Bulan Terang di Langit Deli

Selasa, 21 Maret 2023 17:21 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Johann van der Brand mengunyah potongan terakhir omelette di piring. Lelaki asal Delft itu bergegas menyambar topi demang di meja lalu melangkah keluar. Sepasang matanya menyapu sekitar. Dibanding sesama administrator lain, dia merasa beruntung tinggal di kediamannya sekarang. Halaman luas dengan pepohonan trambesi rindang dan tiga pohon kelapa menjadi penyedap mata dan pelindung terik yang menyengat. Tempat tinggal yang menyenangkan dibanding bangunan lain di onderneming ini.

Derap kaki kuda membawa lelaki bercambang tipis itu menuju area utama onderneming Gloegoer Bekri. Berjarak sekitar tiga ratus meter dari kediamannya, Tuan van der Brand memacu kudanya secepat mungkin. Biasanya jam tujuh pagi dia masih bersantai di serambi rumah menikmati kudapan dan secangkir teh hangat yang disajikan Poniem, sang pembantu, maka pagi ini berbeda. Semalam, laporan dari mandor yang dia terima, menambah pekerjaannya hari ini.
 
Tuan van der Brand turun dari kuda hitam sepekat warna kopi. Kontras dengan baju demang putih dengan kancing keemasan. Matanya nyalang tertuju ke sebuah titik. Dengan penuh wibawa, dia menghampiri lelaki yang sedang berkacak pinggang di depan bangunan kayu berundak.
 
"Selamat pagi, Tuan van der Brand ... " Karmoen memberi salam dalam bahasa Belanda kepada atasannya itu.
 
Sejenak, Tuan van der Brand mengamati seorang kuli yang sedang tertelungkup dengan kedua tangan dan kaki terikat pada bale kayu. "Kowe lagi, Parjo!" Pengalaman tiga tahun bekerja di perkebunan tebu di Malang, membuatnya sedikit tahu tentang bahasa Jawa.
 
Ia setengah menunduk. Menghadapkan mukanya kepada kuli yang sedang dihukum. Keduanya saling menatap lekat. "Apa kamu tidak bosan menerima hukuman seperti ini terus?" Administrator itu bertanya pelan dan dibalas dengan gelengan oleh Parjo.
 
Gemeretak barisan gigi Tuan van der Brand menyiratkan marah yang tertahan. Dia tak habis pikir dengan lelaki di hadapannya ini. Entah sampai kapan tubuh Parjo bisa menahan hukuman yang akan diterima untuk kesekian kalinya.
 
"Saya tunggu kamu di dalam, Karmoen."
 
Tuan van der Brand mempercepat langkah menuju bangunan kayu yang menjadi ruang kerjanya. Baru saja ia mengempaskan bokong ke kursi dengan sandaran dari anyaman rotan, terdengar suara cambuk disertai jeritan. Rintihan kesakitan yang menyayat punggung kecokelatan milik sang kuli.
 
Lelaki itu membuang napas secara kasar. Baru lima bulan, Johann van der Brand menjadi administrator perkebunan milik Amsterdam Deli Company ini. Uang dengan jumlah dua kali lipat dari gaji di Jawa, membuatnya tergiur menerima pekerjaan ini. Silau lembaran Gulden, membuat lelaki pemilik kumis tipis itu terkadang menyesali pilihannya kala menyaksikan sesuatu yang dianggapnya di luar kemanusiaan. Tuan van der Brand menyebutnya sebagai perbudakan abad ini.
 
"Tuan .... "
 
Johan van der Brand mendongak. Karmoen dengan cambuk di tangan, berdiri dengan kepala menunduk. Mandor itu telah menyelesaikan tugasnya. Tuan van der Brand menggeleng. "Saya dengar kabar burung tentang kamu, Karmoen. Katanya, kau suka mengancam dan memberi pinjaman dengan bunga tinggi kepada para kuli. Apa itu benar?" Sorot tajam sang administrator tertuju kepada bawahannya.
 
"I-i-tu ti-ti-dak benar, Tuan." Bibir Karmoen gemetaran saat menjawab. Wajahnya berubah pucat pasi seketika. Bola matanya bergerak tak tentu arah. Jemari yang semula menggengam erat cambuk perlahan mulai kendor.
 
"Kamu bohong, Karmoen!" teriak Tuan van der Brand sembari menggebrak meja. Telapak tangan berwarna kemerahan, membuatnya mengabaikan sakit yang dialaminya saat ini.
 
Karmoen masih menunduk. Dia masih terdiam dan tak berani membalas ucapan lelaki di depannya itu. Hening sesaat hingga bibir tipis berselimut warna hitam--karena rokok itu--mulai bersuara.
 
"Mengapa Meneer mempermasalahkan suatu hal yang biasa terjadi di sini?" ucap Karmoen.
 
Tuan van der Brand mengerutkan dahi. Lelaki dengan tulang pipi tinggi itu menyeringai. Tak suka dengan ucapan Karmoen baru saja. "Kamu menganggap biasa hal seperti ini, Karmoen?" Wajah Johann van der Brand sedikit menegang.
 
"Tuan van der Brand, apa Tuan pikir onderneming ini bisa berjalan jika para kuli diberi kebebasan sedikit saja? Para kuli harus tahu di mana mereka berada."
 
Karmoen menurunkan nada bicaranya saat mengucapkan kalimat terakhir. Ia tak ingin atasannya itu tersinggung. "Kejayaan onderneming tembakau Deli dibangun oleh kuli. Merekalah yang membuat para tuan kulit putih kaya raya. Jika tak ada poenali sanctie lalu bagaimana kalian bisa membanggakan tembakau dari Hindia?"
 
Rentetan pertanyaan Karmoen, membuat Tuan van der Brand menghela napas panjang sebelum membuangnya perlahan. Hatinya serasa ditusuk setelah indra pendengarannya menangkap ucapan Karmoen. Dia memang orang Belanda tetapi ia juga manusia yang masih memiliki hati. Apa guna berjuta-juta Gulden yang dihasilkan jika mengorbankan manusia lain?
 
"Tuan."
 
Suara Karmoen mengembalikan kesadaran Tuan van der Brand. Lelaki itu memandang Karmoen dengan tatapan jengah.
 
"Jangan sekali-sekali mengubah apa yang telah menjadi aturan di onderneming ini. Tuan van der Brand takkan bisa. Saya pastikan itu. Saya permisi," ucapnya dengan kepala agak menunduk.
 
Johann van der Brand melepas dua kancing keemasan bagian atas baju demangnya. Ia membutuhkan napas lebih panjang. Kerongkongannya terasa tercekik. Pelan, lelaki berusia 37 tahun itu keluar dari kantor. Tangan kanannya memegang kayu yang menjadi penyangga bangunan.
 
Ia melempar jauh pandangan ke depan. Sejauh yang bisa ditangkap dua buah mata birunya. Hamparan tembakau terbentang cukup jauh. Para kuli mulai keluar dari barak, ibarat semut yang keluar dari sarang bersiap menyambut terik matahari yang semakin menambah legam kulit mereka. Tuan van der Brand mematung cukup lama. Memikirkan hatinya yang kian terombang-ambing di tempat ini. Deli, tembakau, kuli, dan poenali sanctie yang mengisi hari-harinya di onderneming.
 
**
 
Dini hari di onderneming Gloegoer Bekri tak ubahnya seperti kuburan yang hanya ditemani suara jangkrik. Johan van der Brand berjalan mondar-mandir di teras rumah. Mulutnya sibuk mengisap pipa cangklong. Lelaki bertubuh tegap itu tak bisa tidur. Keputusan besar telah dibuatnya. Besok ia akan menemui salah satu pemegang saham perkebunan ini.
 
Tuan van der Brand beberapa detik menatap langit. Bulan masih bersinar terang seperti saat ia dan Poniem,sang babu, berbincang singkat di teras malam tadi. Pembantu itu menyesalkan keputusannya untuk pergi. Kaki sang Tuan van der Brand hampir beranjak ketika bola matanya mulai menangkap warna merah bercampur kuning yang memecah kegelapan.
 
Kobaran itu semakin besar dan menjalar ke sekitar. Ia menatap heran sekaligus bertanya-tanya. Administrator perkebunan itu memutuskan keluar teras setelah mematikan rokok pipa. Sejenak, terdengar tapak kaki kuda memecah keheningan. Mata awas Tuan van der Brand mendelik begitu mendapati Karmoen tiba dengan luka bacok pada bagian dada. Napasnya terputus-putus.
 
Ia segera menurunkan Karmoen dan membaringkannya di tanah.
 
"Ce-ce-pat la-ri, Tu-an." Sang mandor berucap sebelum menutup mata selamanya.
 
Johann van der Brand bergeming. Kekagetan luar biasa baru saja menyelusup hatinya. Tanpa dia sadari, gerombolan kuli dengan obor di tangan dilengkapi senjata tajam makin mendekat.
 
Sebuah tembakan terdengar. Membangunkannya dari pikiran panjang. Lelaki itu segera menaiki kuda dan memacunya secepat mungkin. Beberapa tembakan masih terdengar tetapi meleset. Teriakan para kuli masih menggema di tengah kesunyian onderneming ini. Kobaran api semakin mengganas. Asap menyatu dengan langit yang masih menghitam. Membakar seluruh bangunan di Gloegoer Bekri. Berpacu dengan kudanya, Tuan van der Brand mendongak menatap langit. Gelap masih menyelimuti. Bulan itu masih bersinar terang. Teringat ia akan kata-kata Poniem.
 
"Ini malam satu Suro, Tuan. Dalam penanggalan Jawa, malam satu Suro selalu dikaitkan dengan musibah."
 
Tuan van der Brand terus bergerak menjauhi onderneming. Menembus kegelapan dan berharap sinar matahari bergegas menampakkan diri.
 
***
 
Keterangan:
 
Onderneming : perkebunan.
 
Poenali sanctie : tindakan hukum yang diberikan kepada buruh yang melanggar kontrak di perkebunan besar kolonial. Buruh yang dianggap lancang, malas bekerja atau melarikan diri akan disiksa tanpa proses peradilan. Poenalie sanctie diberlakukan sebagai dampak ordonansi kuli pada tahun 1880 dan baru dihapus pada 1930 berkat perjuangan Muhammad Husni Thamrin  saat sidang  volksraad

Bagikan Artikel Ini
img-content
Dewi Sartika

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Dua Nyai

Sabtu, 1 April 2023 06:32 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
img-content
img-content
Lihat semua