x

Iklan

Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Rabu, 12 April 2023 19:29 WIB

Melihat Kembali Perjuangan dan Pergerakan Dokter Indonesia di Zaman Penjajahan karya Hans Pols

Pada zaman penjajahan Belanda, ilmu kedokteran dari Eropa dibawa ke Indonesia oleh dokter-dokter yang didatangkan untuk melayani kesehatan anggota militer Belanda pada saat itu. Kesehatan untuk para tentara pada saat itu adalah hal yang sangat penting dan yang utama, karena kesehatan militer mempengaruhi kekuatan dan kebugaran tentara yang pada saat itu merupakan kekuatan utama dalam mengokohkan kekuasaan di Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada zaman penjajahan Belanda, ilmu kedokteran dari Eropa dibawa ke Indonesia oleh dokter-dokter yang didatangkan untuk melayani kesehatan anggota militer Belanda pada saat itu. Kesehatan untuk para tentara pada saat itu adalah hal yang sangat penting dan yang utama, karena kesehatan militer mempengaruhi kekuatan dan kebugaran tentara yang pada saat itu merupakan kekuatan utama dalam mengokohkan kekuasaan di Indonesia. Untuk itu, dokter-dokter Belanda mengupayakan untuk menjaga kesehatan militer.

Ketika Belanda berhasil menduduki Indonesia, dan memantapkan kekuasaan di Indonesia, langkah selanjutnya adalah penguasaan hasil pertanian dan perkebunan Indonesia. Belanda menarik pajak hasil pertanian dan perkebunan petani pribumi, hasil yang utama pada saat itu adalah hasil rempah-rempah yang laku tinggi di pasaran Eropa. Selanjutnya setelah kesehatan militer terjamin, perhatian kesehatan selanjutnya ditujukan kepada para petani. Sukses tidaknya hasil panen yang nantinya diambil Belanda tergantung pada sehat atau tidaknya petani yang menggarapnya. Untuk itu, Belanda mulai memperhatikan kesehatan para petani pribumi dan membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan meningkatkan kesehatan terhadap orang Eropa maupun pribumi.

Sebagai alat perantara atau medium, pemerintah Hindia-Belanda menerbitkan majalah yang bernama “Geneeskundige Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie” (Majalah Kedokteran Hindia-Belanda). Majalah ini terbit pertama kali pada tahun 1853, dan setelah mengalami masa-masa kesulitannya mulai tahun 1886 dapat terus berlangsung hingga akhir masa kekuasaan Belanda di Indonesia. Disamping itu, mulai tahun 1912, diterbitkan “Mededeelingen BGD” (Berita Jawatan Kesehatan Sipil), yang pada tahun 1925 berganti nama menjadi “Mededeelingen DVG” (Berita Jawatan Kesehatan Sipil). Ditambah pula dengan majalah yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Indonesia, yang berdiri pada tahun 1911 dan pada waktu itu bernama “Vereeninging van Inlandsche”. Dan sebagai prasarana untuk mendukung pendidikan dokter di Indonesia, pemerintah Belanda mendirikan lembaga ilmiah pertama yaitu “Laboratorium voor Pathologische Anatomie en Bacteriologie” (Laboratorium Anatomi Patologi dan Bakteriologi) pada tahun 1887 oleh prof. C. A. Pekelharing dan Dr. C. Winkler, yang dikirim dari Belanda untuk penyelidikan penyakit beri-beri. Laboratorium ini kemudian makin berkembang dan menjadi laboratorium kesehatan pusat, dan kemudian dinakaman menjadi Lembaga Eijkmaan, sebagai tanda penghargaan atas jasa-jasa direktur pertamanya, Dr. Christiaan Eijkmaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mulai tahun 1890 para calon murid harus sudah lulus Sekolah Dasar Belanda (Europeesche Lagere School). Ditahun 1902 bagian kedokteran dari yang semula 5 tahun, menjadi 6 tahun, hingga seluruh pendidikan lamanya 9 (Sembilan) tahun. Dan nama sekolahnya pun diganti dengan “School tot Opleiding van Inlandsche Artsen” disingkat menjadi STOVIA. Lulusan dari STOVIA ini nantinya bergelar “Inlandsch Arts” atau dapat disebut dengan “Dokter Bumiputera”. Selain STOVIA yang ada di Batavia sebagai sekolah kedokteran, maka berdiri juga sekolah dokter kedua di Surabaya dengan diberi nama “Nederlandsch Indische Artsen School” disingkat NIAS. Sekaligus lamanya pendidikan dokter seluruhnya menjadi 10 tahun sesudah Sekolah Dasar Belanda. Dan menerima murid dari bangsa Barat maupun pribumi. Dengan begitu para pemuda pribumi selain mendapatkan pengetahuan tentang kedokteran, mereka juga mempunyai teman orang Eropa yang dapat dijadikan alat tukar pikiran demi memajukan wawasan tentang nasionalisme, pada saatnya nanti. Seperti misalnya, Dr Soetomo, Dr Wahidin Soedirohoesodo, Dr Ciptomangoenkoesoemo, dan dokter lain yang menjadi pelopor gerakan nasionalisme demi mencapai kemerdekaan.

Mulai tahun 1924, baik STOVIA maupun NIAS tidak lagi menerima siswa lulusan Sekolah Dasar, tetapi mereka yang mau masuk STOVIA maupun NIAS harus sudah lulus sekolah lanjutan pertama yang bernama MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Biasanya golongan bangsawan dan golongan orang yang ternama yang masuk sekolah sampai ke tingkat MULO. Selain daripada itu, ada kesenjangan antara Pribumi dengan Eropa. Artinya, disaat mereka bersama-sama dalam mencari pengetahuan, golongan Pribumi selalu dianggap rendah oleh bangsa Eropa. Hingga pada saat mereka lulus dan mendapat penempatan kerja, antara “jabatan Eropa” dengan “jabatan Pribumi” terdapat pembedaan tingkat penempatan.

Di dalam tahun 1927 dibuka Geneeskundige Hogeschool atau dalam bahasa Indonesia nya “Perguruan Tinggi Kedokteran”. Syarat masuknya ialah lulusan AMS dan HSB 5 tahun. Lamanya pengajaran 7 tahun, satu tahun pengajaran propedeusis yang diakhiri dengan ujian propedeuis, 2 tahun pengajaran kandidat yang diakhiri dengan ujian kandidat, 2 tahun lagi pengajaran doctoral yang diakhiri dengan ujian doctoral bagian I dan bagian II bagi mereka yang lulus ujian bagian I. selanjutnya 2 taun pengajaran untuk praktek. Materi yang diajarkan disekolah ini pun sangat mendalam, yakni membahas tentang anatomi patologi, bakteriologi dan hygiene, serta farmakologi khusus.

Berdirinya Perguruan Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) pada tahun 1927 adalah hasil perjuangan para dokter Indonesia dengan pendapat-pendapat yang menyokong dari direktur dan mantan direktur STOVIA dan NIAS. Usulan pertama di gagas oleh Dr Abdul Rivai dihadapan sidang “Volksraad” di tahun 1918. Beliau mengusulkan diadakannya pendidikan unversitas di Indonesia. Dokter lain yaitu J. Kajadoe, Abdoel Rasjid dan R. Soetomo yang juga mendesak untuk didirikannya perguruan tinggi di Salemba pada tahun 1922. Tetapi barulah usulan tersebut direalisasikan pada tahun 1927 yang dalam perkembangannya nanti menjadi fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

Para pemuda yang belajar di STOVIA ternyata memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap perkembangan bangsanya sendiri. Hal ini disebabkan oleh pengaruh Politik Etis yang dicetuskan oleh C. Th. Van Deventer dimana saat itu ia meminta agar pemerintah kolonial mementingkan 3 hal penting untuk kesejahteraan masyarakat, yaitu Emigrasi, Irigasi, dan Edukasi. Pada poin yang ketiga, ia menuntut agar edukasi atau pendidikan terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya sebatas kaum priyayi atau bangsawan atau orang-orang yang dekat dengan Belanda. Sebenarnya, pendidikan dokter sudah diberikan sejak pertengahan abad ke-19, tepatnya pada tanggal 1 Januari 1851 ketika sekolah dokter pimpinan Dr. P. Bleeker didirikan atas prakarta Dr. W. Bosch. Namun kenyataannya, poin ini masih saja tidak dipedulikan atau dengan kata lain rakyat biasa masih belum bisa menikmati pendidikan seperti yang didapatkan oleh kaum priyayi. Selain itu, faktor penyebab timbulnya nasionalisme adalah adanya kesenjangan, terutama dalam pelayanan rumah sakit yang saat itu hanya mengutamakan orang Belanda, Timur Asing, dan kaum pribumi yang memiliki pergaulan dengan para penjajah. Dengan kata lain, walaupun kaum pribumi yang bekerja pada pemerintah kolonial sudah memangku “jabatan Eropa”, namun masih tetap dipandang rendah oleh pihak kolonial, baik perlakuan maupun usulan perbaikan kesehatan.

Atas dasar itulah, kemudian dr. Soetomo bersama dengan teman-temannya membentuk sebuah organisasi bernama Boedi Oetomo dengan tujuan meringankan beban perjuangan hidup bangsa Jawa melalui perkembangan yang harmonis dan kerohanian, khususnya di bidang pendidikan, seperti yang pernah dicita-citakan oleh dr. Wahidin Soedirohusodo. Oleh Van Deventer, para pendiri organisasi ini disebut sebagai “putri jelita”. Menanggapi kelahiran Boedi Oetomo, sikap para pejabat Belanda tentu saja lebih cenderung mempertimbangkan dari sudut kegunaannya bagi pemerintah kolonial ketimbang dari sudut nilai kepentingan organisasi itu sendiri .Namun, dalam perjalannya organisasi ini lebih cenderung melakukan pengembangan kepribadian masyarakat melalui pendidikan, mirip seperti studiefonds atau dana pendidikan dan anti-radikalisme. Pada perkembangan selanjutnya, organisasi ini tidak berlangsung lama pasca tahun 1917 setelah dr. Soetomo lulus dari STOVIA oleh karena tugas kedokterannya di Blora, juga karena organisasi ini lebih cenderung ke Jawa dan tidak banyak anggota dari luar Pulau Jawa.

Ikuti tulisan menarik Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler