x

Kurmer

Iklan

Apri Damai Sagita Krissandi

Universitas Sanata Dharma
Bergabung Sejak: 22 Februari 2023

Kamis, 9 Maret 2023 15:36 WIB

Menelusuri Identitas Kurikulum Indonesia

Kecurigaan terhadap pergantian kurikulum yang sangat sering ini menciptakan asumsi-asumsi. Penulis mencoba memaparkan salah satu asumsi tentang kedangkalan riset sejarah identitas bangsa dalam hal “bentuk” kurikulum yang khas Indonesia. Penulis mencoba menguraikan kemiripan kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka dengan kurikulum IB (International Bacclaurate). Walaupun demikian, kurikulum merdeka berusaha mencoba memasukkan ajaran Ki Hajar Dewantara. Penulis mencoba memaparkan hubungan kurikulum merdeka dan ajaran Ki Hajar Dewantara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pendahuluan 

Kurikulum merupakan jantungnya dunia pendidikan. Untuk itu, kurikulum perlu dirancang dan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara nasional.Terkait dengan relevansi kurikulum dengan mempersiapkan siswa menghadapi dunia globalisasi, maka kurikulum harus memperhatikan aspek-aspek perkembangan IPTEK dan IMTAK terutama menyangkut penyiapan dasar keterampilan, kecerdasan, dan kreativitas serta kepribadian.

Indonesia sendiri telah banyak mengalami perubahan kurikulum, di antaranya kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan terakhir 2022 atau kurikulum merdeka. Kurikulum memang merupakan manifestasi visi dan tujuan bangsa. Pergantian kurikulum yang sangat sering menimbulkan banyak persepsi. Sering berganti kurikulum dapat dianggap dinamis terhadap perkembangan zaman, tetapi dapat pula dianggap bingung terhadap arah dan tujuan bangsa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kecurigaan terhadap pergantian kurikulum yang sangat sering ini menciptakan asumsi-asumsi. Penulis mencoba memaparkan salah satu asumsi tentang kedangkalan riset sejarah identitas bangsa dalam hal “bentuk” kurikulum yang khas Indonesia. Penulis mencoba menguraikan kemiripan kurikulum 2013 dan kurikulum merdeka dengan kurikulum IB (International Bacclaurate). Walaupun demikian, kurikulum merdeka berusaha mencoba memasukkan ajaran Ki Hajar Dewantara. Penulis mencoba memaparkan hubungan kurikulum merdeka dan ajaran Ki Hajar Dewantara.

Pembahasan 

Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka Meniru Kurikulum IB?

Kurikulum IB (International Bacclaurate) berasal dari Swiss. yang di dalamnya terdapat PYP (Primary Year Program) yang diberlakukan untuk Sekolah Dasar, MYP (middle Year Program) untuk tingkat SMP dan SMA. Kurikulum IB paling banyak digunakan di Amerika Serikat (Leask, 2015). Pada kurikulum ini selain mengambil mata pelajaran wajib, siswa diharuskan untuk memilih mata pelajaran optimal yang dapat membantu rencana karir mereka di masa depan. Mata pelajaran tersebut dipilih dengan kemampuan mereka tanpa tekanan (Alsubaie, 2016). Dalam kurikulum merdeka, siswa SMA saat ini memiliki mata pelajaran peminatan. Konsep peminatan disinyalir mengadaptasi kurikulum IB di Amerika.

Secara sekilas bisa disampaikan kesamaan antara kurikulum 2013 - Merdeka dan IB PYP. Pembelajaran kedua kurikulum tersebut berbasis pada tema-tema yang tidak jauh berbeda. Misalnya untuk kelas I SD dengan kurikulum 2013 digunakan tema-tema seperti “diriku; kegemaranku; kegiatanku; keluargaku; pengalamanku; lingkungan bersih, sehat, dan asri; benda, binatang, dan tanaman di sekitarku; dan peristiwa alam.” Sementara tema-tema yang digunakan dalam PYP yaitu “Who we are (Siapa kita); Where we are in place and time (Tempat dan waktu dimana kita berada); How we express ourselves (Bagaimana kita mengekspresikan diri); How the world works (Bagaimana cara kerja dunia); How we organize ourselves (Bagaimana kita mengorganisasi diri); dan Sharing the planet (Berbagi planet bumi)” (Miller, 2019).

Selain tema, proses pembelajaran yang berbasis inquiry yang memiliki turunan project dan problem based learning adalah kekhasan kurikulum PYP. Inkuiri ada dalam bagan esensial elemen dari kurikulum IB. Siswa diajak secara mandiri menemukan konsep-konsep dasar dalam sebuah pelajaran. Mereka aktif sebagai individu yang mencari kebenaran atas pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri (Hirst, 2010). Saat ini, di kurikulum merdeka, guru diajak menggunakan project based dan problem based learning. Siswa diminta untuk menguji coba, menjawab, dan menghasilkan sebuah product dari hasil diskusi dan rumusan pertanyaannya sendiri.

Di kurikulum IB, penilaian yang utama adalah formatif, yakni; assessment for learning (AFL) dan assessment as learning (AAL). Kurikulum IB bahkan menghilangkan assessment of learning (AOL) yang menitikberatkan pada sumative assessment. AFL dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dan biasanya di gunakan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan proses belajar mengajar. Dengan assessment for learning pendidik dapat memberikan umpan balik terhadap proses belajar peserta didik, memantau kemajuan, dan menentukan kemajuan belajarnya. Assessment for learning juga dapat di manfaatkan oleh pendidik untuk meningkatkan performan dalam memfasilitasi peserta didik. Berbagai bentuk penilaian formatif, misalnya tugas, presentasi, proyek, termasuk kuis merupakan contoh-contoh assessment for learning (penilaian untuk proses belajar) (Hussain et al., 2011).

AAL memiliki fungsi yang mirip dengan assessment for learning, yaitu berfungsi sebagai formatif dan di laksanakan selama proses pembelajaran berlangsung. Perbedaannya, assessment as learning melibatkan peserta didik secara aktif dalam kegiatan penilaian tersebut. Peserta didik diberi pengalaman untuk belajar menjadi penilai bagi dirinya sendiri. Penilaian diri (self assessment) dan penilaian antar teman merupakan contoh assessment as learning. Semua itu adalah konsep penilaian di kurikulum IB, lebih dari 80 tahun lalu telah digunakan (Hussain et al., 2011). Indonesia berusaha mengadaptasinya dan dimasukkan dalam kurikulum 2013 dan Merdeka.

Perencanaan pembelajaran berorintasi pada backward design. Kurikulum IB juga dikenal dengan kurikulum berbasis konsep. Konsep adalah tujuan akhir atau learning outcome. Kurikulum IB juga merumuskan learner profile dari lulusan kurikulum IB. Karena memiliki tujuan yang jelas, maka proses perencanaan pembelajaran di kurikulum IB adalah “perancangan mundur” atau backward design. Seperti yang termakna dari namanya, desain mundur dimulai dari ‘akhir’ terlebih dahulu – yaitu tujuan yang nyata dari kegiatan pembelajaran. Kemudian kita akan mundur untuk mengembangkan bahan ajar dan kegiatan yang memenuhi tujuan pembelajaran tersebut (Tyler, 2013).

Model perancangan ini diadaptasi dalam proses menyusun modul ajar. Modul ajar adalah nama lain dari RPP di kurikulum merdeka. Dalam berbagai bimtek kurikulum merdeka, penyusunan modul ajar disarankan menggunakan backward design. Seperti halnya kurikulum IB, pemerintah mengganti KD menjadi Capaian Pembelajaran (CP). CP adalah tujuannya atau learning outcome. Proses menyusun modul ajar adalah dimulai dengan memetakan CP, menyusun ATP (Alur Tujuan Pembelajaran), setelahnya menyusun asesmen atau penilaian, metode, langkah-langkah, dan LKPD. Mekanisme ini sangat mirip dengan praktik yang dilakukan oleh guru IB dalam merancang pembelajarannya.

Adaptasi Ajaran Ki Hajar: Kebaharuan atau Baru Sadar?

Untungnya, Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim banyak mengadaptasi ajaran Ki Hajar dalam konsep kurikulum merdeka. Kurikulum merdeka terasa nuansa ajaran Ki Hajar Dewantara. Hampir dalam setiap pidatonya, Nadiem Makarim selalu mengutip kata-kata Ki Hajar.

Konsep pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang holistik, di mana murid atau peserta didik dibentuk menjadi insan yang berkembang secara utuh meliputi olah rasio, olah rasa, olah jiwa, dan olah raga melalui proses pembelajaran dan lainnya yang berpusat pada murid dan dilaksanakan dalam suasana penuh keterbukaan, kebebasan, serta menyenangkan. Hal ini seiring dengan empat pilar pendidikan menurut UNESCO yaitu learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together (Febriyanti, 2021). Setidaknya penulis mengumpulkan empat ajaran Ki Hajar yang disematkan di kurikulum merdeka.

  1. Pilar Utama Tak Hanya Pengetahuan

Dua pilar pertama telah dipraktekan pada sistem pendidikan kita yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi itu terasa tidak cukup karena kita mengharapkan manusia Indonesia yang tidak hanya memiliki kecerdasan, tetapi juga harus berkarakter. Manusia Indonesia dituntut juga harus memahami jati dirinya sebagai manusia yang memiliki dimensi individu dan sosial, memiliki akal budi, kehendak bebas, dan hati nurani. Learning to be menghendaki para murid untuk menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur, sedangkan learning to live together mengarahkan murid untuk memiliki kesadaran untuk dapat hidup bersama dengan manusia yang lain ditengah pluralitas dan heterogenitas. Sehingga yang menjadi tujuan pendidikan yang holistik adalah membentuk pribadi utuh yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, sosial, moral, spritual yang disebut melek moral dan sosial (social and moral literacy) (Noventari, 2020).

  1. Profil Pelajar Pancasila

Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat dan meyakini bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan kepada generasi berikutnya . Oleh karena itu untuk menghasilkan manusia yang berbudaya maka pendidikan tidak boleh terserabut dari akar budaya kearifan lokal yang menjadi identitas kita sebagai warga bangsa. Maka sudah merupakan sesuatu yang tepat dan penting apabila program pendidikan sekarang ini yang menitik beratkan pada bagaimana supaya generasi muda bangsa ini disamping memiliki kompetensi intelektual tetapi juga memiliki kompetensi sikap atau karakter yang sejalan dengan nilai-nilai agama dan budaya yang telah mengkristal di dalam nilai-nilai pancasila sebagai dasar negara kita yang telah menjadi pandangan hidup bagi setiap warga bangsa Indonesia (Hendratmoko et al., 2018).

Dalam membentuk karakter murid yang berbudaya sesuai dengan nilai-nilai pancasila maka kita kenal sekarang dengan profil pelajar pancasila. Profil pelajar pancasila adalah profil lulusan yang bertujuan menunjukkan karakter dan kompetensi yang diharapkan diraih dan menguatkan nilai-nilai luhur peserta didik dan pemangku kepentingan. Ada enam dimensi dari profil pancasila yaitu; beriman kepada tuhan Yang Maha esa, dan berakhlak mulia, bekebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis dan kreatif. Rumusan profil pelajar pancasila dibuat dengan tujuan sebagai kompas bagi pendidik dan pelajar Indonesia, sehingga segala pembelajaran, program dan kegiatan di satuan pendidikan bertujuan akhir menghasilkan murid dengan karakter dengan profil pancasila (Hendratmoko et al., 2018).

  1. Orientasi pada Siswa

Apa itu merdeka belajar? Merdeka belajar adalah belajar yang diatur sendiri oleh pelajar, pelajar yang menentukan tujuan, cara dan penilaian belajarnya. Dari sudut pandang pengajar atau guru merdeka belajar berarti belajar yang melibatkan murid dalam penentuan tujuan, memberi pilihan cara, dan melakukan refleksi terhadap proses dan hasil belajar. Kenapa merdeka belajar? Dengan merdeka belajar murid akan lebih mandiri mengerjakan tugas belajar, tahan menghadapi kesulitan, serta adaftif menghadapi perubahan. Dengan demikian bahwa peran pendidik atau guru adalah menuntun murid agar dapat mengembangkan potensi kodrat yang mereka miliki, murid hendaknya diberi kebebasan atau kemerdekaan untuk memilih cara mana yang mereka sukai untuk mengembangkan potensi kudratinya. Disamping itu juga mengandung makna bahwa seorang guru diberi kebebasan untuk menuntun muridnya dengan berbagai metode atau cara yang tentunya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan murid (Rahayuningsih, 2021).

Seiring dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tersebut maka dalam paradigma baru pembelajaran saat ini dikembangkanlah pembelajaran yang berpusat pada murid (student center) bukan lagi berpusat pada guru (teacher center) di mana murid harus dijadikan sebagai subyek atau pembelajar. Kegiatan pembelajaran tidak lagi menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar atau kegiatan pembelajaran tidak lagi hanya aktivitas memindahkan pengetahuan guru kepada murid, tetapi jauh dari itu yaitu murid harus terlibat aktif menjadi pembelajar, membangun pengetahuan sendiri dengan bantuan dari guru dan berbagai sumber belajar lainnya sehingga pengetahuan atau pengalaman belajar yang diperoleh menjadi sangat bermakna (Rahayuningsih, 2021).

  1. Pendidikan Berdiferensiasi

Agar kegiatan pembelajaran dapat berlangsung sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan dan berpusat pada murid maka perlu menerapkan pembelajaran yang berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. Oleh karena itu untuk dapat melaksanakan pembelajaran yang berdiferensiasi guru harus melakukan pemetaan atau identifikasi terlebih dahulu terhadap tiga aspek kebutuhan belajar murid yaitu; kesiapan belajar murid, minat belajar murid, dan profil belajar murid. Apabila ini sudah dilakukan maka selanjutnya adalah melakukan kegiatan belajar mengajar yang berdiferensiasi dengan menyiapkan variasi pendekatan pembelajaran ditengah keberagaman karaktersitik murid yang ada. Hal ini menuntut kreatifitas atau inovasi dari guru untuk melakukannya (Istiq’faroh, 2020).

Ada tiga strategi diferensiasi yang harus dilakukan yaitu; diferensiasi konten yaitu menentukan apa yang akan kita ajarkan pada murid-murid yang disesuaikan dengan kesiapan belajar, minat dan profil belajar murid, diferensiasi proses yaitu; bagaimana murid akan memahami atau memaknai apa informasi atau materi yang dipelajari, apakah siswa belajar mandiri atau berkelompok, bagaimana memenuhi kebutuhan murid, caranya seperti apa, prosesnya seperti apa, seberapa banyak bantuan yang diberikan, siapa saja yang memerlukan bantuan, sedangkan diferensiasi produk adalah; tentang tagihan apa yang kita harapkan dari murid, memberikan tantangan, memberikan pilihan kepada murid, memberikan kesempatan untuk berekpresi dan berkepketasi (Istiq’faroh, 2020).

Pembelajaran yang berdiferensiasi harus dibangun dengan yang disebut learning community (komunitas belajar) yaitu komunitas yang semua anggotanya adalah pembelajar dan guru akan memimpin murid-muridnya untuk mengembangkan sikap atau praktik yang mendukung tumbuhnya lingkungan belajar yang berdiferensiasi. Ada beberapa faktor yang menjadi karakteristik atau ciri lingkungan belajar yang berdiferensiasi yaitu; setiap orang di kelas saling menghargai, setiap orang akan dihargai, murid merasa aman, ada harapan bagi pertumbuhan, guru mengajar untuk mencapai kesuksesan, ada keadilan dalam bentuk nyata, serta guru dan siswa berkolaborasi untuk pertumbuhan dan kesuksesan bersama (Rahayuningsih, 2021).

Dengan menerapkan pembelajaran yang berpusat pada murid (student center) dengan melalui pembelajaran yang berdiferensiasi maka akan terbentuk kepemimpinan pada murid (student leadership) dimana murid menjadi bertanggung jawab, dan menjalankan perannya sebagai murid yang dapat mengembangkan segala potensi yang dimilikinya agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan baik untuk dirinya maupun masyarakat di sekitarnya. Sedangkan pada sisi pendidik, guru akan menjadi sosok pemimpin pembelajaran yang dapat mendorong wellbeing ekosistem pendidikan di sekolah yang selalu berpusat dan berpihak pada kebutuhan murid (Febriyanti, 2021).

Menelusur Kekayaan Pendidikan Indigenous Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara multikultural. Indonesia memiliki wilayah luas dan memiliki kekayaan budaya. Budaya yang dimiliki Indonesia tergolong mapan. Sebelum negara Indonesia terbentuk, Kerajaan Majapait, Sriwijaya, Kutai, Samudra Pasai, Padjajaran, dan sebagainya, sudah memiliki peradaban yang mapan. Sejarah panjang bangsa Indonesia pasti menyisakan identitas yang mewujud dalam pendidikan. Kita sepakati wujud tersebut dengan sebutan pendidikan indigenous.

Pendidikan indigenous lahir dari wilayah adat dan para leluhur. Pendidikan Indigenous khas di setiap bangsa karena berakar dari kehidupan dan kebudayaan setiap masyarakat indigenous di wilayah mereka. Pendidikan indigenous awalnya dimulai dari impian para tetua adat. Pendidikan indigenous berjalan mengunakan “cara-cara indigenous untuk mengetahui, belajar, mengajar, mendidik, dan melatih”. Muatan pembelajarannya menggunakan berbagai metodologi, dan ruang-ruangnya harus bersesuaian dengan jatidiri, cara hidup, dan sistem pengetahuan setiap daerah. Misalnya, ruang-ruang belajar tidak hanya ruang kelas tapi juga bisa di semua tempat dalam wilayah adat.

Pendidikan indigenous lebih mengutamakan pemikiran yang menyeluruh dan saling terhubung dibanding pendekatan yang terpecah-pecah dan terkotak-kotak. Ia juga dirancang untuk mendukung impian masa depan bersama, bukan hanya impian perorangan. Kajian indigenous di Indonesia pernah dilakukan untuk menemukan pola pengelolaan air di Sumatra. Kajian tentang pendidikan indigenous masih sangat berpotensi dikembangkan. Utamanya untuk menemukan karakter pendidikan yang khas di Indonesia.

Pendidikan indigenous adalah kunci agar anak-anak tetap berpegang pada kebudayaan mereka. Pendidikan indigenous membantu mereka menelusuri cara-cara lama maupun baru untuk tetap terhubung dengan wilayahnya, serta memberi mereka kesempatan untuk berpikir kritis tentang tantangan-tantangan dan ancaman-ancaman baru yang dihadapi. Alhasil, kaum muda akan mendukung para tetua dalam melindungi budaya dan wilayah, serta menciptakan perubahan baik yang berakar pada jejak leluhur, sekaligus menjadi mudah menyesuaikan diri dan ulet.

Pendidikan indigenous membantu anak-anak memahami konsep-konsep dan filsafat-filsafat yang lebih mendalam yang terkandung di masyarakatnya. Pendidikan indigenous dapat membantu mereka memperkuat kebanggaan atas jatidiri dan budaya mereka yang khas.

Pendidikan indigenous membantu menyiapkan para pemimpin generasi penerus di Indonesia. Nilai-nilai indigenous membekali mereka dengan keterampilan-keterampilan yang mereka perlukan untuk menjembatani dan memandu dunia dengan budaya nasional atau umum yang berpengaruh. Mereka bisa berakar secara mendalam pada budayanya sekaligus mampu terlibat dengan tujuan nasional dengan cara mereka sendiri.

Banyak sistem pendidikan mengajarkan individualisme, memperkuat cerita bahwa pembangunan dan kemajuan datang ketika seseorang mengejar kepentingannya sendiri. Akhirnya, kebanyakan sistem pendidikan mengajarkan materialism.

Dalam jangka pendek, individualisme, materialisme, dan pertumbuhan tanpa akhir memberikan keuntungan bagi sebagian orang. Namun, ideologi ini membuat planet kita tak dapat dihuni. Pertumbuhan tanpa akhir didasari oleh ekstraksi sumber daya tanpa akhir dari suatu planet bersumber daya terbatas. Materialisme memutuskan hubungan kita dengan alam dan dengan pemahaman bahwa sistem-sistem pendukung planet kita bergerak menuju kehancuran. Individualisme cenderung mengarah pada pemusatan sumber daya yang semakin berkurang di tangan beberapa orang.

 

Sumber Kajian Nilai Pendidikan Indigenous

Salah satu alternatif penggalian nilai-nilai indigenous adalah melalui karya sastra anak masa lalu. Balai Pustaka memiliki khasanah terbitan sastra anak sejak zaman kolonial. Tak sedikit karya yang memiliki nilai indigenous yang layak digali dan dirumuskan sebagai salah satu nilai karakter kebangsaan. Sastra anak di Indonesia merupakan kajian baru. Masih sangat sedikit orang yang melakukan kajian mendalam utamanya pada karya sastra klasik Indonesia. Sastra anak klasik di Indonesia memang tak begitu mendapat tempat dalam kajian sastra. Kajian nilai indigenous menjadi salah satu daya tarik isi dari sastra anak klasik ini. Di dalamnya memungkinkan adanya olah pikir dan olah rasa anak-anak Indonesia yang khas. Pendidikan tidak hanya tentang akal, tetapi olah rasa, dan hal-hal ini pasti banyak ditemukan dalam novel sastra anak pada zaman dahulu.

Misalnya tentang bagaimana anak-anak di zaman dahulu belajar dengan konkret. Melalui sekolah sederhana di pamulangan desa, mereka diminta untuk terjun langsung ke pasar untuk mengamati mekanisme pedagang mulai dari gimik, strategi, pola keuntungan, dan lain-lain. Anak-anak disimulasikan langsung tentang metode beternak bebek, cara memperoleh keuntungan, sampai membuat telur asin. Mereka diminta mengamati pandai besi dan membuat produk baru dari kreativitas mereka.

 

PENUTUP

              Indonesia memiliki banyak naskah dan arsip sejarah yang layak digali. Nilai-nilai luhur tak hanya jargon. Kearifan lokal tak hanya semata untuk dilestarikan. Nilai-nilai yang mewujud nyata dalam budaya yang mapan selama berabad-abad hidup di masyarakat, layak untuk diperhitungkan sebagai kajian identitas bangsa Indonesia. Tak ada salahnya kurikulum merujuk pada nilai indigenous yang telah lama hidup di tengah masyarakat. Nilai tersebut menjadi ciri kuat bangsa Indonesia. Kurikulum sebagai tombak pendidikan, alangkah bijaknya jika mempertimbangkan pendidikan indigenous yang telah berabad mapan di Indonesia.

 

Daftar Pustaka

Alsubaie, M. A. (2016). Curriculum development: Teacher involvement in curriculum development. Journal of Education and Practice. https://eric.ed.gov/?id=EJ1095725

Febriyanti, N. (2021). Implementasi Konsep Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Jurnal Pendidikan Tambusai. https://www.jptam.org/index.php/jptam/article/view/1151

Hendratmoko, T., Kuswandi, D., & ... (2018). Tujuan Pembelajaran Berlandaskan Konsep Pendidikan Jiwa Merdeka Ki Hajar Dewantara. JINOTEP (Jurnal Inovasi …. http://journal2.um.ac.id/index.php/jinotep/article/view/2382

Hirst, P. H. (2010). Knowledge and the curriculum: A collection of philosophical papers. taylorfrancis.com. https://doi.org/10.4324/9780203861127

Hussain, A., Dogar, A. H., Azeem, M., & ... (2011). Evaluation of curriculum development process. International Journal of …. http://www.kppra.gov.pk/kppra/dept/upload/1593611502Evaluation_of_Curriculum_Development_Pro.pdf

Istiq’faroh, N. (2020). Relevansi Filosofi Ki Hajar Dewantara sebagai Dasar Kebijakan Pendidikan Nasional Merdeka Belajar di Indonesia. Lintang Songo: Jurnal Pendidikan. https://journal.unusida.ac.id/index.php/jls/article/view/266

Leask, B. (2015). Internationalizing the curriculum. taylorfrancis.com. https://doi.org/10.4324/9781315716954

Miller, J. P. (2019). The holistic curriculum. University of Toronto press.

Noventari, W. (2020). Konsepsi Merdeka Belajar Dalam Sistem Among Menurut Pandangan Ki Hajar Dewantara. PKn Progresif: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian …. https://jurnal.uns.ac.id/pknprogresif/article/view/44902

Nurhalita, N., & Hudaidah, H. (2021). Relevansi pemikiran pendidikan ki hajar dewantara pada abad ke 21. Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan. https://edukatif.org/index.php/edukatif/article/view/299

Rahayuningsih, F. (2021). Internalisasi filosofi pendidikan ki hajar dewantara dalam mewujudkan profil pelajar pancasila. SOCIAL: Jurnal Inovasi Pendidikan IPS. https://www.jurnalp4i.com/index.php/social/article/view/925

Tyler, R. W. (2013). Basic principles of curriculum and instruction. books.google.com. https://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=5MpKR2czCUQC&oi=fnd&pg=PR5&dq=curriculum&ots=pCwcq36NPm&sig=z2PbgtsRRXRHab6qZIwHgOTBBkc

 

 

Ikuti tulisan menarik Apri Damai Sagita Krissandi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler