x

Hanya Ilustrasi, Foto diambil dari https://www.pexels.com/

Iklan

Teguh Dwi Imanda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 April 2023

Jumat, 14 April 2023 13:43 WIB

Lazimnya Flexing di Dunia Digital Indonesia

Keberadaan media sosial kini strategis dalam upaya mempercepat terjadinya perubahan nilai yang ada di dalam masyarakat. Kecenderungan yang terjadi, media sosial digunakan sebagai tempat orang menunjukan kesuksesan secara materiil. Fenomena ini yang kemudian mulai kita kenal dengan istilah Flexing.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada era digital ini, kehidupan tampak jauh lebih kompleks lagi. Di satu sisi, era digital membawa berbagai macam kemudahan dan kepraktisan dalam berbagai bidang kehidupan, namun disisi lain ada pula dampak kerumitan dan kehati-hatian yang perlu kita jaga akibat perkembangan tekhnologi.

Keberadaan media sosial kini strategis dalam upaya mempercepat terjadinya perubahan nilai yang ada di dalam masyarakat seiring dengan perubahan tingkah laku dalam bermedia sosial. Salah satu contohnya adalah bagaimana kita memaknai adanya media sosial. Kekinian postingan di media sosial lebih banyak dianggap sebagai parameter kehidupan seseorang. Kecenderungan yang terjadi, media sosial digunakan sebagai tempat orang menunjukan kesuksesan secara materiil. Fenomena ini yang kemudian mulai kita kenal dengan istilah Flexing.

Istilah Flexing

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Istilah flexing dalam arti bahasa gaul atau slang merujuk pada perilaku memamerkan kekayaan, popularitas, atau keberhasilan seseorang. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris Amerika dan mulai populer pada era 1990-an dan awal 2000-an di kalangan remaja dan anak muda di Amerika Serikat, terutama di komunitas hip-hop.

Awalnya, istilah “flexing” digunakan sebagai frasa yang merujuk pada tindakan memperlihatkan otot atau kekuatan tubuh dalam lingkungan olahraga dan kebugaran, terutama dalam fisik binaraga dan pertarungan tinju. Namun, seiring berjalannya waktu, istilah tersebut mulai digunakan dalam arti yang lebih luas dan merujuk pada perilaku memamerkan kekayaan, popularitas, atau status sosial dalam berbagai konteks. Istilah “flexing” kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui media sosial, seperti Instagram dan YouTube, yang memungkinkan orang untuk memamerkan gaya hidup glamor dan kemewahan mereka dengan cepat dan mudah.

Pola Perilaku yang Berubah

Cukup banyak hal yang melatarbelakangi orang terdorong untuk mempertontonkan kehidupan mewahnya di media sosial. Namun ada salah satu alasan sederhana yang bisa jadi penyebab, yaitu kebutuhan akan tampil (need for social display) demi pengakuan terhadap status sosial yang di miliki.

Fenomena kebutuhan untuk tampil (need for social display) adalah suatu konsep yang mengacu pada dorongan seseorang untuk mempertontonkan keberhasilan, prestise, atau gaya hidup yang dianggap dapat meningkatkan status sosial atau mendapatkan pengakuan dari orang lain. Fenomena ini sering kali terlihat di media sosial, di mana orang sering memposting foto atau video tentang gaya hidup mereka, seperti tempat-tempat yang mereka kunjungi, makanan yang mereka makan, atau barang-barang mewah yang mereka miliki.

Sherry Turkle, seorang profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT), mengatakan bahwa fenomena kebutuhan untuk tampil terkait dengan “ketergantungan teknologi” (technology dependence) yang mendorong seseorang untuk memperkuat citra diri mereka di media sosial. Fenomena kebutuhan untuk tampil sering dikaitkan dengan kebutuhan validasi dari orang lain, serta rasa persaingan yang mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan yang lebih besar. Dalam konteks media sosial, banyak orang merasa perlu mempertontonkan kehidupan yang glamor atau kemewahan mereka untuk menunjukkan bahwa mereka sukses atau memiliki status sosial yang tinggi. Hal ini dapat terjadi karena media sosial sering kali digunakan untuk memperkuat citra diri seseorang, atau menciptakan identitas sosial yang diinginkan.

Alain de Botton dalam bukunya Status Anxiety (2004) menjelaskan bagaimana kegelisahan dan kecemasan manusia terhadap status sosial yang dimilikinya dan bagaimana hal tersebut memengaruhi hidup dan kebahagiaannya. De Botton menggambarkan bagaimana kegelisahan status sosial seringkali muncul karena perbandingan sosial yang kita lakukan dengan orang lain. Ia juga menyoroti bagaimana masyarakat modern cenderung memandang kesuksesan dari sudut pandang finansial, dan mengabaikan faktor-faktor lain seperti kebahagiaan, kesehatan, dan hubungan sosial.

Dalam ruang lingkup masyarakat kita, perubahan pola perilaku ini semakin lazim terjadi karena dukungan industri digital sejak zaman televisi yang mulai melazimkan fenomena flexing lewat tontonan yang disajikan. Tontonan tentang keluarga kaya Ibukota dengan kehidupan mewahnya bergantian muncul, padahal masyarakat kita berada dalam kalangan ekonomi yang sebaliknya. Hal ini yang kemudian meningkatkan kegemaran masyarakat kita dengan sifat hedonist. Platform digital yang terus bertumbuh dan semakin mudah diakses membuat fenomena flexing semakin tumbuh subur di tengah masyarakat yang sejak awal sudah terkontaminasi oleh kegiatan hedonistik.

 

Berkontribusi pada Ruang Digital yang Sehat

Fenomena flexing berkaitan erat dengan budaya konsumsi yang berlebihan dan berpotensi merusak kestabilan finansial individu. Flexing juga dapat menjadi pemicu iri dan cemburu di antara pengguna media sosial, dan mengarah pada persaingan sosial yang tidak sehat. Selain itu, flexing juga dapat menjadi target penjahat online, karena mengumumkan kekayaan seseorang secara terbuka dapat menjadi tantangan atau bahkan ajakan untuk dicuri.

Dengan semakin cepatnya kemajuan pada dunia digital, maka seyogianya pemerintah dan masyarakat bahu-membahu berkontribusi menciptakan ruang digital sehat yang terbebas dari fenomena flexing. Sehingga fenomena negatif seperti flexing dapat mulai redup dalam dunia digital di Indonesia. Pembiaran terhadap fenomena-fenomena negatif dalam dunia digital, dikhawatirkan dapat menstimulus terjadinya perubahan pola perilaku dalam masyarakat.

Pemerintah melalui lembaga atau badan yang berwenang harus mulai berani membuat blueprint ruang digital sehat Indonesia. Kebijakan-kebijakan seperti menyediakan edukasi dan kesadaran tentang pentingnya dunia digital yang sehat, memperkuat regulasi dan aturan yang berlaku, membangun budaya digital yang sehat di masyarakat melalui kampanye sosial dan program pengembangan masyarakat, sampai bekerja sama dengan platform digital agar media sosial menjadi tempat yang aman dan bertanggung jawab. Langkah-langkah nyata ini harus teraktualisasi jika pemerintah serius ingin menuju dunia digital yang lebih sehat untuk rakyatnya.

Di sisi lain, partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam menciptakan lingkungan digital yang sehat dapat membantu memperkuat kesadaran dan dukungan terhadap upaya-upaya positif. Dalam fenomena flexing, hal ini dapat berupa menghindari memposting foto atau video yang menunjukkan kemewahan atau kekayaan yang berlebihan di media sosial, serta menghindari memperlihatkan atau memamerkan barang-barang mewah yang dimiliki. Selain itu, kita juga dapat menghindari berkomentar atau memberikan dukungan pada postingan yang mempopulerkan flexing atau perilaku negatif lainnya di media sosial. Dengan demikian, kita dapat membantu mengurangi popularitas fenomena flexing dan perilaku negatif lainnya, serta mempromosikan penggunaan media sosial yang lebih sehat dan bermanfaat bagi kita semua.

Ikuti tulisan menarik Teguh Dwi Imanda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB