.

Pada tanggal 24 Desember 2013 PT Wijaya Karya (Persero) mengakusisi PT Sarana Karya. Nama PT Sarana Karya berubah menjadi PT Wijaya Karya Bitumen. Langkah pengambil alihan ini dilakukan untuk menunjang pertumbuhan bisnis PT Wijaya Karya Tbk di bidang pembangunan infrastruktur yang meliputi pembangunan jalan-jalan tol, peningkatan jalan, dan pemeliharaan jalan di dalam negeri. PT Wijaya Karya Bitumen sekarang sedang mengembangkan teknologi ekstraksi aspal Buton, yang diharapkan akan dapat memproduksi aspal Buton full ekstraksi untuk menggantikan aspal minyak impor.

Sebagian besar minyak mentah Indonesia merupakan jenis light crude yang memiliki kandungan fraksi bahan bakar tinggi, sehingga berharga sangat mahal. Minyak mentah ini oleh Pemerintah diekspor ke luar negeri. Untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar di dalam negeri, Pemerintah Indonesia melalui Pertamina mengimpor minyak mentah dari kawasan Timur Tengah yang harganya lebih murah.

Minyak mentah dari Timur Tengah ini mengandung kadar aspal yang tinggi. Seluruh kilang yang berada di Indonesia dioperasikan oleh Pertamina. Oleh karena itu Pertamina merupakan satu-satunya produsen aspal minyak di dalam negeri. Kapasitas kilangnya di Cilacap sebesar 600 ribu MT/Tahun. Tetapi dengan adanya kemajuan teknologi pengilangan, maka sebagian besar minyak bumi dapat diolah menjadi bahan bakar. Dan sisanya yang tinggal sedikit diolah menjadi aspal minyak. Dengan demikian produksi aspal minyak Pertamina sekarang diperkirakan hanya sekitar 300.000 – 400.000 MT/Tahun saja.

Pada tahun 2015, PT Pertamina (Persero) dan PT Wjaya Karya Tbk telah menandatangani sebuah Memorandum of Understanding (MoU) untuk memproduksi aspal hibrida. Aspal hibrida adalah campuran antara aspal Buton ekstraksi dengan Decant Oil dari Pertamina. Tetapi sangat disayangkan proyek aspal hibrida ini tidak dilanjutkan. 

Pada saat ini sudah berdiri sebuah pabrik ekstraksi aspal Buton milik PT Kartika Prima Abadi dengan kapasitas 100 ribu ton per tahun. Indonesia mengimpor aspal sejumlah 1,5 juta ton per tahun. Dengan demikian, pada saat ini aspal Buton hanya mampu mensubstitusi aspal impor tidak lebih 10% dari total jumlah aspal impor.

Setelah Pak Jokowi mengetahui sejarah aspal impor ini, kebijakan-kebijakan apa yang akan Pak Jokowi putuskan? Pak Jokowi sudah memutuskan tahun 2024 Indonesia akan stop impor aspal. Tetapi apa rencana-rencana mitigasi untuk mensubstitusi aspal impor dengan aspal Buton sebelum impor aspal dihentikan? Dan apa rencana-rencana selanjutnya setelah impor aspal dihentikan tahun 2024? Apabila pertanyaan-pertanyaan ini tidak Pak Jokowi jelaskan kepada rakyat, maka rakyat berasumsi Pak Jokowi telah melemparkan batu, tetapi sembunyi tangan.

Ada kata-kata bijak yang mengatakan, “Sejarah berulang” (George Eliot). Mungkin hal ini yang harus menjadi perhatian Pak Jokowi dalam membuat kebijakan-kebijakan baru mengenai aspal Buton. Mengapa pengelolaan aspal Buton sejak masa kemerdekaan sampai sekarang telah berganti-ganti sebanyak 4 kali. Mulai dari Jawatan Jalan-Jalan dan Jembatan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, Perusahaan Aspal Negara, PT Sarana Karya, dan terakhir PT Wijaya Karya Bitumen ?

Penyebabnya adalah karena semakin sulitnya permasalahan-permasalahan aspal Buton, sehingga aspal Buton harus diproses dan diolah menjadi aspal Buton full ekstraksi yang memerlukan teknologi ekstraksi yang canggih. Dan dana investasi yang cukup besar untuk mewujudkan hilirisasi aspal Buton tersebut.

Disamping itu harga minyak bumi yang meroket berdampak signifikan kepada kenaikan aspal impor. Dan dalam jangka panjang aspal impor akan semakin mahal dan kualitasnya rendah. Karena dengan semakin majunya teknologi pengilangan minyak bumi, maka sebagian besar minyak bumi yang akan diolah menjadi bahan bakar, yang harganya lebih tinggi. Sehingga dengan demikian, aspal minyak yang berupa residu dari proses pengilangan jumlahnya akan semakin sedikit. Dan kualitasnya sangat rendah, karena sudah benar-benar berupa ampas. Kebutuhan aspal dari tahun ke tahun akan terus meningkat dengan pesatnya pembangunan infrastruktur jalan-jalan di era pemerintahan Pak Jokowi.

Jadi apa solusi yang bisa ditawarkan kepada Pak Jokowi untuk membuat kebijakan-kebijakan baru mengenai aspal Buton? Mengingat sejarah akan berulang, masukan untuk Pak Jokowi adalah membentuk sebuah perusahaan BUMN baru dengan nama Perusahaan Aspal Negara. Perusahaan BUMN ini di bawah pengelolaan dan tanggung jawab Kementerian PUPR. Perusahaan Aspal Negara ini tugas utamanya adalah memproduksi aspal Buton full ekstraksi untuk mengsubstitusi aspal impor.

Dan tantangan berat dari Perusahaan Aspal Negara ini untuk mampu mensubstitusi aspal impor sejumlah 1,5 juta ton per tahun. Target dari tugas negara ini khusus untuk menghemat devisa negara sebesar US$ 900 juta per tahun dengan mengsubstitusi aspal impor dengan aspal Buton.

Bagaimana Pak Jokowi? Apakah Bapak merasa tertantang dengan masukan ini?

Ikuti tulisan menarik Indŕato Sumantoro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler