x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Senin, 27 Maret 2023 11:05 WIB

Siapa Musuh Terbesar Gerakan Literasi dan Taman Bacaan di Indonesia?

Apa sih musuh terbesar gerakan literasi dan taman bacaan di Indonesia? Yaitu sikap masa bodoh, tidak peduli, dan tidak peka terhadap pentingnya membac

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memang bukan hal baru. Tentang sikap apatis dalam gerakan literasi dan aktivitas taman bacaan. Apatisme yang menjadi tantangan terberat. Sikap tidak peduli yang “menghantui” gerakan literasi. Lingkungan sosial dan aparatur setempat yang masa bodoh dan cuek. Lalu menjadi momok yang menakutkan para pegiat literasi. Ketika hilangnya motivasi dan semangat untuk menegakkan kegemaran membaca dan budaya literasi masyarakat. Jelas sudah, apatisme menjadi “musuh terbesar” gerakan literasi di manapun.

 

Apatisme di gerakan literasi seakan sudah jadi kultur. Masayarakat yang bersikap masa bodoh terhadap aktivitas literasi. Tidak peduli akan pentingnya aktivitas anak-anak untuk membaca buku. Tak acuh terhadap aktivitas positif anak-anak. Kepekaan sosial yang sudah “pergi” entah ke mana? Hingga akhirnya, menjadi sebab pegiat literasi dan aktivis sosial demotivasi, tidak lagi bergairah berkiprah di gerakan literasi. Apatis, jadi sebab frustrasi pegiat literasi di banyak daerah, di banyak taman bacaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Apatis sangat identik dengan perilaku masa bodoh, tidak acuh, dan tidak peka. Akibat lingkungan sosial yang tidak peduli, bahkan tidak mendukung aktivitas literasi yang ada di wilayahnya. Apatis ini pula yang membuat gerakan literasi sulit berdiri tegak, di samping menjadi sebab “matinya” ikhtiar membangun tradisi baca dan budaya literasi masyarakat. Apatisme yang jadi matinya kesadaran kolektif masyarakat untuk berubah menjadi lebih baik.

 

Sementara pegiat literasi, berjuang dan berkorban tanpa pamrih membangun kesadaran membaca anak-anak dan masyarakat. Hanya bermodalkan niat baik, kemauan, dan hati untuk membangun peradaban literasi di masyarakat. Selalu berkomitmen dan konsisten untuk “menghidupkan” aktivitas literasi. Tapi pada akhirnya, sikap empati dan peduli sosial pegiat literasi terhempas oleh sikap apatisme yang terlalu akut di suatu wilayah. Literasi pun akhirnya bermukim di “titik nadir”.

 

Banyak orang lupa. Mengubah perilaku anak-anak yang terbiasa main menjadi dekat dengan buku tidaklah mudah. Apalagi di wilayah yang terbelenggu realitas anak-anak putus sekolah tinggi, kemiskinan yang melanda. Maka sikap apatisme yang berlebihan menjadi “penyempurna” keadaan menyedihkan suatu wilayah. Masyarakat yang sulit berubah akibat sikap apatis. Masyarakat yang masa bodoh, tidak peduli, dan tidak peka terhadap tujuan besar gerakan literasi dan taman bacaan.

 

Sikap apatis masyarakat itulah tantangan yang dihadapi Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Hingga tahun ke-6 keberadaannya, masih berjuang dan berkutat dengan persoalan apatisme di masyarakat. Ketika 90% anak-anak pembaca aktifnya datang dari desa atau kampung yang berbeda. Sementara masyarakat di sekitarnya, secara perlahan mundur dan pergi entah kemana? Akibat sikap apatisme yang sulit diobati. Entah, sampai kapan?

 

Apa sebab gerakan literasi dan aktivitas taman bacaan “mati suri”? Hanya 3 (tiga) hal penyebabnya, yaitu 1) buku ada, anak tidak ada, 2) anak ada, buku tidak ada, dan 3) komitmen pegiat literasi seperti taman bacaan. Dan kini bertambah satu lagi, yaitu sikap apatisme masyarakat. Maka pegiat literasi di mana pun, patut memperhatikan tantangan besar gerakan literasi dan aktivitas taman bacaan yaitu apatisme masyarakat. Ketika gerakan literasi dan aktivitas taman bacaan terus mempertahankan eksistensinya di tengah sikap tidak peduli dan masa bodoh masyarakatnya sendiri.

 

Apatis, di banyak tempat sudah menjadi kultur. Hingga jadi sebab gerakan literasi dan taman bacaan kehilangan motivasi dan kehilangan pengharapan baik di masa depan. Apatisme yang membuat gerakan literasi sulit berkembang di Indonesia. Karena hanya ada dua pilihan, 1) ikut serta menjadi apatis atau 2) menjauh dari masyarakat yang apatis. Hingga waktu yang akan membuktikan, entah sampai kapan apatisme menyelimuti gerakan literasi?

 

Orang-orang apatis di gerakan literasi selalu lupa. Bahwa siapapun tidak butuh uang untuk membangun peradaban baik atau membantu orang lain. Tapi hanya butuh hati dan sikap peduli yang tulus. Berani mengubah niat baik jadi aksi nyata. Salam literasi #TantanganLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

 

 

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu